Ahad 04 Jun 2017 05:00 WIB

Kesedihan Antara Galileo dan Ramadhan

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dok.Istimewa
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Galileo Galilei. Ini  kisah dari negeri lain, di masa lalu, di urusan yang lain. Dia teguh menggenggam kebenaran, sedih nestapa, buta, memikul status tahanan rumah, sampai mati.

 

Jenius ini lahir di Pisa, yang ada menara miringnya. Ia mengamati gerak benda dan  menyangkal kesimpulan  Aristoteles yang telah dipegang berabad-abad,  bahwa benda yang berat lebih dulu sampai di tanah dibanding benda ringan. Aristoteles masuk akal, benda yang ringannya sama dengan udara, pasti melayang. Bila sedikit lebih berat dari udara, ia sampai di tanah lebih cepat. Dan benda yang lebih berat pasti super cepat sampai di tanah.

Galileo berpendapat, semua benda bersamaan sampai di tanah, tidak peduli besi, batu atau bulu ayam. Hari ini semua anak-anak SMA mengetahuinya berdasar rumus benda jatuh bebas.

Tahun 1609, ia merupakan profesor dengan gaji tertinggi di Universitas Padua, Venesia. Tahun 1613 Galileo memantik kekaguman lagi. Ia membuat teropong, lalu berangkat ke Roma, di hadapan tokoh-tokoh gereja ia menunjukkan apa-apa yang bisa dilihat di angkasa. Ia disambut decak jempol di mana-mana.

Dua tahun kemudian, ia menulis tentang astronomi yang memicu keriuhan, “Surat Bintik Surya”. Risalah itu menentang teori Ptolemius, dan membenarkan Copernicus.

Gereja tersentak,  gempar. Ilmuwan dan pembesar gereja saat itu menganut teori geosentris. Bumi sebagai pusat alam semesta. Paparan astronomi dan tulisan lain Galileo membuat gelisah semua kalangan. Tahun 1616 keluar keputusan gereja :  Copernicus  itu salah, sesat. Akibatnya Galileo dilarang  menyebarkan teori Copernicus. Galileo menyerah saja.

Tahun 1624 ada harapan, gereja memberi kesempatan mengembangkan bakat astronominya, dan ia menulis lagi. Ditulisnya “Dialog Dua Sistem Utama Dunia” yakni tentang Ptolemius dan Copernicus. Tulisannya berakibat sedih berkepanjangan. Gereja bereaksi cepat, komisi inkuisisi (pengusut) mengadili Galileo. Keputusannya : Sang jenius ini salah, harus bertobat. Itu diikuti palu vonis : Tahanan rumah.

Cerita Gelileo, sang ahli astronomi, fisika, dan matematika adalah cerita tentang keyakinan yang didasari  logika matematika dan dibuktikan dengan fakta alam (empiris). Sejak itu pula, dunia Barat digambarkan memiliki sains dan agama yang berpisah.

***

Ramadhan. Ia bukan cerita dari negeri lain, tapi ada di semua negeri. Ia di urusan agama, di masa lalu sampai masa depan. Ia sebuah masa yang tak bisa diraba atau dilihat dengan mata, ia tidak empiris. Sehebat apapun rumus matematika, tak kan pernah mampu menganalisisnya.

Galileo mengetahui teori Copernicus, lalu lewat teropong ia melihat bulan dan matahari, berikutnya memegang teguh keyakinannya. Berbeda dengan Ramadhan, semua Muslim tahu tentang bulan Ramadhan, tapi tidak semua Muslim menghayati dan kemudian meneguhinya. Bahkan hanya sedikit, ya sedikit.

Survei Pew Centre tahun 2013 menyebutkan, 93 persen Muslim di Asia selatan dan Tenggara melakukan puasa. Itu angka yang menggembirakan, sayang tidak rinci. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga lain pada pertengahan April 2016 di Sumatera, dan Jawa sebelah Barat, kategorinya lebih rinci, dan hasilnya sungguh menyedihkan,  yang selalu berpuasa hanya 60 persen, yang sering berpuasa 29 persen, yang kadang-kadang dan sama sekali tidak berpuasa 6 persen.

Angka ini lebih menyedihkan bila di telusur lebih detil.  Kenapa?  Asumsinya, orang yang berpuasa belum tentu melaksanakan shalat 5 waktu. Tetapi seseorang yang teguh shalat lima waktu dipastikan berpuasa (kecuali uzur).  Jadi, tidak usah bergembira dengan angka  orang yang berpuasa, karena seorang Muslim sejati diukur dari ketaatan shalat.

Penelitian di atas juga menyampaikan bahwa orang yang teguh shalat lima waktu hanya 25 persen. Itu pasti termasuk  Muslim yang tarawihnya secepat kilat agar bisa “tarawih” di mal-mal sambil menikmati fashion dan makan roti.

Termasuk juga pemimpin Muslim yang berbuka puasa bersama dhuafa, tetapi  membiarkan penghambat dan penghalang syiar Islam di siang hari. Di antaranya berkata bahwa semua agama itu sama benarnya, membuat peraturan yang melonggarkan syahwat antara lelaki dan perempuan, pemimpin yang melakukan syirik bersama masyarakat dengan meminta rezeki dan keselamatan pada “penunggu” gunung dan lautan.

Orang demikian menghambat, menghalangi Islam karena menyelisihi tujuan hidup sebagai Muslim. Bila benar-benar mencontoh Rasulullah, dirinya pasti meneladani tugas Rasulullah yakni menyampaikan dan menegakkan islam.  Justru, lebih banyak orang yang shalat lima waktu tapi menghambat, setidak-tidaknya hanya diam, tidak tergerak berdakwah dan berjuang.

Sedikit sekali orang yang dapat menangkap Ramadhan sebagai bulan yang penuh magfirah, rahmah, dan berkah untuk bersemangat menyampaikan dan menegakkan Islam. Dan dari yang sedikit itu, semoga kita termasuk di dalamnya, dihantarkan  ke jalan lurus, jalan ke surga. Amin.

 

*) Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement