Ahad 12 Jan 2014 23:30 WIB

Dengan Grobogan Tidak Perlu Impor Kedelai

Tahu, makanan terbuat dari kedelai yang kaya gizi(ilustrasi)
Tahu, makanan terbuat dari kedelai yang kaya gizi(ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Kita belum tahu siapa yang akan jadi juara Wirausaha Muda Mandiri tahun ini. Minggu depan, dalam acara yang biasanya dihadiri 5.000 wirausaha muda, kita baru tahu siapa dia.

Tiap tahun Bank Mandiri memang mengadakan lomba wirausaha untuk anak muda. Juaranya selalu hebat.

"Saya juara tahun lalu, Pak," ujar Adi Widjaja saat menyalami saya di sebuah desa di Purwodadi, Jawa Tengah. Saya memang ke desa Krangganrejo untuk bertemu warga di situ.

Desa ini dekat stasiun yang akan dirancang untuk disinggahi kereta api (KA) kelak. Saat ini stasiun yang dulunya tidak disinggahi KA itu sedang dibangun dan sudah kelihatan gagahnya.

Adi Widjaja datang ke Krangganrejo dengan membawa dua bungkus plastik kedelai. Satu bungkus berisi kedelai impor dari Amerika Serikat. Satunya lagi berisi kedelai hasil tanamannya sendiri yang dibiayai dari hadiah Rp1 miliar yang dia dapat dari Bank Mandiri.

Adi ingin agar saya melihat sendiri bahwa kedelai hasil tanamannya lebih bagus dari kedelai Amerika.

Waktu ikut lomba di Bank Mandiri dulu Adi memang mengajukan proposal bisnis kedelai yang menguntungkan. Proposal ini menarik perhatian, terutama di saat Indonesia kekurangan kedelai. Kita harus impor kedelai besar-besaran karena produksi kedelai kita sangat kecil.

Itu karena petani tidak mau tanam kedelai yang hasilnya kalah dari tanam padi atau palawija. Produktivitas tanaman kedelai kita hanya sekitar 1,5 ton/hektare. Kalau harga kedelai hanya Rp7.000/kg, berarti satu hektare sawah hanya menghasilkan uang sekitar Rp11 juta/hektare.

Adi Widjaja mengajukan proposal mengejutkan: bisa 3 ton/hektare. Bahkan bisa 3,4 ton/hektare. Kalau ini benar berarti satu hektare sawah bisa menghasilkan Rp21 juta lebih. Cukup bersaing dengan tanaman padi. Apalagi kedelai Adi ini sudah bisa dipanen dalam 75 hari.

Adi yang lulusan S1 Biologi Universitas Satya Wacana Salatiga dan S2 di Victoria University Melbourne, Australia, itu mengaku bahwa dia hanya mengembangkan penemuan bapaknya. Sang ayah, drh Tjandramukti yang lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) meninggal dunia tiga tahun lalu dalam usia 75 tahun.

Kalau penemuan Adi ini dikembangkan, maka gugurlah tesis selama ini bahwa kedelai tidak cocok ditanam di negara tropis seperti Indonesia. Selama ini text book mengatakan bahwa kedelai hanya cocok ditanam di negara subtropik yang mataharinya bersinar lebih panjang.

Dari logika "sinar yang lebih panjang" itulah Tjandramukti berangkat melakukan penelitian. Sang ayah ingin membuktikan bagaimana sinar yang pendek bisa ditangkap maksimal sehingga hasilnya sama dengan sinar yang panjang.

Tjandramukti fokus membuat daun kedelai yang mampu menangkap sinar dalam waktu yang lebih pendek tapi daya serapnya lebih besar. Dalam kasus singkong, para penemu membuat daun singkongnya lebih banyak dan tidak cepat rontok.

Dalam hal kedelai ini, ayah Adi tidak ingin membuat daun kedelai yang lebar dan banyak. Ini karena daun yang lebar cenderung melengkung kalau terkena terik matahari yang sangat panas. Kalau daun itu melengkung daya serapnya terhadap sinar berkurang.

Tjandramukti justru ingin menciptakan daun kedelai yang tebal. Agar posisi daun tidak mudah melengkung saat ditimpa terik matahari. Lalu ruas-ruas batang kedelai dia buat pendek untuk efektivitas sistem transportasi. Untuk menciptakan dua hal itu (daun tebal dan ruas pendek) harus diciptakan pupuk khusus.

Walhasil pupuk khusus inilah yang ditemukan Tjandramukti. Jenis pupuk yang bisa mengubah tanah dan mengubah tanaman.

Adi yang meneruskan penelitian sepeninggal ayahanda merahasiakan formula pupuknya. Tapi dia mau menjelaskan bahwa semua itu berbasis kotoran sapi. "Hanya saja makanan sapinya kami atur secara khusus," kata Adi. "Tetap ada unsur serat, protein, dan karbohidrat, tapi kami campur dengan ramuan khusus," tambahnya.

Begitu mendapat hadiah Rp1 miliar dari Bank Mandiri, Adi langsung bergerilya mencari petani yang mau sawahnya ditanami kedelai dengan benih dan pupuk khusus.

Dia dapat sawah seluas 950 hektare. Minggu lalu kedelai hampir 1.000 hektare itu panen. Hasilnya 3,4 ton/hektare. Sama dengan produktifitas kedelai Amerika.

Hebatnya kedelai Adi ini bukan teknologi transgenik. Ini kedelai organik. Butirannya lebih seksi dan sedikit lebih besar dari kedelai Amerika.

Mengapa hanya tanam 950 hektare? "Itulah maksimum volume pupuk yang bisa kami buat. Kami hanya punya 50 ekor sapi," ujar Adi. "Kami perlu beli sapi tambahan untuk bisa bikin pupuk khusus yang lebih banyak."

Sambil meninggalkan Purwodadi kemarin, saya merasa bersyukur Bank Mandiri bisa "menemukan" Adi Widjaja. Tantangan berikutnya tinggal mengembangkannya. Kita sudah mendapat kendaraan untuk swasembada kedelai. Kita tinggal menyediakan jalannya. Kita bisa!

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement