REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam Islam dipercaya bahwa perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan adanya pemberian nafkah dari suami. Nafkah pun telah dibingkai sedemikian rupa dalam agama untuk tuntunan setiap rumah tangga.
Sejatinya, nafkah atas istri telah ditetapkan nash-nya dakan Alquran Surah Al-Baqarah ayat 233 berbunyi: “Wa ala mauludilahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma’rufi,”. Yang artinya: “Dan kewajiban ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf (benar/halal),”.
Yang dimaksud para ibu dalam ayat tersebut adalah istri-istri, sedangkan yang dimaksud dengan ayah adalah suami-suami. Pemberian nafkah juga ditegaskan dalam hadis shahih, Rasulullah bersabda: “Haqqul-mar’atu ala zaujiha an yasyba’a bathnaha wa yaksu janbaha wa in jahilat gufiro laha,”. Yang artinya: “Hak seorang wanita atas suaminya adalah dikenyangkan perutnya, dan ditutupi badannya (diberi pakaian). Jika wanita tersebut tidak mengetahui hal itu, dia diampuni,”.
Muhammad Jawwad Mughniyah menyebutkan, para ulama mazhab juga sepakat tentang wajibnya pemberian nafkah kepada istri. Namun begitu, terdapat syarat-syarat tertentu yang perlu dipenuhi perempuan guna dapat menuntut haknya atas nafkah.