Selasa 21 Feb 2012 12:11 WIB

Mengurus Pernikahan di KUA Duren Sawit

10 Maret 2009. Siang itu, sekitar pukul 11, saya dan Pak Tri (rekan kerja) sedang menunggu konfirmasi meeting online dengan staf PLN P3B yang sedang meeting. Tiba-tiba HP saya berbunyi, dari nada deringnya saya tahu kalau yang menghubungin pasti keluarga.

Ternyata benar, yang menelpon adik saya yang sedang mengurus administrasi pernikahan di kantor KUA Duren Sawit, Jakarta Timur. Dia bercerita, kalau dia diminta untuk membayar biaya pernikahan sebesar Rp 80 ribu rupiah. Padahal di dinding (kantor KUA) tertulis bahwa biaya pencatatan nikah adalah Rp 30 ribu rupiah. Atas saran saya, dia meminta bukti pembayaran.

Nah, pihak KUA mulai melempar dia ke bagian lain untuk meminta kuitansi. Dengan alasan orangnya sedang keluar, kuitansi tidak bisa diberikan.

Saya pun dihubungi kembali, kali ini dia meminta saya mencatat nama kepala KUA Duren Sawit dan salah satu stafnya. Adik saya membacakan nama dan NIP Kepala KUA. Dari telepon saya terdengar suara seorang pria ikut membacakan nama dan NIP sang kepala KUA. Hmm.. “Nama: A. MAWARDI SHI dengan NIP: 150 200 488.″

Saya pun meminta adik saya untuk memberikan telepon kepada sang kepala KUA. Saya menanyakan biaya yang sesungguhnya dalam pengurusan pencatatan nikah. Dia menjelaskan bahwa biaya yang harus dibayarkan adalah Rp 30 ribu rupiah..

Hmm, kok berbeda dengan yang dikatakan pada adik saya. Di akhir pembicaraan, dia menanyakan siapa saya… (dalam hati saya bertanya, memangnya apa pentingnya dia tahu siapa saya). Lalu HP pun kembali ke adik saya. Lalu saya katakan apa yang dikatakan sang kepala KUA.. telpon pun ditutup.

Tidak lama kemudian, HP saya kembali berbunyi. Ternyata masih adik saya. Dia kembali mengeluhkan kalau sang kepala KUA tetap memintanya membayar 80 ribu rupiah. Hmm.. tampaknya ucapan kepala KUA berbeda dengan pelaksanaan. Daria pada pusing, saya pun meminta adik saya untuk membayar yang mereke minta, tapi tetap meminta tanda terima.

Kali ini mereka menolak untuk menerima pembayaran dari adik saya. Saya pun menanyakan pada adik saya, apakah saya perlu datang, dan dia bilang “ya”. Saya pun bergegas ke kantor KUA setelah meminta waktu sebentar pada Pak Tri.

Di kantor KUA, saya langsung disambut oleh adik saya di depan kantor. Dia bilang, kalau dia diberikan surat untuk melakukan pembayaran di kanto Pos. (Hmm.. tambah beda nih dengan apa yang diucapkan). Saya pun langsung menuju ruang kepala KUA, yang saat itu sedang ada tamu. Dengan pertimbangan, bahwa urusan dengan adik saya belum selesai, saya pun langsung masuk ke ruangan kepala KUA.

Walaupun tampak berusaha tenang, terlihat wajah sang kepala KUA tegang ketika tahu saya adalah orang yang sebelumnya berbicara dengan dia di telpon. Dia mengatakan bahwa dia meminta adik saya untuk membayar 80 ribu rupiah dengan rincian 30 ribu untuk biaya pencatatan pernikahan, lalu 50 ribu adalah biaya lain-lain… (wah gedean biaya lain-lainnya).

Kembali saya ulang apa yang dia katakan di telpon. Dia pun berkelit uang 50 ribu itu untuk operasional KUA (waduh, koq kantor pemerintah minta duit dari rakyat, udah segitu miskinnya kah negara ini?). Saya tanya operasional apa? Dia bilang untuk transport dll.

Lalu saya tekankan lagi apakah kata-kata dia bisa dipertanggungjawabkan? Dia pun tampak khawatir, lalu dia bertanya, kata-kata yang mana? Saya pun mengulang apa yang dia ucapkan cecara lebih singkat. Lalu dia katakan BUKAN ITU MAKSUD SAYA.. (wah dia yang ngomong kok dia yang membantah, belum 5 menit lagi ngomongnya, apa udah pikun ya??)

Lalu dia bilang dana itu untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan sosial. Lalu dia menunjukkan  sebuah proposal pada saya. Lalu dia bertanya, “Memangnya pembiayaan kegiatan ini dari mana?” Saya pun kembali bertanya dengan yakin, “Memang di anggaran negara tidak ada anggaran untuk proposal yang disebutkan, tapi kan ada anggaran untuk kegiatan-kegiatan KUA.” Dia pun terdiam (dengan raut muka kesal).

Tiba-tiba tamu yang sudah menunggu bersuara, “Wah jadi lama deh.”  Hmm.. saya sadar, dia pun punya hak untuk mengurus sesuau di KUA. Saya pun mengakiri pembicaraan dengan mengatakan “Ok, saya tidak mau membahas anggaran KUA, tapi saya mau memastikan bahwa adik saya harus membayar di kantor pos, lalu membawa bukti pembayarannya ke KUA.” Dia pun mengatakan “Iya.” Saya langsung kembali ke rumah, sementara adik saya mencoba membayar ke kantor pos.

12 Maret 2009

Hari ini adik saya akan kembali ke KUA untuk menyerahkan bukti pembayaran. Sekitar jam 9:30, adik saya menelpon saya lalu mengatakan kalau kepala KUA mengatakan bahwa dia hanya boleh menikah pada hari kerja. Lalu dia diminta menghadirkan calon suaminya dan bapaknya saat itu juga (Hmm.. masih mau macam-macam nih kepala KUA).

Lalu saya minta bicara pada kepala KUA, dan (kembali) dia berbicara berbeda (kayak orang munafik banget). Dia hanya meminta adik saya untuk mengikuti prosedur. Lalu saya tekankan pada dia bahwa saya tidak mau mendengar kalau KUA mempersulit proses pencatatan nikah.

Eh, tiba-tiba kepala KUA menutup pembicaraan. Padahal saya masih mau bicara. Saya pun menelpon adik saya, minta diberikan pada kepala KUA. Saya mempertanyakan kenapa ditutup?

Dari nadanya dia sudah kesal. Padahal seharusnya saya dan adik saya lebih berhak untuk kesal (saya memang sudah kesal dengan birokrasi yang korup). Lalu saya bilang, jangan tutup telpon saya. Adik saya pun berbicara dengan nada tinggi pada kepala KUA, “Jadi Bapak sudah tidak mau menerima berkas saya?” Lalu adik saya berbicara pada saya  melalui telpon, “Ya udah, kalau gitu langsung laporin aja nih kepala KUA, kyaknya dia emang mau ngga tidur dengan tenang.”

Tiba-tiba terdengar suara kepala KUA, “Oh ngga, saya terima kok surat-suratnya… Terus mau kapan tanggalnya?” adik saya pun menyebutkan tanggalnya, lalu dia kembali menekankan “Ada masalah?” Kepala KUA pun berkata “Oh, ga ada masalah kok.. bisa.. bisa..” Tampakanya kepala KUA sudah mulai ketakutan.

Selesailah hari yang mengesalkan itu dengan diterimanya pendaftaran pencatatan nikah adik saya oleh kepala KUA.

Bagi yang menganggap yang diperjuangkan adalah uang yang nilainya sedikit, coba Anda pikirkan bagaimana nasib orang-orang yang dari segi ekonomi berkekurangan, dan dari sisi pengetahuan termasuk sempit, serta dari sisi keberanian termasuk kurang.

Mereka mungkin jarang sekali mempunyai uang 50 ribu rupiah. Apakah mereka tidak berhak untuk mendapatkan pelayanan terbaik dari negara? Apakah mereka tidak layak mendapatkan perlindungan hukum? Haruskah mereka kumpul kebo ato nikah sirihanya untuk meneruskan generasi? Wahai abdi Negara, MALULAH ANDA!!

Hisabul Umam

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement