Ahad 17 Apr 2016 08:55 WIB

Burqini dan Islamofobia Prancis

Red: M Akbar
Burqini
Foto: www.muslimstate.com
Burqini

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie (Penulis bermukim di Jember)

Andai ditanya apakah yang mencemaskan kehidupan di Barat? Rasanya sederet jawaban yang bakal mencuat HIV dan teroris. Khusus orang Perancis, mungkin mereka akan menambah satu lagi: Fashion Islami!

Menteri Perancis, Laurence Rossignol, akhir bulan Maret kemarin berkomentar galak tentang Burqini. Burqini merupakan pakaian renang sesuai syariat, didesain bagi muslimah (burqa-bikini). Serangan itu ditegaskan oleh Pierre Berg, kolaborator rumah mode Yves Saint Laurent.

Tidak tanggung-tanggung lagi, 4 april yang lalu, Perdana Menteri Perancis ikut nimbrung dengan menyebut pakaian muslimah bukanlah fashion, menutupi atau mengurungi tubuh perempuan adalah semacam 'perbudakan'.

Awal tahun ini Dolce & Gabbana yag berpusat di Italia meluncurkan desain abaya dengan jilbab. Raksasa mode Swedia H & M mengikutinya mengkampanyekan mode wanita Muslim berjilbab.

Burqini memicu kecemasan setelah House of Fraser dan Marks and Spencer menampilkan desain baru yang  menghentak pasar karena tidak lagi bermotif garis-garis sederhana, "Menutupi seluruh tubuh Anda kecuali wajah, tangan dan kaki tanpa mengorbankan gaya".

Selebriti Nigella Lawson tahun 2011 telah membuat heboh dengan membeli burqini dari butik Inggris dan memakainya di Australia. Tahun 2013, burqini dianggap sopan dan tidak mencongkel mata paparazi, istana Buckingham menyarankan Kate Middleton menggunakannya bila ke pantai.

***

Gerah Perdana menteri direspon cerdas BBC, dua hari setelah pernyataannya, di sebuah pusat belanja di Bradford disandingkan pakaian bikini dan burqini. Film ditayangkan dan pengunjung ditanya, manakah yang lebih memperbudak, bikini atau burqini?

Jawaban di Twitter beragam. Pada umumnya masyarakat Inggris menerima burqini. ''Tidak salah bila perempuan ingin menutup tubuhnya''; ''Baik, itu memperkaya  budaya.'' Tapi juga tidak sedikit yang mengatakan itu pembandingan yang salah, konyol, tidak masuk akal.

Masyarakat Inggris ingat, pelaku sejarah masih banyak yang hidup. Tahun 1970, di tengah acara pagelaran Miss World,  banyak perempuan yang tiba-tiba berdiri, protes.

Bukan sekedar berteriak, mereka melempar bom asap, tepung, tomat dan lemparan kertas. Acara menjadi kacau, karena mereka memang menyerang ikon perhelatan,  pembawa acara terkenal,  Bob Hope dari Hollywood. Di luar gedung, barisan  protes lebih banyak lagi.

Slogan mereka jelas, 'Kami tidak cantik, kami tidak jelek, kami marah'. Mempertontonkan perempuan berpakaian bikini di atas panggung, dinikmati jutaan pemirsa televisi adalah bentuk eksploitasi, itu perbudakan. Dari sana genderang 'Women’s Liberation' menyebar. 

Mereka menyuarakan kesetaraan, feminis, sampai pada gagasan menendang simbol-simbol yang dianggap memperbudak perempuan, mulai dari panci, wajan, korset sampai sepatu hak tinggi.

***

Kita yakin, Fashion Islami tak bisa dihentikan.

Itu pernah terjadi di Indonesia, jilbab berdenyut di kalangan pelajar Bandung akhir 70-an, ada kalangan yang mencemaskannya. Tahun 1982 muncul SK tentang seragam anak sekolah yang berujung siswa berjilbab harus pindah sekolah.

Ajaib. Jilbab tak bisa dibendung.

Yang cemas hati melihat pakaian Islami akan berkata,''Itu sekedar mode''. Karena memang, tak ada jalan lain bagi yang cemas hati, kecuali menghibur diri.  Mereka tak tahu, jilbab bukan sekedar mode seperti celana cutbray Elvis Presley yang kini hilang dan kapan-kpan muncul lagi.

Jilbab adalah urusan keyakinan.

Kini fashion muslimah berdenyut di Paris. Dan sudah membuat Perdana Menteri cemas, itu berarti denyut yang keras.

Alhamdulillah.....

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement