“Jadi begitu menurutmu?” Percakapan di kedai kopi itu berlanjut.
Lampu yang agak remang tidak masalah bagi pandangan mereka. Yang mereka butuhkan adalah pendengaran. Sesekali bunyi denting peralatan dapur menjadi irama pengiring percapakapan dua kawan tersebut. Tidak banyak orang tersisa di kedai kopi itu, jadi merekalah yang kadang menjadi sasaran nyamuk.
“Ya. Apapun yang kau bilang dan jabarkan padaku Umar, tetap aku tak percaya Tuhan itu ada. Tuhan hanya ada di sini,” sambil ia menunjuk-nunjuk ke pelipis kepalanya.
“Di otak manusia.”
Umar menegak genangan kopi terakhir di cangkirnya, “Sudahkah kau mencari-Nya?“
“Jangan membuatku tertawa, kawan. Aku lebih dulu tahu agama dari dirimu. Aku telah belajar tidak hanya satu agama, banyak. Aku bandingkan, aku cermati dalil-dalil mereka tentang Tuhan mereka masing-masing. Ternyata, yang kudapati adalah satu agama menyalahkan agama lain. Tuhan ada yang satu ada yang banyak. Ada yang punya anak ada yang tidak. Tidak ada interpretasi yang sama tentang Tuhan.”
Ia berhenti sejenak, menunggu reaksi temannya, Umar. Sembari terus menghisap cerutu, ia menatap lawan bicaranya lekat-lekat. Merasa akan didebat, ia melanjutkan bicara.
“Sempat aku berkesimpulan semua agama sama. Karena tidak ada satu definisi tunggal tentang Tuhan, dan akupun memutuskan untuk menyatakan tak beragama apapun. Walaupun pada titik itu aku masih percaya Tuhan itu ada. Kita hanya perlu berbuat baik di dunia, dengan begitu Tuhan yang manapun itu akan membalas kebaikan kita."
"Hingga pada suatu titik, aku terhentak. Aku kembali mengingat-ingat masa laluku. Mencoba kembali menggali baik burukku. Aku bertanya pada diriku dan menggugat Tuhan yang waktu itu masih bersemayam dalam otakku. Mengapa Dia tidak membalas kabaikan yang kuusahakan? Mengapa seolah-olah aku adalah manusia yang tak pernah menolong sesama? Apa salah dan dosa yang kuperbuat hingga ia mengambil istriku. Bahkan di saat ia mengandung anakku?!"
"Sejak saat itu, hukum tentang siapa yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan pula menguap dari otakku. Beriringan juga dengan rasa percaya akan adanya Tuhan. Jika Dia ada, tentu Dia akan bersikap adil pada hamba-Nya!”
Umar membuka matanya yang sengaja ia pejam saat mendengar. Ia melirik gelas kosong dan berharap masih ada sedikit kopi tersisa. Tapi memang hanya ampas hitam yang ada.
“Aku berusaha memahamimu, kawan. Merasakan pahitnya hidup yang datangnya ibarat kilat padamu. Hingga di saat kau belum sempat menutup mata, kilatnya telah membutakan matamu. Kaupun tidak dapat melihat cahaya lagi. Mungkin untuk selamanya.”
“Diam kau! Jika kau yang ada di posisiku, kondisimu pasti lebih buruk!“
Umar tetap melanjutkan bicaranya, “Aku hanya menyampaikan. Aku percaya hanya Tuhan yang mampu mengembalikan penglihatanmu akan kebenaran. Aku memang bukan seorang yang berpendidikan tinggi sepertimu. Menguasai berbagai gelar ilmu pasti yang menjabarkan tentang alam semesta ini."
"Kau pasti telah bosan diceramahi bahwa alam semesta adalah bukti adanya Tuhan, sedangkan kau beranggapan alam ini tercipta secara spontan. Kau juga tak percaya bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan Adam sebagai manusia pertama, sedangkan kau menjujung tinggi teori Darwin tentang evolusi kera menjadi manusia."
"Tentu jika aku mendebatmu dengan hal-hal ilmiah seperti itu, aku akan kalah. Sedang aku tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang ilmu alam. Selebihnya, hanya akan menumbuhkan rasa bangga padamu dan semakin menutup mata dan telingamu pada kebenaran. Aku tidak akan mendebatmu. Malam sudah semakin larut, aku telah kehabisan kata untuk meyakinkanmu."
Mereka berdua memang telah letih. Pemilik kedai yang dari tadi menunggu pengunjung bubar sudah mulai membereskan kedainya. Tidak ada lagi suara alat dapur yang berdentang. Kini, suara kursi yang dirapikan dan meja yang digeser-geser mendominasi kedai yang tidak besar tersebut.
“Biar aku lanjutkan sedikit lagi. Aku hanya akan bertanya padamu. Pertanyaan yang tidak perlu kau jawab untuk diriku. Cukup kau simpan dalam hatimu dan kau jawab dalam benakmu. Aku seorang muslim dan aku percaya kepada Muhammad dan kitab yang dibawanya, Alquran. Tentunya jika kau telah mempelajari berbagai agama, kau telah membaca Alquran bukan? Muhammad memang tidak diberi mukjizat apapun oleh Tuhan pada zamannya. Tapi ia di anugerahi kitab tersebut yang menjadi bukti kerasulannya sekaligus bukti adanya Tuhan."
"Bagaimana kau menyangkal, kalau Alquran itu adalah bukti adanya Tuhan? Bagaimana kau menyangkal bahwa di Alquran dijelaskan rahasia penciptaan manusia dalam rahim, sedangkan pada zaman itu belum ada teknologi rontgen secanggih sekarang?"
"Bagaimana kau menyangkal, bahwa di Alquran dijelaskan pula rahasia penciptaan semesta dengan langit dan bumi yang dulunya satu lalu dipisah? Hal ini baru dibakukan oleh ilmuan abad ke-20 ini, sedangkan abad ke-6 itu telah dipatenkan Tuhan dalam kitab-Nya."
"Bagaimana kau menyangkal keindahan tata bahasa yang hingga sekarang tidak ada manusiapun yang bisa menandinginya?"
"Demi istri dan anakmu, jika Alquran ini bukan bukti adanya Tuhan, bagaimana kau menyangkal bukti-bukti tadi? Sedangkan masih banyak lagi mukjizat yang tidak terpatahkan di Alquran."
"Aku turut berduka dengan tragedi yang menimpa istri dan anakmu. Aku yakin mereka telah bertemu Tuhan di alam sana. Jika kau ingin bertemu Tuhan langsung dan membuktikan kebenarannya, maka kau akan menemui-Nya setelah mati."
***
Setelah percakapan malam itu, Umar tak mendapati kawannya itu lagi di kedai kopi. Sekarang hanya secangkir kopi hitam yang menemani jika ia singgah di kedai tersebut. "Mungkin dia telah bertemu Tuhan," pikirnya dalam hati.
Ares Albirru Amsal
Menggali hikmah
Twitter: @aresalbirru