Selasa 10 Jan 2017 16:35 WIB

Menggagas Amilpreneur

Red: M.Iqbal
Petugas Amil Zakat saat melayani warga yang membayar zakat fitrah, Masjid Istiqlal, Jumat (1/7). (Republika/Tahta Aidilla)
Petugas Amil Zakat saat melayani warga yang membayar zakat fitrah, Masjid Istiqlal, Jumat (1/7). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Farid Septian *) 

Amilpreneur merupakan istilah baru yang terbentuk dari dua kata, yakni ‘amilin –jamak dari kata ‘amil- dan entrepreneurship. Amil adalah semua orang yang diberi wewenang melakukan pengelolaan zakat sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks UU Nomor 23 Tahun 2011, pengelolaan zakat bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat, dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan (Pasal 3). 

Sementara kata entrepreneurship berasal dari kata entrepreneur yang biasanya merujuk pada aktor atau karater positif, penuh ide dan gagasan baru, baik dari sisi mental (mentality), kepeloporan (leadership), tata kelola (management), maupun kapasitas serta kompetensi (capacity and competency) dalam mengambil peluang sekaligus resiko untuk menghadapi hidup dan kehidupan.

Jika kedua kata tersebut dipadukan, maka amilpreneur merupakan gagasan baru tentang sosok Amil Zakat yang penuh dengan sederet sifat dan karakter positif. Sehingga amilpreneur adalah agregasi sifat dalam sosok yang memiliki segala kebaikan dari sisi mental, kepemimpinan, manajemen, sekaligus kapasitas dan kompetensi di dalam menjalan tugas mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. 

Seorang amilpreneur juga berusaha untuk patuh bekerja dan berkarya pada koridor yang aman baik dari sisi syariah, peraturan perundangan-undangan, juga nilai dan norma sosial. Gagasan amilpreneur di atas selaras dengan Rencana Strategis Zakat Nasional

BAZNAS 2016-2020 (hal.33) yang menentukan bahwa nilai-nilai BAZNAS mencakup semua nilai luhur dan unggul Islami diantaranya adalah entreprenurial yang dimaknai dengan amil senantiasa bermental kuat, pantang menyerah, memiliki optimisme dalam hidup, serta kreatif dan inovatif dalam menghadapi tantangan hidup.

Dalam konteks merealisasikan tujuan pengelolaan zakat, amilpreneur menjadi penting sebab bagaimanapun dana zakat yang terkumpul masih terbilang lebih sedikit dibanding dengan permasalahan kemiskinan yang harus dientaskan. Amil sebagai inisiator proses rekayasa sosial-spritual masyarakat miskin (socio-spritual engineering) seyogianya dapat memberikan program-program pemberdayaan yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup dan pengurangan angka kemiskinan.

Mengapa membahas amil? 

Tentu sudah banyak tulisan para ahli mengenai zakat, mengenai perhitungannya, pengumpulannya, pendistribusiannya, baik subjek maupun objek zakat. Namun nampaknya masih sedikit yang membahas mengenai amil. 

Padahal amil adalah pihak yang termasuk dalam ashnaf untuk mengelola dana zakat itu. Amil memiliki fungsi intermediary yang menjembatani distribusi kemakmuran (distribution of wealth) dari muzaki ke mustahik. 

Singkatnya salah satu kunci kesuksesan pengelolaan zakat tereletak pada kualitas dan kualifikasi sumber daya manusia pengelolanya.

Dewasa ini, masih banyak masyarakat muslim Indonesia yang menganggap amil adalah petugas zakat temporer di kala Ramadhan. 

Tugasnya khusus dan terbatas pada pengelolaan zakat fitrah dan maal tahunan. Amil, dalam tatanan masyarakat kita hari ini belum begitu dipandang sebagai profesi bergengsi. Ia adalah petugas musiman yang mendapat bagian 1/8 dari hasil pengumpulan zakat fitrah dan maal tahunan. 

Kalau begitu pemahamannya di mana letak zakat sebagai pilar ekonomi Islam? Di mana letak zakat sebagai pemberdaya umat jika segmentasinya terbatas pada masjid lingkup kampung? 

Lalu di mana urgensi amil sebagai katalisator peningkatan kualitas mustahik menjadi muzaki? Oleh karena itu badan atau lembaga amil zakat harus memulai kebangkitan zakat dengan kebangkitan amil zakatnya. Yang terakhir ini patut disyukuri sudah dilakukan dan dinisiasi oleh BAZNAS Pusat.

Pembangunan manusia 

Bicara mengenai zakat tak bisa terlepas dari nash Alquran, khususnya surah at-Taubah ayat 60 yang menjelaskan secara terperinci mengenai delapan golongan (ashnaf) yang berhak menerima dana zakat, antara lain fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, ghorim, fi sabililah, dan ibnu sabil. Jika ditelisik lebih dalam, kedelapan golongan tersebut berbicara tentang “siapa” yang subjeknya adalah person kecuali fisabilillah yang dapat dimaknai sebagai sebuah aktivitas. 

Dari sini tersirat bahwa zakat menghendaki pembangunan manusia. Tujuannya jelas, yakni mentransformasi mustahik (person penerima zakat) menjadi muzaki (person pembayar zakat) yang tidak terbatas pada peningkatan kemampuan finansial atau material akan tetapi juga spritual. 

Sederhananya zakat menghendaki pembangunan manusia pada dimensi material-spritual. Oleh karena itu sejatinya pembangunan zakat adalah pembangunan ashnaf dan pembangunan ashnaf adalah pembangunan manusia. Di sinilah letak strategis dari pendayagunaan zakat dalam konteks kontribusi positif bagi peradaban dan kemanusiaan.

Prakondisi amilpreneur

Amilpreneur tidak tumbuh begitu saja, melainkan harus disiapkan sedemikian rupa. Setidaknya ada tiga hal yang dapat disiapkan sebagai prakondisi pembangunan amilpreneur pada sebuah lembaga zakat, yakni terbagi dalam dimensi kultur, struktur, dan superstruktur. 

Pertama, kultur. Lembaga harus menetapkan sistem tradisi dan nilai budaya organisasi yang akan diinternalisasikan kepada seluruh

penggawanya secara konsisten. Kedua, struktur. Aspek ini berkaitan dengan penyiapan tata kelola dan tata laksana organisasi (management model), dan konsep pengembangan sumber daya manusia (human resources development) yang sesuai dengan karakter good amil governance

Ketiga, superstruktur. Aspek ini berkaitan dengan arah dan kebijakan kelembagaan (policy) serta model kepemimpinan (leadership model) yang menjadi acuan dalam menjalankan roda organisasi. Tentu pengembangan dimensi kultur, struktur, dan superstruktur pada lembaga zakat sangat unik dan berbeda dengan bisnis proses lembaga keuangan lainnya.

Namun teringat dengan buku Good to Great yang ditulis oleh Jim Collins bahwa pada dasarnya proses transformasi sebuah organisasi dari sekadar ‘baik’ menuju ‘hebat’ harus dimulai dengan mendapatkan orang (who) yang tepat sebelum memutuskan apa (what) visi, strategis, struktur organisasi, dan taktik yang akan dilakukan.

Hal ini mungkin yang menyebabkan Nabi SAW tidak sembarang memilih dan mengutus seseorang dari puluhan bahkan ratusan sahabat radiallahu anhum untuk menegakkan syariat zakat. Sebagai contoh sosok Muadz bin Jabal ra yang dikenal sebagai salah seorang sahabat terbaik dari kalangan Anshar, muda belia, faqih, paling mengetahui halal dan haram, cerdas brilian, memiliki fisik yang gagah, dermawan, dan amanah. Inilah salah satu contoh potret amil ideal yang wajib untuk kita teladani.

Wallahul muwaffiq ilaa aqwaami thoriq.

*) Amil Baznas RI 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement