REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Widdi Aswindi
Selepas subuh, saya kembali teringat kata-kata dari seorang profesor di jurusan Planologi ITB. Ia adalah salah satu pendiri dari jurusan tersebut. Dia berpesan agar jangan menggunakan 'gelar kesarjanaan' kalau tak bekerja di bidang atau profesi yang sesuai dengan keilmuannya.
Akibat kata-kata itu, saya memang tak pernah berani menggunakan gelar yang pernah didapat. Maklum saja karena saya ini 'cuma' berprofesi sebagai pengusaha saja.
Saya cuma mencantumkan pendidikan sarjana saja kalau ditanya. Dosen itu begitu ingin rakyat Indonesia umumnya atau mahasiswanya untuk bekerja sesuai dengan ilmu dan penguasaan intelektualnya. Asumsi guru besar saya itu bekerja sesuai keilmuan akan dapat memercepat kemajuan pembangunan.
Memang di Indonesia kini penghargaan pada ilmu dan penguasaan intelektual sangat rendah sekali. Ahli-ahli pangan, farmasi, perbankan, teknik, kedokteran, perminyakan, ekonomi dan lain sebagainya itu masih kalah oleh satu kekuatan. Kekuatan tu bernama: Politik!. Bangsa ini terjebak pada 'like' n 'dislike' yang begitu kuat. Tak ayal profesionalitas dan kemampuan intelektual menjadi nomor sejuta alias terabaikan.
Jadi sangat wajar jika kita hanya dapat mengeluh dada saja kalau pakar politik menjadi komusaris utama di sebuah bank. Ada juga pakar tata negara didaulat sebagai komisaris utama di pabrik semen. Lalu masih ada juga seorang ahli yang katanya pakat konstitusi justru menjadi komisaris di perusahaan tol. Ah banyaklah, politisi jadi komisaris di bank, bahkan relawanpun kecipratan. Sungguh tega luar biasa penempatan itu. Jika meminjam kalimat legendaris Bang Haji Rhoma; terlalu...
Saya tidak bisa membayangkan apakah bapak-bapak itu mampu membaca peluang bisnis dari setiap sektor industri tersebut. Tapi biasanya di Indonesia kalau kita berkata begitu ulasannya hanya satu;Sirik saja karena kamu gak dapat! Hahahhaha...kebiasaan dan karakter seakan-akan menjadi ciri khas kita sekarang ini.
Balik lagi ke kata-kata dosen di awal tadi, intinya setiap orang yang mengaku berilmu dan intelektual, tentunya harus tahu diri. Jangan menantang alam dan situasi tanpa pengetahuan yg mumpuni. Daripada kapal yang kita kemudikan karena terlanjur dipercaya oleng dan akhirnya tenggelam karena kita tidak tahu arahnya kemana dan situasi apa yang harus dihadapi.
Harapan saya hanya satu, semoga BUMN yang dijadikan percobaan-percobaan intelektual politik tersebut dapat terselamatkan. Lalu para intelektual pencari 'gaji sampingan' tersebut diberikan juga pelajaran dan hikmah.
Lantas bagi orang muslim pasti ingat hadits ini: Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya;''bagaimana maksud amanat disia-siakan?'' Nabi menjawab;"Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."
Maka marilah kita jaga martabat intelektual kita dan berkarya dengan ilmu dan kemampuan kita. Insya Allah bakal berkah dan bisa meraih keberhasilan.