REPUBLIKA.CO.ID, Prof KH Didin Hafidhuddin
JAKARTA -- Tahun 2015 M akan segera berlalu dan kita akan memasuki 2016 M. Pergantian tahun ini, kita alami dalam suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang diwarnai berbagai macam masalah yang sangat berat dan kompleks. Persoalan yang melanda elite penguasa berdampak luas terhadap kehidupan bangsa secara keseluruhan.
Di samping persoalan esensial di masyarakat yang tidak terselesaikan sebagaimana mestinya, seperti tingginya angka kemiskinan, melonjaknya pengangguran, kemerosotan akhlak, moral, etika, dan lain sebagainya. Perkisaran waktu selalu membawa harapan baru untuk perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ada ungkapan mengatakan, waktulah yang akan mengubah segalanya. Namun, sesuai sunatullah setiap perubahan ke arah perbaikan memerlukan upaya manusia, sebagaimana pada setiap kerusakan melibatkan andil manusia sebagai pelakunya.
Firman Allah dalam surah Ar’-Ra’du [13] ayat 11, ''Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Apabila Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada bagi mereka wali, selain daripada-Nya.''
Dan surah Ar-Rum [30] ayat 41, ''Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).''
Setelah 70 tahun lebih bangsa Indonesia menjalani kehidupan bernegara di alam kemerdekaan, cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara yang digariskan para pendiri bangsa, semakin jauh dari kenyataan. Bahkan terjadi penyimpangan dari kondisi ideal yang diharapkan saat negara ini didirikan.
Tidak dipungkiri banyak kemajuan positif yang dicapai bangsa Indonesia terutama dalam pembangunan fisik dan demokrasi, tetapi hal itu tidak dapat menahan laju kerusakan yang sedang berlangsung.