Rabu 20 Nov 2013 11:37 WIB

Abracadabra Fragile Five

Inflasi, ilustrasi
Foto: Pengertian-Definisi.Blogspot.com
Inflasi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Adiwarman A Karim 

Abracadabra dalam bahasa Yahudi berarti “Saya menciptakan (a’bra) apa (ca) yang saya katakan (da’bra)”. Kata ini diambil dari bahasa Aramaik kuno, avada kedavra (“let the thing be destroyed”), doa yang diucapkan para tabib dengan maksud agar penyakit pasiennya hilang. Kata dengan makna yang hampir sama diucapkan para tabib Muslim ketika mengobati, kun fayakun, yang arti bahasanya “jadi maka jadilah”.

Berbeda dengan kun fayakun yang penggunaannya masih melekat pada pengertian asal di dalam kitab suci, abracadabra telah berkembang penggunaannya menjadi mantra penyihir, bahkan tukang sulap. Pemahaman “let the thing be destroyed” yang tadinya berarti “hilanglah penyakitnya” telah berkembang menjadi “hancurlah itu”.

Swiss Financial Market Supervisory Authority mencurigai adanya praktik manipulasi kurs mata uang yang dilakukan beberapa lembaga keuangan Swiss. Financial Conduct Authority Inggris juga melakukan investigasi tentang kecurigaan yang sama. Uni Eropa antitrust regulator, Departemen Kehakiman AS, dan badan investigasi FBI juga menyelidi hal yang sama.

Kurs mata uang dimanipulasi melalui beberapa pintu masuk. Pertama, penentuan tingkat suku bunga Libor yang menjadi rujukan tingkat bunga dunia dengan nilai transaksi lebih dari 300 triliun dolar AS. Kedua, penentuan tingkat suku bunga swaps, ISDAfix, yang menjadi rujukan produk derivatif senilai 379 triliun dolar AS. Ketiga, penentuan harga komoditas di pasar berjangka yang menjadi rujukan transaksi senilai 5,67 triliun dolar AS. Keempat, penentuan kurs mata uang di pasar spot, Londonfix, yang menjadi rujukan bagi 181 mata uang di dunia.

Dengan teknik tertentu dan abracadabra!, kurs mata uang dunia dolar AS dan euro yang volume transaksinya sangat besar dapat dimanipulasi. Apalagi, kurs rupiah yang volume perdagangannya kecil. Bila kurs mata uang dimanipulasi, berbagai teori ekonomi moneter tentang penentuan kurs menjadi kurang relevan.

Teori ekonomi tentang inflasi, neraca perdagangan, neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, daya beli paritas memang merupakan alat analisis ampuh dalam menentukan kurs mata uang berdasarkan kekuatan fundamental perekonomian suatu negara, tentunya dengan asumsi tidak ada manipulasi. Namun, ketika manipulasi marak dilakukan, teknik abracadabralah yang ampuh, yang biasanya menggunakan istilah “sentimen pasar”.

Ketika awalnya, tahun 1994, World Markets Co, unit bisnis State Street Corp yang berbasis di Boston dan Thomson Reuters Corp memublikasikan WM Reuters kurs rate, yang lebih dikenal sebagai Londonfix, pelaku bisnis dan regulator menyambut baik sebagai upaya meningkatkan transparansi kurs mata uang karena informasi dapat diakses semua pihak. Kurs rujukan dihitung berdasarkan transaksi aktual yang terjadi selama 60 detik pada pukul 15.59’30” sampai pukul 16.00’30”. Namun, bukan pasar namanya kalau tidak dapat melihat celah untuk manipulasi.

Katakan saja, seorang pedagang mata uang mempunyai banyak pelanggan korporasi, dana pensiun, bahkan bank sentral berbagai negara, yang ingin membeli euro dan menjual dolar AS pada kurs Londonfix. Permintaan itu diterimanya dua jam sebelum pukul 16.00. Berdasarkan permintaan itu, ia memesan pembelian euro dengan kurs 1,3500 dolar AS per euro pada pukul 15.00. Pedagang lain pun melakukan hal yang sama.

Dengan banyaknya transaksi antarpedagang ini, kurs euro naik meskipun pesanan para pelanggan belum benar-benar ditransaksikan. Pada saat penentuan kurs rujukan pukul 16.00, harga euro telah naik secara artifisial menjadi 1,3520 dolar AS per euro. Jadi, pedagang itu membeli pada kurs 1,3500 dolar AS per euro dan menjualnya ke pelanggan pada kurs 1,3520 dolar AS per euro sehingga ia mendapat untung. Teknik manipulasi front running ini jelas dilarang di pasar modal, tapi di pasar mata uang aturannya tidak seketat di pasar modal. Teknik manipulasi marking at the close, yaitu menumpuk transaksi di akhir sesi perdagangan pada pukul 16.00 juga dilarang di pasar modal.

Jenis manipulasi ketiga yang dicurigai adalah pre-arrange trade, yaitu ketika para pedagang mata uang saling membocorkan posisi pesanan mereka sehingga mereka dapat mengatur kurs mata uang pada transaksi pukul 16.00. Ini pun dilarang di pasar modal.

Franklin Allen dan Douglas Gale, guru besar ekonomi University of Pennsylvania dan New York University, sejak 1992 telah mewanti-wanti praktik manipulasi semacam ini. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan telah mengeluarkan fatwa melarang 11 teknik manipulasi. Ternyata, berbagai teknik manipulasi modern di pasar mata uang telah dikenal dan dipraktikkan di zaman Rasulullah SAW. Rasulullah SAW dengan tegas melarang front running yang merupakan salah satu bentuk tadlis. Banyak hadis yang melarang marking at the close yang dalam bahasa fikihnya disebut ghisysy. Rasulullah SAW juga dengan tegas melarang pre-arrange trade yang dalam fikih dikenal sebagai taghrir.

Dalam situasi pasar mata uang yang dimanipulasi, patut dicermati analisis Morgan Stanley yang memprediksikan rapuhnya lima mata uang, yaitu real Brazil, rupiah, rand Afrika Selatan, rupee India, dan lira Turki yang mereka sebut sebagai the Fragile Five. Alasannya, kelima negara tersebut memiliki inflasi tinggi, defisit neraca perdagangan yang besar, dan real effective exchange rate yang tinggi. Juga ditambahkan adanya risiko politik akibat pemilu pada 2014 di India (Mei), Indonesia (April), Afrika Selatan (April–Juni), Brasil (Oktober), juga Turki.

Tanpa dimanipulasi pun, kelima mata uang itu rapuh akibat efek tidak langsung kurs dolar AS yang saat ini dicurigai dimanipulasi. Apalagi, bila dimasukkan sentimen pasar yang rentan dimanipulasi. Indonesia pernah merasakan hal ini di ambang kejatuhan pemerintahan Soeharto. Kurs dolar AS yang ditutup pada level Rp 4.850 per dolar AS pada 1997, meluncur cepat mencapai titik nadir pada level Rp 17 ribu per dolar AS. Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok dari 467,339 pada 1 Juli 1997 ke titik terendah 292,12 pada 15 September 1998.

Tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 10,87 persen di awal krisis naik menjadi 70,8 persen, bunga pasar uang SBPU dari 14,75 persen naik menjadi 60 persen pada Juli 1998. Tak ayal lagi, banyak perusahaan dan bank yang tutup. Krisis moneter berubah menjadi krisis ekonomi sosial politik. Dan abracadabra!, akhirnya pemerintahan Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998.

Hebatnya, menjelang tutup tahun 1998 semua indikator membaik. IHSG naik melampaui 400, tingkat bunga turun, aksi spekulasi mata uang mereda, dan kurs bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp 8.000 per dolar AS.

Jangankan rupiah yang volume transaksinya kecil, dolar AS yang menjadi rujukan mata uang dunia dengan transaksi yang demikian besar pun dapat dimanipulasi. Di sini letak pentingnya bagi regulator untuk segera melengkapi peraturan dan pengawasan transaksi mata uang. Bila mata uang dimanipulasi, intervensi bank sentral dengan menggunakan cadangan devisa ibarat mengisi bak air yang bocor. Menaikkan tingkat suku bunga ibarat menutup keran air, bocornya berkurang, tapi banyak ikan akan menggelepar mati.

Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI yang melarang 11 teknik manipulasi dapat dijadikan gagasan awal penyusunan peraturan dan pengawasan pasar mata uang. Dengan nama dan istilah baru, berbagai manipulasi pasar telah dikenal di zaman Rasulullah SAW. Nabi Sulaiman AS mengatakan dalam bahasa Yahudi “en kol chadash tachat hashamesh”, nothing new under the sun.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement