Ahad 18 Mar 2012 12:03 WIB

"Teh Peci" Islamic Book Fair

Red: Miftahul Falah

17 Maret 2012

Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kalian.” (Andrea Hirata)

Setiap masing-masing manusia memiliki garis kehidupan, dan garis-garis kehidupan itu akan saling berhubungan jika Tuhan mengizinkan.” (Raditya Dika)

Sebuah peristiwa yang hari ini menurut kalian tidak akan memberikan pengaruh sedikitpun untuk masa depan kalian, suatu saat bisa jadi merupakan titik awal arah kehidupan kalian.” (Steve Jobs)

Kehidupan berjalan sebagaimana Allah telah gariskan. Bumi berputar, mentari bersinar, bulan berkitar, bintang berpijar, dan para makhluk Tuhan berjalan menjalani takdirnya tanpa ada tawar-menawar. Para manusia bergerak mencari keseimbangan alam agar senantiasa bertahan dalam siklus zaman yang terus berpendar.

Di belahan bumi bernama Jakarta, dengan suasana metropolitan yang sangat kentara, namun jauh dari hawa metropolis dengan atmosfir hedonisme-nya, ada sebuah kesejukan di tengah panasnya jaman. Sebuah perayaan putih di antara perayaan jahil nan hitam. Sebuah perayaan milik manusia-manusia yang sadar agama.

Sebuah acara rutin tahunan yang selalu tergelar penuh antusiasme tinggi itu, selalu membuat siapa saja dari kalangan kaum terdidik tak pernah ingin melewatkan kesempatan emas dan langka. Pameran buku Islam terbesar di Indonesia yang selalu diadakan setahun sekali itu, bahkan menyedot massa ratusan ribu manusia. Puluhan sponsor turut mendukung dan meramaikan acara. Penerbit dan percetakan buku, majalah, tabloid, dan berbagai macam surat kabar, serta puluhan sponsor produk Islam berbondong-bondong mempromosikan diri di ajang bertaraf nasional itu. Tokoh-tokoh pendidikan, sosial, politik, ekonomi dan para pejabat negara juga turut hadir meski hanya andil dalam membawakan sambutan pembukaan atau penutupan.

Para penulis buku, dari mulai mereka yang namanya sudah meroket karena kualitas tulisannya yang baik dan memiliki jutaan pembaca setia, sampai kepada penulis amatir yang baru belajar menulis buku pun beramai-ramai mendaftar talkshow. Para selebritis pun tak kalah ketinggalan diundang untuk menjadi bintang tamu atau sekedar menjadi penghibur di panggung utama, dengan seni-seni Islam tentunya. Para akademisi sampai kepada paparazzi simpang siur dalam perhelatan acara atau hanya sekedar hunting buku referensi.

Para pedagang, mulai dari warung makan sampai kepada pengasong, seperti mendapat angin segar dengan adanya acara besar seperti ini. Warung-warung Tegal buka secara insidental di sepanjang pelataran gedung Istora Senayan Jakarta. Pengasong tak dapat dihitung jumlahnya karena begitu padat dan berseliweran dari sudut ke sudut.

Begitu pula aku, sudah seminggu ini aku hilir mudik mencari konsumen yang kehausan. Dengan berbekal papan asongan yang dikaitkan dengan tali ban buatan Ibuku, ini sudah cukup sebagai modal menjajakan teh gelas dingin yang aku ambil dari stand teh gelas merek “Teh Poci”.

Cukup lumayan, karena dari setiap gelas yang berhasil kujual, aku bisa memperoleh Rp 500. Jika 10 gelas saja dapat terjual, maka aku dapat mengantongi uang Rp 5.000. Lumayan besar untuk ukuran anak sekolah pengasong sepertiku.

Aku berjanji akan menjual sebanyak mungkin untuk tambahan membayar uang sekolahku yang terlalu sering menunggak, karena penghasilan Bapak yang hanya buruh serabutan belum bisa menutupi kekurangan seluruh kebutuhan keluarga. Ibuku yang sakit-sakitan berusaha cukup tegar untuk tidak banyak mengeluh dan berpura-pura menjadi orang sehat lalu membantu Bapak dengan cara mengasong sepertiku. Sedangkan 5 adikku yang masih kecil-kecil kadang harus rela ikut mengasong sepertiku, atau kadang hanya bisa menjual jasanya sebatas sebagai tukang ojek payung saja.

Hari ini, seperti biasa aku memanfaatkan momen besar ini. Aku berjualan dari jam tujuh pagi, mengitari kompleks Senayan dengan terminal terakhir Istora Senayan. Biasanya, aku mulai beroperasi dari selepas sekolah hingga jam sembilan malam usai acara ditutup. Tapi, karena hari ini adalah hari Minggu dan pastinya pengunjung akan lebih berjubel dan berkali-kali lipat dari hari biasanya. Apalagi kebetulan ini adalah hari terakhir pameran di mana penutupan dan puncak acara adalah hari ini.

Siang hari begitu terik, tak seperti hari-hari sebelumnya. Kondisi ini malah memacuku, untuk lebih gencar menawarkan minuman yang telah membantuku mengumpulkan uang dalam seminggu terakhir ini.

Alhamdulillah dari pagi aku berjualan, sudah 75 gelas yang berhasil kujual. Dan ini adalah angka paling spektakuler dalam perjuangan seminggu ini. Pencapaian luar biasa ini, lantaran tadi sekitar pukul 9 pagi ada rombongan anak-anak sebayaku, yang terlihat seperti rombongan santri pondok pesantren, menyerbu daganganku. Akhirnya, dengan semangat aku giring mereka ke tempat stand Teh Poci. Sehingga, Bapak penjaga stand yang baik hati itu tetap menghitung per-gelasnya sebagai hasil penjualanku, karena mereka datang sebab promosi yang berhasil kulakukan dengan gaya bak sales yang teramat profesional.

   

“Dek, berapa Teh Poci..?” Dua orang perempuan yang jilbabnya begitu lebar serupa taplak meja menghampiriku. Sepertinya mereka baru saja datang dan terlihat sangat kehausan.

   

“Murah Kak, cuma dua ribu lima ratus saja,” kuangsurkan dua gelas Teh Poci yang diselimuti embun air karena dingin tersebut. Tak lupa, dengan senyum paling ramah yang terlatih selama bertahun-tahun selama menjalani profesi sebagai pengasong.

   

“Baru datang Kak?” Aku mencoba berbasa-basi.

“Iya ni, hari terakhir pasti rame banget,” mereka curhat dengan peluh masih terlihat membasahi wajah ayu alami mereka. Entah kenapa aku begitu tenang jika melihat para wanita yang terlihat alim dan terpelajar seperti mereka. Diam-diam aku mengagumi mereka.

   

“Ini Dek, uangnya,” aku tergeragap dari lamunanku.

   

“Oh i...iya, terimaksih banyak Kak, semoga acaranya di dalam menyenangkan,” aku mengambil uang lima ribuan yang diangsurkan oleh salah seorang dari mereka.

   

Berarti genap 77 gelas yang berhasil kujual hari ini. Tiba-tiba saja aku begitu ingin masuk ke dalam acara pameran. Sepertinya menarik, begitu pikiranku selintas. Akhirnya, aku berlari ke arah teman-teman seperjuanganku yang juga sama-sama mengasong, berniat meminta tolong kepada mereka untuk berkenan menjaga papan asongku.

Aku ingin sejenak saja mengintai dan menyaksikan langsung hiruk-pikuk acara di dalam gedung. Refleks aku melihat penampilanku sebentar. Rasanya tidak terlalu memalukan jika aku masuk ke dalam, berpura-pura menjadi seorang intelektual yang seolah-olah akan memborong banyak buku dari berbagai penerbit.

Aku memakai kemeja biru kotak-kotak yang sudah agak pudar warnanya, dengan celana kain sekolah SMK-ku yang berwarna hitam. Tidak akan terlihat seperti tukang asongan yang berusaha masuk untuk berbuat jahat kepada pengunjung. Aku ingin berkesempatan melihat sebentar saja acara megah itu.

   

Kulangkahkan kakiku dengan mantap menuju tenda tebal berwarna putih. Mataku menangkap sebuah tulisan “Awas hati-hati banyak copet!” di samping pintu masuk. Aku melirik sekali lagi penampilanku. Ah, tidak terlihat seperti pencopet. Toh, aku masuk tidak berniat untuk mencopet. Aku melangkah dengan percaya diri.

Manusia berjubel seperti sedang menyaksikan konser musik yang sering kudatangi untuk mengasong. Oh, rupanya bukan hanya konser musik saja yang menyedot dan mengundang perhatian anak-anak muda bangsa kita, tapi kulihat banyak sekali pemuda-pemudi yang kutaksir berumur sebaya denganku.

Bedanya adalah, ketika aku berada di dalam keramaian konser musik yang notabene dipromotori oleh iklan-iklan rokok itu, terlihat muda-mudi berperilaku tidak sopan dan kadang melakukan hal-hal yang membuat petugas keamanan turun tangan. Mereka terkadang memaksa masuk tempat konser tanpa mempedulikan kondisi yang sudah overload tumpah ruah melebihi batas kuota, hingga terkadang banyak korban berjatuhan lantaran terinjak-injak massa. Hal ini membuatku enggan berjualan di tempat-tempat berbahaya seperti itu.

Tapi yang kurasakan disini adalah sebuah keteduhan dan kegembiraan yang sangat. Meskipun kondisinya begitu ramai dan berdesakan, tapi tidak kudengar suara-suara dan kata-kata kurang sopan dari para pengunjung. Justru yang banyak kudengar adalah kata-kata “sabar”, “astaghfirullahal’adzim”, “afwan”, dan kata-kata berbau Al-Qur’an yang tak banyak kumengerti.

Ternyata memang benar, Allah ciptakan syurga dan neraka, Allah hadiahkan pahala dan dosa, Allah berikan pilihan terpuji dan tercela, Allah uji manusia dengan bahagia dan nestapa. Disitulah kita tahu bahwa Allah tidak hanya menciptakan warna hitam, tapi putih pun ia hadirkan. Bukankah hidup itu sebuah pilihan? Itu yang sering aku baca dari buku-buku motivasi yang sering aku pinjam dari kakak aktivis kerohanian Islam di sekolahku. Aku bertasbih memuji-Nya. Hari ini aku mendapatkan sebuah pelajaran berharga.

Stand-stand yang menjadi peserta disini memang dari penerbit-penerbit Islam, yang terlihat dari namanya yang begitu Islami. Tapi, ada beberapa penerbit konvensional yang ikut menjadi peserta, uniknya, para penjaga stand dari kalangan wanita tidak ada yang tidak memakai penutup kepala. Semua adalah pemandangan yang menyejukkan mata dan menentramkan jiwa.

Aku hanyut dalam arus manusia yang mengalir teratur. Lalu bermuaralah aliran manusia ini di sebuah lorong bernama bertuliskan pintu B.05. Tak disangka, disinilah aliran bertemu lautan manusia yang sesungguhnya. Manusia beraneka rupa ada disini. Laki-laki dan perempuan, ada beberapa di antara mereka yang memakai busana tertutup rapat tak terlihat kulitnya sama sekali. Para peserta duduk di kursi-kursi yang terpisah pada bagian kanan dan kiri panggung, tak terhitung jumlah peserta yang bersusah payah berdiri seakan tak ingin ketinggalan melihat atraksi yang akan ditampilkan di atas panggung utama.

Aku pun ikut penasaran dengan apa yang akan ditampilkan di atas panggung. Aku celingak-celinguk sambil berusaha menjangkau titik panggung dengan kedua ekor mataku, mencari-cari jawaban atas rasa kepenasarananku.

Lalu di sana, tepat di atas panggung utama, kulihat sosok yang sering kulihat di sampul-sampul buku yang sering kubaca, Muhammad Salim Santoso, seorang motivator terkenal yang juga seorang wirausahawan yang sukses dengan bisnis propertinya. Subhanallah, aku berdecak kagum menghadapi sebuah pertemuan yang tak pernah kusangka ini. Seseorang yang hanya bisa kukagumi hanya sebatas tulisan dan gambar beliau di dalam buku-bukunya, kini aku dapat menatapnya secara langsung.

Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Maka, dari sini aku yakin bahwa pertemuan ini telah dirancang oleh Allah, untuk menunjukkan padaku sebuah ilham untuk sukses seperti beliau atau sebuah kail mimpi agar aku dapat memancing cita-cita. Ya, ini adalah sebuah inspirasi untukku.

Aku menyaksikan dan mendengar apa yang beliau sampaikan, dari pendahuluan narasi beliau hingga tuntas penutupan. Hingga pada sesi tanya-jawab, kuberanikan diriku untuk ikut memberikan apresiasi. Semacam kekaguman kepada beliau atas prestasi dan karya-karyanya, dan beberapa pertanyaan yang sebenarnya aku sudah tahu jawabannya dari tulisan yang pernah aku baca, hanya saja aku ingin mendengar jawabannya langsung dari mulut beliau.

