Selasa 01 Nov 2016 07:11 WIB

Aksi 411, 212 dan Bahasa Sebagai Kekuatan Simbolis

Red: Muhammad Subarkah
Peserta long march berjalan kaki dalam aksi Bela Islam 212 Jilid III dari Ciamis ke Jakarta di Jalan Raya Rancaekek, Kabupaten Bandung, Rabu (30/11).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Peserta long march berjalan kaki dalam aksi Bela Islam 212 Jilid III dari Ciamis ke Jakarta di Jalan Raya Rancaekek, Kabupaten Bandung, Rabu (30/11).

Aksi 411, 212, dan Bahasa Sebagai Kekuatan Simbolis

Oleh : Muhalim, Kandidat PhD di Monash University

============

Tak bisa dipungkiri bahwa pada aksi 411 yang lalu, beberapa kalangan non-muslim ikut berpartisipasi menuntut agar kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok segera diekseskusi. Walaupun begitu, publik tahu bahwa representasi aksi damai ini membawa nama agama Islam.

Mungkin, saat ini tidak ada agama yang melampaui ‘keseksian’ Islam untuk dikontestasikan dalam diskursus politik, sosial dan budaya. Hal ini bisa kita saksikan utamanya pasca 9/11. Salah satu formula yang sangat mengejutkan, misalnya, adalah  artikel yang berjudul Qatar Reshapes Its Schools, Putting English Over Islam pada tahun 2003 di Washington Post menyuguhkan argumen bahwa dengan memberi jam pelajaran lebih terhadap mata pelajaran Bahasa Inggris, maka diharapkan akan membantu proses deradikalisasi. Seolah-olah Bahasa Inggris adalah suatu ideologi yang bisa mengurangi teror dunia dan Islam adalah agama teror.

Studi korpus yang dilakukan Awass pada tahun 1996 adalah contoh lain. Dalam risetnya terhadap media Amerika, Awass menemukan bahwa artikel-artikel berita yang berkaitan dengan Islam akan selalu dikaitkan dengan ‘fundamentalisme’ dan terorisme’. Representasi Muslim juga diteliti oleh Baker, dkk pada tahun 2012. Mereka menemukan bahwa kata Muslim dalam surat kabar di Inggris selalu dikonstruksikan dalam terma-terma seperti ‘homogenitas’ dan ‘konflik’. 

Representasi bahasa yang berhubungan dengan Islam ini juga menarik dalam konteks aksi damai, jilid 2 dan jilid 3. Kalau kita melakukan survey terhadap media-media online yang berbahasa Inggris, maka kita akan menemukan bahwa kebanyakan judul mereka berkaitan dengan aksi 411akan dipenuhi dengan kata dan frase: ‘violence’, ‘anti-ahok’, ‘violent protest’, ‘Chinese Indonesian governor’, ‘radical’,  ‘clashes’, ‘conservative’ ‘Christian governor’. Jumlah ini melampaui kata dan frase seperti “Ahok’s Blasphemy case’ dan ‘peacefully’.

Seolah-olah ada konsensus dari media-media untuk menggunakan istilah tersebut. Menggiring ke pemaknaan yang terkesan negatif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement