REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy (wartawan Republika)
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara. Termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum. Memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
Kalimat di atas merupakan sikap negara Republik Indonesia terkait disabilitas. Kalimat tersebut merupakan kata pembuka dalam UU nomor 8 tahun 2016 tentang disabilitas.
Poin pentingnya dalam UU ini adalah jaminan bahwa masyarakat yang menyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga lain. Ini termasuk hak berpolitik dalam pemilu.
Namun, kata-kata di kitab undang-undang sejatinya masih lebih mudah dirumuskan ketimbang dilaksanakan. Sebab kenyataannya, dalam kegiatan politik di Indonesia, masalah yang menyangkut pemilih disabilitas masih luput dari perhatian.
Pandangan publik lebih tersorot habis pada pertarungan kubu-kubu politik dalam pemilu. Kasus Iwan Bopeng yang mencak-mencak di depan TPS pun masih jauh menyita perhatian ketimbang persoalan yang menimpa pemilih disabilitas.
Padahal di sisi lain, ada banyak masalah yang menimpa pemilih disabilitas. Mereka banyak yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Ini utamanya jika merujuk data di pilkada putaran pertama DKI.
Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih disabilitas DKI yang terdaftar di DPT hanya sekitar 5.271. Bandingkan dengan data sensus nasional tahun 1995 mengenai jumlah penyandang disabilitas DKI mencapai kisaran 283 ribu jiwa.
Dengan asumsi pertumbuhan minimal sebesar 1 persen saja, pada 2017 kini diprediksi ada 300 ribu masyarakat penyandang disabilitas di DKI.
Jika merujuk persentase pemilih aktif di DKI yakni di kisaran 60 persen dari total penduduk, maka bisa diasumsikan persentase yang sama berlaku pada total pemilih disabilitas. Itu artinya dari total sekitar 300 ribu itu, setidaknya ada sekitar 150 ribu dari penyandang disabilitas yang punya hak pilih. Tapi faktanya yang terdaftar saat ini hanya di kisaran 5.271 saja.
Kalaupun terdaftar di DPT, para pemilih disabilitas ini kerap kesulitan dalam proses pencoblosan.
Lokasi TPS kadang sulit dijangkau para pemilih disabilitas. Logistik pemilunya pun tak mendukung, utamanya tunanetra yang butuh surat suara khusus.
Hal ini yang sempat dikeluhkan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Dalam catatan mereka, persoalan DPT bagi pemilih disabilitas adalah hal yang serius.
Dalam catatan Pertuni, salah satu masalah paling serius terkait pendataan terhadap pemilih disabilitas terjadi di DKI. Perbincangan di ruang publik yang lebih tersedot pada pertarungan sengit para kandidat. Ironisnya Pilkada DKI malah menyisihkan substansi pemilu itu sendiri yakni rakyat sebagai pemilih. Dalam hal ini pemilih disabilitas.
Walhasil aktor utama Pilkada DKI lebih kepada para kadidat yang persoalannya lebih banyak diulas. Sedangkan posisi pemilih lebih kepada penonton dan komentator saja. Apalagi pemilih disabilitas.
Dengan bingkai seperti ini sejatinya esensi pemilu jadi dipertanyakan. Apakah ini adalah pesta rakyat atau justru pesta para kandidat?
Memang tak salah jika perhatian soal kandidat yang bertarung menjadi porsi utama. Tapi perhatian kepada pemilih, utamanya pemilih disabilitas, tak bisa dikesampingkan. Sebab bangsa yang beradab adalah bangsa yang memperhatikan hak dan kewajiban warganya secara setara.
Ini sesuai dengan bunyi sila kedua Pancasila, "kemanusiaan yang adil dan beradab." Karena itu, jadi penting bagi bangsa ini untuk beraku adil dan beradab kepada semua warganya saat pemilu berlangsung.
Terkait pilkada serentak tahun 2017, sangat penting untuk mengambil pelajaran atas sejumlah kekurangan yang terjadi di lapangan. Ini utamanya yang menyangkut pemilih disabilitas. Dalam catatan Pertuni, ada tiga masalah serius yang perlu dibenahi penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU.
Pertama dan yang paling pokok adalah persoalan DPT bagi pemilih disabilitas. Mengapa pesoalan DPT ini amat serius bagi pemilih disabilitas?
Memang, faktanya DPT bukan syarat mutlak seseorang bisa memilih. Selama ada kartu dan indentitas resmi, pemilih bisa tetap memilih.
Tapi khusus bagi pemilih disabilitas, persoalan DPT ini jadi sangat krusial. Sebab ini menyangkut pula penyediaan ruang atau akses khusus bagi pemilih disabilitas. Pemilih yang menggunakan kursi roda misalnya, butuh bilik mencoblos yang lebih luas. Atau pemilih tunanetra yang butuh kertas khusus dengan huruf braille.
Walhasil, bila pemilih disabilitas seperti tunanetra tak terdata maka mereka akan terpaksa memilih dengan kertas suara biasa. Itu artinya mereka butuh pendamping untuk mencoblos pilihannya.
Jika itu terjadi bagaimana dengan asas pemilu yang seharusnya langsung, umum, bebas, dan rahasia? Apakah ini bentuk kesetaraan yang adil dan beradab?
Persoalan kedua adalah akses ke lokasi TPS yang sulit. Banyak dari lokasi yang terletak di bibir kali atau jalan sempit dan tak rata. Ini yang kemudian sangat menyulitkan pemilih yang menggunakan kursi roda.
Persoalan ketiga adalah empati petugas TPS. Dalam hal ini dibutuhkan petugas yang sabar dalam membimbing pemilih disabilitas. Sebab pemilih disabilitas membutuhkan waktu yang lebih lama.
Akibat tiga masalah ini banyak pemilih disabilitas yang akhirnya enggan terlibat dalam pesta demokrasi. Seperti diungkap Pertuni, banyak dari pemilih disabilitas yang merasa pilkada bukan diperuntukkan untuk mereka.
Persepsi inilah yang harus dicegah guna menegakkan prinsip kesetaraan yang dianut negara kita. Sebab sila kedua Pancasila dan UU nomor 8 tahun 2016 bukan sekadar dirumuskan sebagai pemanis retorika bernegara. Lebih dari itu, ini adalah tujuan kita sebagai Indonesia.
Karena itu, kini jadi amat penting untuk menjadikan sejumlah persoalan pada pilkada serentak Februari 2017 lalu sebagai bahan pelajaran. Ini utamanya masalah terkait daftar pemilih disabilitas.
Pelajaran itu mesti membawa perbaikan pada pemilu selanjutnya. Yang terdekat adalah putaran kedua Pilkada DKI, April nanti.
Langkah KPU yang berusaha menyempurnakan DPT diharap mampu menyentuh ke kalangan pemilih disabilitas. Selain itu, akses ke TPS diharapkan mampu lebih bersahabat bagi pemilih disabilitas. Hal yang tak kalah penting adalah empati panitia di TPS kepada pemilih disabilitas.
Mungkin KPU bisa juga melibatkan penyandang disabilitas sebagai panitia di beberapa TPS. Ini seperti yang terjadi di Kulon Progo. Sebab UU nomor 8 tahun 2016 pun mengamanatkan pada badan atau perusahaan negara untuk memperkerjakan penyelandang disabilitas sebanyak 2 persen dari total tenaga kerja.
Walhasil penyandang disabilitas memang bukanlah sekadar objek pelengkap dalam demokrasi. Mereka juga harus jadi bagian dari subjek dan objek utama dalam pesta demokrasi.
Sebab pesta ini memang menjadi pesta bagi kita semua. Bukan sekadar pestanya Ahok, Anies Baswedan, atau Iwan Bopeng.