“Faisal, saya berdoa semoga di beberapa tahun yang akan datang, kamulah yang duduk disini meneruskan perjuangan saya berdakwah dalam bidang ekonomi sosial,” sebuah doa untukku. Itulah akhir jawaban yang panjang dari pertanyaanku yang cukup diplomatis. Seluruh pengunjung acara beliau mengaminkan serempak dan bergemuruh, membuatku merinding dan ikut mengaminkan puluhan kali di dalam hati.

Pengalaman luar biasa telah kudapat disini. Tidak hanya tambahan pendapatan yang kuperoleh, tapi ilmu dan pengalaman telah kucatat baik-baik dalam benakku. Wahai Bapak Muhammad Salim Santoso, harapan dan kepercayaan Anda padaku tak akan kukhianati. Semoga niat mulia ini Allah catat dalam Lauh Mahfud-Nya dan Ia tetapkan dalam takdir-Nya. Amin.

Kulangkahkan kakiku dengan mantap keluar gedung inspirasiku ini. Bersegera kembali melakukan pekerjaan yang sempat tertunda. Bergegas menjemput rejeki yang telah Allah tebar di muka bumi. Berupaya terbaik demi wujudkan mimpi-mimpi, yang selama ini aku bangun dalam ruang sepi tanpa pernah berharap akan terwujud di alam nyata.

Kini, aku hadir sebagai pribadi baru yang telah mendapat secercah harapan, untuk tak pernah puas hanya dengan bermimpi. Mimpi hanya akan menjadi sebuah mimpi, jika tak ada upaya menjadikannya wujud di alam jaga. Sekarang aku mengerti.

17 Maret 2027

Lima belas tahun sudah, setelah sebuah peristiwa yang berubah arah hidupku. Kini, aku kembali hadir disini menyaksikan dan larut dalam lautan manusia seperti apa yang dahulu pernah aku rasakan. Pukul 15.30 WIB, 30 menit lagi menuju saat yang paling bersejarah dalam hidupku. Aku bergegas menunaikan shalat ‘Ashar serta mempersiapkan mental dan kalimat-kalimat dahsyat yang akan menjadi sebuah fonumenal.

Masih kurasakan hiruk-pikuk ini, persis seperti lima belas tahun lalu. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk membangun sebuah mimpi menjadi kenyataan. Lima belas tahun Allah menuntunku, untuk membawa kata menjadi fakta, merubah angan menjadi kenyataan, dan menyulap janji menjadi bukti serta meniup doa menjadi nyata. Tak ada yang tak mungkin di dunia. Ketidakmungkinan adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Pukul 16.00 WIB, sebuah intruksi terdengar, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, seluruh pengunjung Islamic Book Fair 2027. Mari kita sambut bersama, seorang motivator sekaligus seorang pengusaha yang sukses di bidang industri boga kreatif dengan produk Teh Peci, Muhammad Faisal Sholahudin...”

Tepuk tangan bergemuruh riuh rendah. Bismillah, aku melangkah menuju panggung utama.

“Yang pertama, saya ingin berterima kasih kepada Bapak Muhammad Salim Santoso. Karena, lima belas tahun lalu, di tempat ini beliau memberikan saya sebuah amanat dan kepercayaan serta doa, agar di suatu hari kelak saya menggantikan beliau berdiri di panggung utama ini. Dan kini, saya telah berdiri disini.”

Aku memberi hormat khidmat kepada seorang Bapak yang berada di tempat duduk paling depan peserta acara talkshow. Seorang Bapak dengan rambut terlihat mulai nampak memutih, dan kulit wajah yang sedikit berubah dari wajah mudanya, melambaikan tangan penuh semangat ke seantero peserta acara. Hanya satu yang tidak pernah berubah dari beliau, semangat manusia sukses.

“Kita semua adalah orang sukses, buktinya ada di depan Anda,” notasi suara beliau begitu tinggi dan aku tahu siapa yang beliau maksud.

Ya Allah, terima kasih atas nikmat yang luar biasa ini. Semoga kami menjadi orang yang senatiasa bersyukur atas nikmat-nikmat-Mu.

Bogor, 17 Maret 2012

Roisiyatin

Mahasiswi Program Studi Ekonomi Islam, Fakultas Studi Islam, Universitas Djuanda Bogor

Jl.Diponegoro No.97 RT.03 RW.01 Bakung-Kanor-Bojonegoro, Jawa-Timur

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement