Jumat 22 Feb 2013 05:30 WIB

Cerpen: Nasib Zagar

“Kenapa baru dikasih tau sekarang ustad? Sudah jam tiga sore, tinggal dua jam lagi.” protesnya santun. Dahinya mengkerut pelik. Ia cukup kecewa dengan pemberitahuan yang selalu mendadak.

“Pesantren kita baru terima kabar ini ba’da dzuhur tadi. Sekarang nggak usah kau pikir kenapa. Cepat kau pulang, ambil rapormu sekarang. Rumahmu lumayan jauh.”  Timpal Ustad Herman tegas.

Pesantren tempat Zagar menuntut ilmu memang seringkali mendapatkan informasi penting di akhir-akhir batas waktu. Jaraknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan Kota Padang Sidempuan, membuat berkas-berkas yang berisikan informasi dari Depdiknas usang di tengah jalan. Kali ini semua santri diinstruksikan untuk mengumpulkan rapor SD.

Zagar yang masih duduk di bangku tsanawiyah itu adalah salah satu santri yang rumahnya cukup jauh dari lokasi pesantren. Walaupun ada angkutan umum yang menuju ke kampungnya, tapi tidak cukup dengan waktu yang hanya tersisa dua jam saja.

Perjalanan ke kampungnya dengan menggunakan angkutan umum memakan waktu tiga jam. Sebab rutenya memutar ke terminal kampung sebelah sehingga memakan waktu setengah jam perjalanan. Ditambah lagi kebiasaan sopir angkutan umum ngetem di terminal itu selama satu jam. Setelah itu baru menuju ke kampung Bargottopong, sebuah dusun di pedalaman Tapanuli Selatan.

Zagar memilih untuk berjalan kaki. Melewati jalan pintas dari belakang pesantren hanya memerlukan waktu satu setengah jam. Tapi, harus dengan langkah kaki super cepat dan melewati sebuah sungai. Sebenarnya ia pernah beberapa kali melewati jalur itu ketika musim liburan tiba. Tapi, tidak untuk membawa rapor. Pasalnya sungai itu tidak memiliki jembatan penyebrangan. Ia hanya berharap kalau tinggi permukaan air sungai tidak terlalu tinggi. Sebagai anak kampung, ia ahli soal berenang.

Spontan Zagar menutup hidung dengan jemari tangan kanannya. Ia baru saja melewati zona paling mematikan di pesantren itu, kamar mandi umum santri yang berada di bagian selatan pesantren. Pesantren itu memiliki tiga kamar mandi umum. Ada di sebelah barat , timur, dan selatan.

Kamar mandi bagian selatan itu yang paling jarang digunakan santri karena letaknya yang sangat jauh di belakang dan menyeramkan. Hanya para santri yang kebagian piket jaga malam saja yang menggunakan kamar mandi itu. Itupun kalau dalam kondisi terdesak. Namanya juga jaga malam, mau nggak mau mereka harus mengontrol setiap sudut pesantren.

Kalau kebetulan kebelet pipis, dengan terpaksa menggunakan kamar mandi itu. Setelah menuntaskan hajatnya, dengan buru-buru beristinja’ lalu ngacir ketakutan. Sampai-sampai masih berserakan sisa-sisa pembuangannya. Jadi, kamar mandi itu siang dan malam menyeramkan. Kalau malam seram karena gelap, kalau siang seram karena sengatan baunya.

Zagar teringat Majohan dan Pane temannya. Kedua temannya itu tiga hari yang lalu dihukum membersihkan kamar mandi bagian selatan karena ketangkap basah oleh jasus – santri mata-mata - tengah berbincang dengan menggunakan bahasa Indonesia di lokasi pesantren. Setelah tugas mereka rampung, mereka merasakan pusing luar biasa hingga harus mendapatkan perawatan.

Ia memasuki jalan setapak. Kanan kirinya sawah yang baru ditanami. Masih basah dan berlumpur. Langkah kakinya dipercepat. Ia menengadah mencari matahari. Berusaha menaksir waktu dengan posisinya.

Para santri Pesantren Al Azhar ini pada umumnya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Jangankan jam tangan, untuk bersekolah pun mereka tak mengenal yang namanya tas sekolah. Mereka membawa buku-bukunya dengan plastik kresek atau dipanggul di atas kepala.

Tiba-tiba Zagar menghentikan langkahnya. Di hadapannya ada beberapa pohon rambutan, durian, dan semak belukar. Ladang itu milik seorang anak daerah yang telah berhasil menjadi seorang pejabat di kota Padang Sidempuan. Opung Rambe ditugaskan merawat dan menjaganya. Tampangnya beringas dan berkulit legam. Urat-urat otot menyembul di sendi-sendi lengan dan kakinya. Tidak terlalu tinggi, tapi bertubuh gempal dan kekar.

Bagi yang tak mengenal Opung Rambe, pasti merasa takut. Tapi, walaupun tampangnya sangar, sebenarnya hatinya baik dan suka menolong. Bukan dirinya yang harus ditakutkan, tapi anjingnya yang harus diwaspadai. Anjing yang turut andil menjaga ladang itu. Anjing herder, tingginya sepinggang orang dewasa. Bulunya cokelat mengkilat, kekar, dan seringkali mengejar orang yang tak dikenalnya tanpa alasan.

Zagar berharap ada opung Rambe di ladang itu. Hanya dialah yang bisa menghentikan langkah kaki anjing itu kalau sedang mengejar orang. Tapi Zagar belum menemukan tanda-tanda keberadaan Opung Rambe. Sama sekali tidak ada.

Ia kembali menengadah. Sudah masuk waktu sore. Bayang-bayang keterlambatan mengumpulkan rapor, memaksa dirinya untuk berani melangkah. Otaknya merangsang hormon adrenalin, membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mulai melangkah perlahan. Mengendus-endus seperti maling. Merangkak jinjit seperti baru belajar jalan.

Ketika posisinya sudah di tengah-tengah ladang, Zagar menahan diri untuk tidak berlari. Matanya lihai memperhatikan situasi. Ada serangan mendadak. Dari arah pukul sepuluh, berlari kencang sesosok makhluk ke arah Zagar. Siap untuk menerkam. Ini mimpi buruk. Gonggongannya membuat jantung yang semulanya maraton menjadi sprint. Adrenalin membanjir. Tidak ada suara Opung Rambe memanggil anjing yang sudah menggila itu. Berarti tidak ada pertolongan.

Zagar yang semula tegak mematung, sejurus kemudian mengambil posisi jongkok dengan sigap. Kontan anjing gila itu ngerem paku. Tubuhnya jatuh belangsak menubruk bumi, kehilangan keseimbangan. Hingga kemudian berbalik arah, lari tunggang langgang ketakutan. Zagar sukses besar mempraktekkan jurus jitu dari Opung Rambe.

“Kalau kau dikejar sama si Robet, kau langsung jongkok. Pasti dia takut,” demikian pesan Opung Rambe. Cara itu umum diketahui oleh orang-orang yang hidup berdampingan dengan anjing-anjing penjaga. Dengan berjongkok, seekor anjing akan mengira kalau kita akan mengambil batu dan siap melemparnya. Ini berlaku untuk anjing kampung yang tidak pernah sekolah. Bukan untuk anjing pelacak milik kepolisian yang sudah terlatih.

Zagar melanjutkan perjalanannya sambil terus mengelap keringatnya yang membanjir. Semilir angin menggoda dedaunan bambu rimbun. Diiringi kicauan burung pipit menyempurnakan melodi alam. Suara gemercik air mulai terdengar. Perlahan jelas deru air mengalir deras. Zagar tiba di tepian sungai.

Ia perhatikan sejenak volume air sedikit meninggi. Ia agak ragu kalau harus menyeberang sambil membawa rapot nanti. Tapi apa salahnya untuk mencoba, mau tak mau ya harus mau pikirnya. Ia lepaskan sandal jepitnya. Lalu ia keluarkan seutas tali rapia berukuran setengah meter untuk diikat pada masing-masing ujung sandal. Jadilah ia berkalungkan sandal di lehernya. Perlahan ia seberangi sungai. Kemahiran anak kampung dalam hal berenang tidak bisa diragukan lagi.

Tak lama berselang ia sudah sampai di tepian. Ia bereskan dirinya. Sandal kembali ia kenakan. Celana dan kaos oblong yang basah tak ia gubris. Toh, nanti juga kering sendiri diseruput angin. Jangan pula risaukan perut kembung, angin tak mampu lagi menembus dirinya. Tubuhnya sudah kebal dari penyakit-penyakit merakyat seperti itu. Inilah kelebihan anak kampung. Sehat tanpa tablet suplemen dan vitamin.

Ia kembali bertemu dengan semak belukar. Ia lewati dengan mudah. Sekitar lima belas menit perjalanan, akhirnya ia sampai juga.

“Assalammualaikum !!!” teriaknya berucap salam. Disambut dengan rentetan balasan salam. Emaknya keluar dari dapur. Kakaknya mendongakkan kepala dari pintu kamar. Adik bungsunya berdiri tegak di depan pintu kamar mandi. Semuanya tertegun melihat kehadiran Zagar yang tiba-tiba.

“Kenapa kau pulang Gar? Udah liburnya?” Tanya emaknya heran. Kakak dan adiknya menunggu jawaban penasaran.

“Belum Mak, aku mau ambil rapot. Disuruh kumpul sekarang juga, paling lambat jam lima sore ini.” Jawab Zagar terburu-buru sambil terus melangkah ke arah lemari kamar tempat ia menyimpan rapot itu.

“Sini rapotnya biar mamak bungkus.” Pinta mamaknya sambil membentangkan plastik kaca di atas lantai.

“Kau ganti dulu bajumu, terus makan dulu itu ada gorengan di atas meja.” Perintah mamaknya.

Zagar menyerahkan rapotnya. Kemudian bergegas kembali ke kamar mengganti baju. Lalu mencomot satu dua gorengan yang masih hangat dengan cepat. Ia masih mewaspadai waktu.

Di ruang depan mamaknya masih sibuk melapisi rapot dengan plastik kaca. Menutupi segala celah agar cipratan air tak membasahi. Ia paham kalau lagi kepepet gini, Zagar pasti lewat jalan pintas.

Saatnya berangkat. Insya Allah waktunya pas pikir Zagar. “Aku balik ke pondok ya Mak, Assalammualaikum.” Sambil tunduk mencium tangan mamaknya.

"Waalaikumsalam. Hati-hati kau ya nak, baik-baik kau disana.” Pesan mamaknya.

Kembali ia terjang semak belukar. Patahan ranting kayu kering mengiringi langkahnya. Rapot yang telah dilapisi plastik kaca ia dekap di dadanya. Dia masih berpikir bagaimana caranya menyebrangi sungai sambil bawa raport. Ia sampai di pinggir sungai. Ia berpikir sejenak.

Dahulu ia pernah berenang dengan menggunakan satu tangan saja. Sementara tangan yang satunya dijulangkan ke atas sambil memegang sepatu. Tapi cuma sekali itu saja. Ia bawa sepatu pinjaman itu hanya dalam rangka menyambut kunjungan Gubernur Sumatra Utara ke pesantrennya.

Kali ini pasti rasanya beda. Sebab yang dibawa itu raport, bukan sepatu yang kalau kena air sedikit saja juga tidak masalah. Beban mental tentu ada. Seolah yang dibawa itu adalah segenggam bongkahan emas.

Ia tengadahkan kepalanya mencari matahari untuk menghitung waktu. Kemudian ia balas dengan tundukan. Sudah tidak ada waktu lagi pikirnya. Ia pejamkan matanya. Ia kosongkan pikirannya. Mulai khusuk berdoa agar dimudahkan urusannya. Dibacanya surah Alfatihah dalam hati, kemudian ia akhiri dengan ucapan amin.

 

Ia melepas sandalnya. Tak punya waktu untuk memikirkan sandal itu. Dilepas begitu saja di atas akar pohon yang menyembul. Ia fokus pada raportnya. Mulai ia luncurkan sebahagian tubuhnya ke permukaan sungai. Tangan kirinya dijulangkan ke atas memegang rapot. Tangan kanannya berkerja dua kali lipat mengayuh-ayuh. Kedua kakinya mengayun serasi membantu dorongan. Tubuh kecilnya meluncur membelah arus sungai.

Perjalanan terasa lebih lama. Separuh perjalanan pun belum terlampaui. Cukup sulit baginya menjaga keseimbangan. Bayang-bayang kekhawatiran rapot terkena air dan waktu yang semakin menipis memecahkan konsentrasinya. Pikirannya kacau balau. Semakin ke tengah, arus semakin deras. Apalagi volume air sedikit lebih tinggi hari ini.

Ia bersusah payah. Tiba-tiba ada yang menerjang keras. Tidak diduga arus air di tengah sangatlah kencang. Tubuhnya oleng terseret arus. Tidak mungkin ia dapat bertahan hanya dengan tangan satu. Ingin rasanya ia lemparkan raport itu agar tangan kirinya dapat membantu. Tapi ia enggan. Ia enggan masa depannya suram.

Pikirannya berkecamuk. Berusaha ia gapai sebatang gedebok pisang yang turut hanyut di sampingnya, tapi tangan kanannya tak berhasil menjangkau. Debok pisang berlalu begitu saja. Seteguk air memaksa masuk ke rongga mulutnya. Ia kayuhkan lagi tangan kanannya sekuat mungkin, tapi tidak dapat bergerak maju.

Terlintas kembali dibenaknya untuk melemparkan rapot itu demi nyawanya yang mulai terancam. Namun, kembali ia urungkan. Ayunan kedua kaki dan kayuhan satu tangannya tak dapat memecah arus. Tubuhnya terseret, terombang-ambing. Tangan kirinya yang masih terjulang perlahan-lahan lenyap ditelan kedalaman sungai. Perlahan tapi pasti, hingga akhirnya gelap.

Penulis: Muhammad Reza Fadil

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement