Kamis 13 Jun 2013 06:41 WIB

Suriah Merana (Tidak Ditolong), Hanya karena Beda Negara?

Suasana kota Qusair saat dibombardir oleh pasukan pemerintah Suriah
Foto: guardian
Suasana kota Qusair saat dibombardir oleh pasukan pemerintah Suriah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fika Apriani

Al-Qushair-Suriah mencekam. Kondisi daerah kaum muslim itu hari ini tidak jauh beda dengan Baghdad tujuh abad yang lalu yang dihancurkan oleh Hulako, cucu Jengis Khan.

Di kota sebelah barat-daya Homs inilah sekitar 50 mujahidin gugur dan 40.000 warga Kota Qushair terjebak di dalamnya. Rudal-rudal dan peluncur roket digunakan tiran Syam (Suriah) dan sekutunya Iran untuk membumihanguskan salah satu tempat strategis di Suriah itu.

Bagaimana sikap Amerika sebagai polisi dunia? Memalukan! Mereka justru membiarkan tindakan perampasan biadab hak hidup manusia itu. Hanya karena muslim di sana tidak mau menerima intervensi AS untuk menerima konstitusi baru bagi rakyat Syam, yaitu demokrasi.

Arus pergolakan Syam memang tidak seperti gejolak Arab spring lainnya. Seperti yang dilansir BBC, Senin (20/5) bukan kemerdekaan dari tiran yang mereka inginkan tetapi menerapkan aturan hidup sesuai tuntunan Illahi yang mereka perjuangkan. Teriakkan 'kami tidak menginginkan demokrasi melainkan ingin penegakkan Khilafah', sayangnya bukan suara yang mudah didengar oleh kaum muslim di luar Syam.

Sulitnya informasi yang didapat dan keberpihakan media ternama yang kurang pro-Islam mengakibatkan suara itu tenggelam dan bahkan tidak pernah muncul. Hanya statement bahwa di Suriah terjadi konflik antara Assad dan pemberontak (yang sebenarnya adalah kaum mujahidin) saja yang bisa di dengar oleh muslim hari ini, khususnya Indonesia.

Menyakitkan! Tindakan paradoks terhadap muslim Suriah justru diperlihatkan oleh penguasa negeri muslim di luar Suriah hari ini. Setelah Entitas Yahudi mencaplok Palestina, Golan, dan membom instalasi-instalasi vital di Suriah. tidak ada satupun pengerahan tentara yang dilakukan oleh penguasa negeri muslim di dunia ini, mereka hanya berdiam diri dan menonton pembunuhan saudaranya dengan sangat khusyuk.

Hanya karena sekat nasionalis, mereka rela melihat tetesan darah dan regangan nyawa manusia setiap harinya. Padahal, potongan tubuh yang mereka lihat terlepas dari badannya adalah saudara mereka sendiri. Mereka yang nyawanya tercerabut begitu saja oleh ulah tiran Syam memiliki Tuhan yang sama dengan mereka!

Sekat nasionalisme sangat mengerikan. Hanya karena batas negara, pembumihangusan negeri kaum muslim dibiarkan begitu saja. Bahkan memandangnya sebagai sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan yang harus ditolongpun tidak terpikirkan.

Padahal dulu hanya karena seorang wanita yang dilecehkan oleh  orang Romawi, Al-Mu'tashim billah  menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Amoria dan panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari istana khalifah di Baghdad hingga kota Amoria (Turki). Hari ini, sudah beribu-ribu wanita dilecehka dan bahkan dirampas kehormatannya, pemimpin negeri-negeri kaum muslim masih adem ayem saja.

Benar sabda Rasulullah, kaum muslim hari ini tidak ubahnya buih di lautan, banyak tapi tidak bermakna. Ternyata tanpa khilafah kaum muslimin hanyalah macan ompong yang tidak lagi mampu bertarung untuk mempertahankan harga dirinya.

Jika hari ini sekat nasionalisme memisahkan kita untuk menolong saudara kita, maka harusnya kita bisa membuka mata dan tidak alergi dengan kata ‘khilafah’ yang justru akan menjaga setiap tetes darah kaum muslim yang ditumpahkan oleh pihak kafir penjajah.

Berjuang untuk menegakkannya adalah bukti bahwa kita peduli dan konsekuensi keimanan kita kepada Allah SWT.  Semoga dengan ikut berjuang menegakkan khilfah kita terhindar dari menjadi orang-orang yang mendukung imârah as-sufahâ’.

Sabda Rasulullah: “Semoga Allah menjagamu ya Ka’ab bin ‘Ujrah dari imârah as-sufahâ’”. Ka’ab berkata, “Apakah imârah as-sufahâ’ itu?” Rasul bersabda, “Para pemimpin yang ada sesudahku. Mereka tidak mengambil petunjukku dan tidak berjalan dengan sunnahku. Siapa saja yang membenarkan kebohongannya dan menolong kezalimannya, maka mereka itu bukan golonganku dan aku bukan dari golongan mereka dan mereka tidak akan mengikutiku menikmati telaga (surga). Dan siapa saja yang tidak membenarkan kebohongannya dan tidak membantu kezalimannya, maka mereka itu bagian dari golonganku dan aku bagian dari mereka dan mereka akan mengikutiku menikmati telaga (surga). (HR al-Hakim di Mustadrak ‘alâ ash-Shahihayn).

Wallahu a’lam

Mahasiswa FIK Unpad 2009

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement