REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sidik Pramono (Mahasiswa Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia)
Tidak salah jika orang berharap bisa memiliki seorang pemimpin yang (mendekati) sempurna. Di sisi lain, banyak pemimpin, bahkan orang biasa sekalipun, enggan atau bahkan tidak mau memperlihatkan ketidaksempurnaannya di hadapan publik.
Alih-alih memperlihatkan kelemahan, justru kerap beragam cara, seperti operasi pencitraan harus dilakukan demi menempatkan seorang pemimpin seolah menjadi “manusia-setengah-dewa” tanpa cela. Padahal, jika itu yang terjadi, alamat celaka sebuah organisasi. Pastilah pemimpin bersangkutan tidak akan berani mengambil kebijakan yang 'melawan' kebiasaan dan menggoyang kenyamanan.
Padahal, serupa obat, tindakan-tindakan berat di masa kini bisa jadi bakal meringankan tumpukan beban di kemudian hari. Jack Welch, bos besar General Electric, berprinsip, pemimpin jangan sampai memimpin berdasarkan pendapat umum semata. Menjalankan organisasi bukanlah soal kontes popularitas!
Masih terkait perlombaan pencitraan, seperti hukum alam, semakin seseorang hendak memperlihatkan kesempurnaannya pada saat itu pula orang lain sibuk mencari-cari kelemahan dari yang bersangkutan. Serupa sisi mata uang, di saat ada lovers, di situ pula ada haters--dua belah pihak yang sama-sama sibuk menebalkan citra baik atau menyorongkan sisi gelap seorang pemimpin.
Jika seseorang menjadikan diri seolah-olah sempurna, justru semakin memacu orang lain yang tidak suka untuk menunjukkan dan kalau perlu menciptakan kelemahan itu. Kondisi yang tidak jauh-jauh dari pernyataan penulis terkemuka Amerika, HL Mencken, “Under democracy one party always devotes its energies to trying to prove that the other party is unfit to rule –and both commonly succeed and are right.”
Ingin terlihat terlalu sempurna jelas bukanlah tindakan yang sempurna. Bagaimanapun manusia adalah tempat salah dan lupa. Pemimpin juga manusia dan karena manusiawi pula jika ia memperlihatkan kelemahannya.