REPUBLIKA.CO.ID,Kumpul kebo adalah salah satu warisan tradisi dan budaya dari zaman jahiliyah, yang tentu saja dilihat dari sudut pandang manapun tidaklah dapat dibenarkan. Jika dilihat dari sudut pandang ilmu sosial, kumpul kebo ini merupakan perilaku yang menyimpang dan akan merugikan diri pelaku dan masyarakat sekitarnya. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana bagi mereka yang merasa tidak dirugikan dan lingkungan sekitar mereka tidak peduli dan mereka adalah orang yang mapan dalam hal apa pun?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat memakai berbagai perspektif. Contohnya dari perspektif sosial, jelas itu merupakan perilaku menyimpang meskipun semua orang tidak memedulikannya. Kemudian dari perspektif kesehatan, kumpul kebo adalah penyebab utama penyebaran virus HIV dan AIDS dan masih banyak lagi sudut pandang lain yang bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Sebenarnya, memasukkannya ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Tindak Pidana (KUHP) sangatlah terlambat, tetapi bukan berarti akan sia-sia. Jika rancangan ini telah disahkan menjadi undang-undang, sedikit banyak pasti akan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, terlebih jika undang-undang ini dijalankan dengan tegas. Akan tetapi, jika undang-undang ini tidak dijalankan dengan tegas, tidak akan ada ubahnya seperti tidak ada peraturan.
Namun, jika dilihat Pasal 485 Rancangan KUHP menyebutkan, “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana paling banyak Rp 30 juta. Hukuman ini bersifat alternatif, yaitu hakim dapat memilih apakah dipidana atau didenda.” Itu tidak cukup tegas untuk mengurangi tindak pidana sejenis kumpul kebo ini. Hukum terasa sangat murah bagi orang-orang yang memiliki kekayaan berlimpah. Mereka tidak akan takut untuk melakukannya lagi. Undang-undang haruslah memberatkan karena hakikatnya hukum itu bersifat memaksa.
Pengirim: Muhammad Hatta (Jakarta)