Senin 27 Feb 2017 01:00 WIB

Corporatocracy

Adiwarman Karim
Foto: republika
Adiwarman Karim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Adiwarman A. Karim

Corporatocracy adalah suatu sistem ekonomi dan politik yang dikendalikan oleh korporasi atau paling tidak oleh kepentingan korporasi.  Sejarah corporatocracy dimulai pada tahun 1600-an, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di Indonesia, British East India Company di India, Hudson’s Bay Company di Amerika Utara, British South Africa Company di Afrika Selatan, United Fruit Company di Guatemala, Costa Rica, Honduras.

Pembangunan berjalan pesat, birokrasi yang bertele-tele digantikan dengan efisiensi layaknya korporasi, pelayanan publik efisien dan efektif, bahkan sebagian orang yang merasakan jaman VOC menyebutnya sebagai “zaman normal”.  Transportasi kelas Eropa di dalam kota dengan trem, di luar kota dengan jaringan kereta api. Pendidikan kelas eropa mulai dari HIS, HBS, MULO, AMS. Perkebunan kelas dunia, mulai dari teh sampai pabrik gula. 

Namun, zaman normal tidak dapat menutupi perasaan sebagian besar rakyat serasa menumpang di negeri sendiri. Bruce E. Levine dalam artikelnya "The Myth of US Democracy and the Reality of US Corporatocracy" di Huffington Post, menyebutkan rakyat Amerika dikendalikan oleh sistem corporatocracy yaitu kolaborasi antara korporasi-korporasi besar dan para pejabat pemerintah yang menjadi kolaboratornya.

Jeffrey David Sachs, professor Universitas Columbia AS, dalam bukunya 'The Price of Civilization' menjelaskan empat kecenderungan yang melahirkan corporatocracy.  Pertama, lemahnya partai politik dan dominasi beberapa daerah tertentu.  Kedua, besarnya pembangunan kekuatan militer AS setelah Perang Dunia 2.  Ketiga, besarnya peran korporasi dalam membiayai kampanye pemilu.  Keempat, proses globalisasi merubah keseimbangan industri semakin melemahkan posisi tawar pekerja.

Edmund Strother Phelps, pemenang Nobel ekonomi tahu 2006, dalam bukunya "Mass Flourishing' mendefinisikan gejala corporatocracy lebih lanjut.  Pertama, berbagi kekuasan antara pemerintah dan korporasi besar, misalnya di AS dalam bidang keuangan, kesehatan, dan enerji.  Kedua, meluasnya lobi korporasi dan dukungan korporasi untuk kampanye politik, dengan timbal baliknya dari pemerintah.  Ketiga, meningkatnya pertumbuhan dan pengaruh sektor keuangan dan perbankan.  Keempat, meningkatnya konsolidasi korporasi melalui merjer dan akuisisi.  Kelima, kecenderungan meningkatnya potensi korupsi dan penyimpangan pemerintahan / korporasi.  Keenam, tidak berkembangnya wirausaha dan usaha kecil yang dapat menyebabkan stagnasi ekonomi.

Joseph Eugene Stiglitz, profesor Universitas Columbia AS dan pemenang Nobel ekonomi tahun 2001, dalam artikelnya "Of the 1%, by the 1%, for the 1%" di Vanity Fair menjelaskan banyak dari ketimpangan ekonomi saat ini yang disebabkan oleh manipulasi sistem keuangan, yang difasilitasi oleh berbagai perubahan regulasi yang “dibeli dan dibayar” oleh industri keuangan itu sendiri.  Regulator seakan-akan menutup mata terhadap berbagai praktek lemahnya tranparansi dan praktek benturan kepentingan. Regulasi yang telah tergadai itulah menurut Stiglitz yang menyebabkan the top 1% menguasai hampir “seperempat” total pendapatan dan memiliki sekitar 40% kekayaan di AS.

Regulasi yang dianggap menghambat kepentingan korporasi diubah dan disesuaikan dengan kepentingan korporasi.  Pembangunan terasa pesat, namun meninggalkan perasaan galau di sebagian besar rakyat.  Bukan karena rasa iri si kecil terhadap keberhasilan si besar, namun karena menonjolnya keberpihakan pemerintah pada kepentingan korporasi.

Ada empat keadaan corporatocracy.  Pertama, keadaan pemerintah yang lemah berhadapan dengan satu korporasi yang kuat atau cartel beberapa korporasi yang kuat.  Pada periode tahun 1670 an di Amerika Utara, The Hudson's Bay Company, bukan saja beroperasi sebagai monopoli, tapi juga secara de facto menjadi pemerintah.  Sejarah yang mirip dengan VOC di Indonesia.

Kedua, keadaan pemerintah yang lemah berhadapan dengan beberapa korporasi besar yang saling bersaing.  Persaingan yang tajam antara korporasi besar ini bahkan dapat membawa negara dalam kekacauan perang saudara atau bahkan merusak keutuhan negara tersebut.

Ketiga, keadaan pemerintah yang kuat berhadapan dengan satu korporasi yang kuat atau cartel beberapa korporasi yang kuat.  Kempat, keadaan pemerintah yang kuat berhadapan dengan beberapa korporasi besar yang saling bersaing.

Keadaan pertama dan kedua banyak ditemui di negara-negara berkembang.  Sedangkan keadaan ketiga dan keempat banyak ditemui di negara-negara maju.  Di negara-negara maju dengan pemerintahan yang relatif kuat seperti AS, corporatocracy menimbulkan banyak masalah sebagaimana telah dijelaskan diatas.  Situasi semakin buruk di negara-negara berkembang dengan pemerintahan yang relatif lebih lemah.

Di negara berkembang yang kaya sumber daya alam dan memiliki pemerintahan yang kuat,  dampak negatif corporatocracy dapat dikendalikan dengan menempatkan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat banyak diatas kepentingan korporasi.  Negara semacam inilah yang menjadi target untuk dilemahkan pemerintahannya. 

Dominasi pedagang Yahudi di Madinah sempat meresahkan Rasulullah SAW ketika baru hijrah.  Kiprah para sahabat membangun kekuatan ekonomi dengan kejujuran, kecerdasan dan akhlak yang baik berhasil mematahkan dominasi itu.  Sejalan dengan terbangunnya kekuatan ekonomi di Madinah, kekuatan politik juga semakin menguat.

 

Ketika pemerintahan yang kuat di jaman Umar bin Khattab ra, beliau juga sempat resah melihat kembali dominannya para pedagang non muslim di pasar.  Kali ini penyebabnya adalah kehidupan yang telah nyaman bagi kaum muslimin sehingga mereka meninggalkan wirausaha.  Umar RA mengingatkan untuk tidak terlena dengan kesenangan dunia dan meninggalkan perniagaan.

Ya’qub bin Ibrahim al-Jalbi al-Kufi al-Baghdadi, dikenal dengan nama panggilan Abu Yusuf di jaman  Kekhalifahan Abbasiyah menulis buku Al Kharaj.  Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid agar menjadi pedoman dalam hal pemasukan serta pengeluaran keuangan negara, meliputi pajak, zakat dan jizyah.

Dalam hak dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat, Abu Yusuf menggunakan kaidah fikih “Tasharruful Imam ala-Ra’iyyah manutun bil Maslahah” (kebijakan pemimpin atas rakyat, harus didasarkan kepentingan umum/rakyat).  Kaidah ini yang menjadi pedoman untuk mencegah terjadinya corporatocracy.  Pemimpin yang dipilih oleh rakyat kemudian lebih mendahulukan kepentingan korporasi diatas kepentingan rakyatnya, akan membawa kerusakan pada negaranya.

Rasulullah saw bersabda, “tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah mengharamkan baginya surga”.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement