Muslim Mega-Cyber Army Versus Ahok Cyber Army
Oleh : Hersubeno Arief, Jurnalis Senior/Konsultan Media dan Politik
============
Aksi Bela Islam (ABI) mencatat fenomena baru, yakni munculnya kekuatan besar di dunia maya atau Muslim Mega-Cyber Army (MMCA). Mereka ini adalah pegiat sosial media yang berlatar belakang muslim perkotaan, terdidik dan sangat terkoneksi. Mereka termasuk jenis penduduk dunia yang disebut sebagai Native Digital.
Hasil kerja mereka sangat terasa, baik di dunia nyata, maupun dunia maya. Suksesnya ABI I,II dan III tak lepas dari peran mereka dalam menerobos berbagai “barikade’ yang dibangun penguasa dan aparat keamanan. Demikian pula halnya dalam Pilkada DKI.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Politicawave, sebuah lembaga yang mengamati lalu lintas percakapan di sosial media, pada dua pekan masa awal kampanye (23 Sept- 3 Okt), pasangan Ahok-Djarot sangat mendominasi. Dari total 243.859 percakapan, pasangan Ahok-Djarot memimpin dengan 146.460 percakapan, atau total share of awareness-nya sebesar 60.06 %. Net sentiment (selisih dari sentimen positif dengan sentimen negatif) Ahok-Djarot juga paling tinggi dibandingkan dua pasangan lainnya.
Situasinya menjadi berubah drastis setelah munculnya Aksi Bela Islam (ABI) I dan II sebagai buntut pidato Ahok di Pulau Seribu yang menyinggung tafsir Surat Al-Maidah 51. Pada tanggal 23 Sept-5 Okt 2016 ada sebanyak 117.039 percakapan tentang Ahok, 63.81 persen positif. Percakapan tentang Ahok pada tanggal 6 0ktober -20 November, atau setelah kasus Al-Maidah 51 melonjak menjadi hampir dua kali lipat sebesar 216.466 percakapan. Namun sentimen negatifnya lebih besar dibanding yang positif. Tercatat 126.872 (58.61 persen) negatif.
Sentimen negatif terhadap Ahok terus meningkat setelah aksi 212 (ABI III). Ahok tetap paling banyak dibicarakan, tapi dengan sentimen negatif yang sangat tinggi, yakni sebesar -92,047.
Terus menurunnya net sentiment Ahok-Djarot ini adalah hasil kerja dari Muslim Mega- Cyber Army yang rajin bergerilya di dunia maya. Walaupun tidak terkoordinasi, tanpa markas besar dan tanpa komando, namun mereka berhasil membuat keder Ahok Cyber Army yang nota bene lebih berpengalaman, professional, terkoordinasi dan terencana. Jangan lupa Ahok Cyber Army sebagian besar adalah para veteran pemenang dua pertempuran, ketika mendukung Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI 2012 dan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014.
Ahok Cyber Army kini seolah kebingungan menghadapi arus pasukan yang datang dari berbagai penjuru. Seperti jutaan kawanan lebah yang langsung menyengat beramai-ramai, manakala ada account maupun buzzer Ahok yang muncul. Mereka sangat militan. Korbanpun mulai berjatuhan. Selain elektabilitas Ahok-Djarot di dunia nyata dan dunia maya yang terus menurun, kelompok-kelompok ini juga mengincar para pendukungnya. Aksi boikot terhadap Metro TV, boikot produk Sari Roti adalah contoh nyata korban mereka.
Potensi besar Muslim Mega-Cyber Army ini sangat sayang bila hanya digunakan untuk “perang” melawan Ahok. Selain terus mengawal persidangan Ahok, sudah waktunya dimanfaatkan untuk kegiatan yang positif dan bermanfaat untuk umat, bangsa dan negara. Misalnya, pemberdayaan ekonomi umat, pembentukan media alternatif, kegiatan sosial penggalangan dana untuk duafa maupun bencana dan berbagai aktivitas positif lainnya. Jangan lupa pula hendaknya Muslim Mega-Cyber Army ini harus juga mempromosikan Islam yang damai, berakhlak mulia dan rahmat bagi alam semesta.
Momentum persatuan umat seperti saat ini sayang bila dilewatkan. Sebelumnya rasanya sulit membayangkan berbagai elemen Islam yang berbeda harakah/gerakan, bisa bersatu.