REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Doddi Ahmad Fauji
Kepada Litaniar Qonakis Iskandar
Di suatu kafe, gerimis masih rinyai kekasih
burger dan teh sari melati telah kau pesan
sesungguhnya aku masih seperti yang dulu
alergi aroma kapitalisme dan monopolistiknya
tetapi baiklah, terlambat untuk putar haluan
misalkan presiden tidak jadi beli tank Leopard
misalkan besok kiamat, apa yang akan kau pesan?
“Hatiku masih ungu, dan menolak kendali, dan aku
mencandu suspensi dalam komposisi Tchaikovsky
aku punya tanah cukup luas, cukup untuk membuka
pemakaman umum atau mambangun selusin mushola,”
kata-mu yang terkesiap seringai biola sedari belia
kau membeli lira, tapi menyembunyikannya
bertahun-tahun di dalam almari. Harapan dan
keinginan adakalanya harus ditangguhkan
menunggu detik yang baik, hari yang baik
untuk dihelat, dirayakan
Tidak-kah ingin memasan lapangan sepak-bola
tanpa wasit dan tim soraknya, juga tanpa PSSI-nya?
Aku bicara kepada-mu atau aku membujuk-mu
dalam detak jantung, dalam denyar darah
aku keranjingan melestarikan para pemimpi
seperti-mu. Kau yang terkadang autis
kau yang berniat mewaralabakan cuisine
kau yang suka diserang virus moody
“Itu terlalu naif, karena aku ingin memuseumkan
para pemberontak dari seluruh penjuru angin!”
rencana-mu sungguh menakjubkan
setakjub aku pada rempah-rempah Nusantara
sebab rempah-rempah, sebuah pulau eksotis
ditukar guling dengan kota megapolis
Dua estimasi, dua sugyosha, mengepung kota
kau dan aku, gunung dan lembah
Dua hujan yang nanggung pernah kita masuki
hujan cerminan perangai. Para fundamentalis
kelak diganjar banjir bandang. Dan jaketku kuyup
pertanda apakah. Dan dua kali aku terjerembab
betapa bodoh aku menanak jaket dalam kuali
dan terbakarlah saku kanan-bawah
bagian paling puitis yang ingin kuhiasi
dengan raut Fiedel Castro: sang revolusioner
penganjur setiap rumah dijadikan universitas
ia lunas memupus tuna-aksara hingga akar, juga
mengkadali Amerika dengan cerutu dan jenggot
dan kita berenang di madrasah yang sama
di menara gading pencetak kaum hipokrit
Dua entitas, dua sugyosha, mengepung kota
kau hendak memusat, aku ingin berbagi
Dan selepas kita tertawa-ria untuk kekonyolanku
pada malam syahdu tanpa dialektika amorfati
selepas menjabarkan sejengkal itikad bila ijazah
sudah diraih, lelaplah kau dalam tidur purbawi
sesungguhnya ijazah tak berguna kecuali bagi
himpunan reptilia. Kita memiliki warna paruh
yang sama, dan tidak gemar melata
sekalipun terkadang melakukan hibernasi
seperti ular sawah, sebab malam itu
kau mengenakan warna lain dari pikiran-mu
Pikiran-mu dalam berpakaian kulekati dengan
sudut mata memicing 30 derajat ke arah tenggara
sebuah danau masih perawan pada seragam
kebangsaan-mu, teduh, tapa, tak terusik oleh
Angin Sundal sekalipun. Aku tidak dibenarkan
menurut kepatutan adat, untuk serampangan
merenanginya. Sekalipun sangat ingin
lalu kau dan bibir-mu juga subuh itu
setelah jaketku terbakar
nampak seperti anak kecil merindukan bon-bon
dalam toples di pasar swalayan. Kau memang
telah beranjak tidur, tidur yang pulas dan tulus
bibir-mu menjelma sarang lebah
merangsang sekaligus mengancam
sampai pada tahap ini, biosfer kita memancar
membangun solidaritas dan soliditasnya sendiri
Dua kutub, dua sugyosha, mengepung kota
kau dari utara, aku dari selatan
Dengan cara apa aku akan terbunuh
seribu perang telah kulalui. Aku masih kokoh
dan merdeka. Tapi kau membuatku sakaw
merancang kemasan untuk membungkus
butiran rempah yang telah kuracik
dalam bentuk ekstraks
rempah yang mencerca gelagat para pendungu
gerutuannya menggelitik galaksi Andromeda
“Aku dia-siakan, padahal Tuhan menciptakan
Parahyangan sambil tersenyum. Aku disia-siakan
dan roda perekonomian kalian jadi sebatangkara,”
sahut rempah di Nusa Maluku
di perbukitan Pangalengan
Bangsa yang menyia-nyiakan selalu kualat
ditulah oleh petuah leluhur
karena lengan tak menggenggam
lidah tak menyangga
menggapai tak sampai-sampai
Sejengkal-sejengkal Tanah Parahyangan jatuh
dianeksasi kaum oligarkhi yang
lebih licin dari belut sawah
dan anak-anak masa depan
hanya pandai meratap
meminta minuman kemasan
yang akan melubangi ginjalnya 15 tahun ke depan
sia-sia Tuhan berbaik hati kepada bangsa pengekor
samar-samar kudengar pekik Cikapungdung Kolot
terkubur dalam buaian bundo kanduang
juga jerit pilu melengking di kesenyapan malam
menguar dari daun-daun binahong, sambung nyawa
pohon-pohon cengkeh yang ditebangi satu per satu
karena harganya di pasaran melorot tajam
setajam kolor ABG yang juga melorot karena diburu
ingin bercinta yang menggebu-gebu di kebun tebu
disaksikan gerombolan lebah dan murka Tuhan
Dua ronin, dua sugyosha, mengepung kota
kau menjelma azan subuh
Dalam tidur-mu kau kembali menjadi bayi mungil
yang menggemaskan dengan senyum pekat
senyum dalam lelap, lelap mimpi menolak jadi
pengikut sampah Korea. “Aku mengagumi Korea,
tentu Korea Utara yang liat dan bengal. Aku muak
tatapanku tertumbuk pada tubuh lelaki metroseksual
yang kemayu kebencong-bencongan seperti aktor
Korea Selatan. Tak perlu me-rebonding rambut-mu
peradaban ini tidak dibangun oleh lengan dan
pikiran yang banci!” Begitulah aku menafsir
senyum simpul-mu dalam lelap tidur, dalam ibadat
yang ditangguhkan menunggu reda hujan
Dua dunia, dua sugyosha, mengepung kota
waktu pasti berpihak
Rambut-mu sedari dulu sepirang jenggot jagung
sungguh mengagumkan bila dikepang dua
ada tahilalat di bawah bibir, jadi titik ordinat
bagi mata yang nanar, namun demikian keseluruhan
paras-mu mirip Ka’bah bagi kaum muslimin
membuatku menemukan kiblat baru yang lebih segar
untuk bersujud. Aku konak bersujud pada tubuh putih
Mongoloid-mu, pada puting merah jambu-mu
Neng Li, aku telah membaca kedalaman sukma
namun tak pernah hatam-hatam, mengerem obsesi
yang masih melaju kencang. Kini aku belajar
mengendalikan diri lewat interupsi-mu
yang menghangatkan jantungku
aku serasa menyesap seduhan jahe merah
pada tiap diksi yang meloncat dari lidah-mu
Kekasih, nasehati aku sepanjang-panjangnya
bila dituliskan cukup untuk menerbitkan
sebuah novel aforisma. Aku berdebar-debar
kembali teringat nasihat lama tentang lima
perkara sebelum lima perkara
Dua kata saling bertaut
membentuk kalimat yang menggugat
Dan aku selalu menggelegak, dan aku selalu yakin
dan aku selalu ceria. Telah kudaur-ulang
kemurunganku jadi berlarik-larik sajak lantang
menghajar pikiran-pikiran puritan
supaya segera bangun marwah bangsa yang inferior
Mari, mari bergandengan memecahkan kepompong
hingga lahirlah bangsa yang kembali belia
dengan orok-oroknya yang hiper-aktif
Sesuatu pada tatapan-mu, dan tersenyumlah untukku
hanya untukku, karena hanya aku lelaki yang paling
tabah membangun museum dan menyambut-mu
setabah rimba menyambut burung pelikan
Ada saatnya burung-burung pelikan hinggap
di pucuk bakau. Musim memanen telah tiba
dengan semangat rasa syukur, aku akan datang
ke hamparan dada-mu sebagai petani yang siap
mengetam buah-buah cinta yang telah matang
kulihat di langit awan-awan berarak membentuk
pulau terpencil yang belum dinamai. Aku ingin
sampai ke sana hanya bersama-mu, sebagai dua
trubador yang terhormat. Aku ingin membacakan
madah cinta di Esplanade, diiringi lantunan biola-mu
kekasih, geseklah dawai hatiku
hingga mengalun nyanyian abadi
Sesungguhnya aku selalu muda dan ceria
bersanding dengan-mu. Sesungguhnya di sebalik
bencana tersimpan berkah. Maka sungguhnya
aku mencintai-mu, sesungguhnya
aku telah mencintai-mu!
Catatan:
• Sugyosha adalah samurai tidak bertuan yang bertarung untuk membela kebenaran.
• Ronin adalah samurai tidak bertuan yang pekerjaannya merampok.
• Trubador adalah pengembara