REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Salamun *)
Bagian terpenting dan paling krusial dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 Tentang Organisasi Massa (Ormas) adalah tentang kewenangan pembubaran suatu ormas cukup dilakukan dengan pencabutan badan hukum oleh pemerintah (Pasal 62 ayat 3 dan 80A) tanpa melalui proses hukum untuk menguji kebenaran dari apa yang dituduhkan yang lazimnya dalam sebuah negara hukum (rechtsstaat) menjadi kewenangan pengadilan.
Hal inilah yang menurut hemat saya, negara kita yang menganut demokrasi Pancasila, menjadi rasa fasisme. Dimana, warga negara baik secara individual maupun komunal, menjadi tidak boleh bertentangan (baca berbeda) dengan pandangan pemerintah yang sejatinya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya dijamin oleh UUD 1945 (Pasal 28).
Pemerintah dengan kacamatanya berhak menyatakan dan menghakimi suatu ormas bertentangan dengan Pancasila. Pancasila dijadikan semacam mantra atau tongkat sakti yang bisa digunakan untuk membunuh apapun. Bahkan, kemudian membunuh (baca membubarkan) ormas dalam perspektif Perppu ini menjadi lebih mudah dari membunuh seekor lalat yang faktualnya masih lincah berkelit. Meskipun pada ahirnya, ormas masih ada kesempatan untuk menggugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) misalnya. Atau justru eksistensinya (legal standing-nya) juga menjadi persoalan pacsadinyatakan 'bubar'.
*****
Dalam sebuah kesempatan, saya menyampaikan pemikiran kepada Bapak Yudi Latif Ketua Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) bahwa jangan sampai tergoda untuk turut menafsirkan Pancasila menjadi butir-butir tertentu. Pancasila akan menjadi sederhana bahkan jika dibuat menjadi 100 butir sekalipun karena Pancasila merupakan rumusan nilai-nilai kebenaran universal yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa Indonesia dengan mencurahkan pemikiran yang mendalam melalui perdebatan yang panjang hingga tertuang dalam rumusan final pada Pembukaan UUD 1945 yang disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Sejatinya, yang berhak menafsirkan Pancasila adalah rakyat itu sendiri yang direpresentasikan dalam lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan/atau Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan produk berupa konstitusi (UUD), Tap MPR dan Undang-Undang. Yang kemudian secara hierarkies dibuat regulasi berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dimana secara keseluruhan secara otomatis harus mencerminkan dan sekaligus tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Meskipun demikian, atas nama demokrasi, pada ahirnya mau tidak mau atau suka tidak suka karena demokrasi itu adalah kebenaran mayoritas, maka apapun yang dihasilkan dari sebuah proses demokrasi harus kita terima dengan segala konsekuensinya. Namun, tentu saja dalam proses demokrasi juga rakyat akan memberikan evaluasi (penilaian) atas amanah yang diberikan kepada para wakil mereka di Parlemen.
Dalam sidang Paripurna DPR RI Selasa 24 Oktober 2017 ahirnya menyatakan menerima Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas sebagai Undang-Undang setelah mendengarkan pandangan ahir fraksi-fraksi dengan komposisi PDIP, Partai Golkar, Nasdem dan Hanura menerima sepenuhnya. PKB, Demokrat, dan PPP menerima dengan catatan. Sedangkan Gerindra, PAN dan PKS menyatakan menolak.
Proses politik sudah dijalankan dan sekali lagi itulah hasil dari sebuah demokrasi yang kalah dalam proses demokrasi juga harus menerima. Ada upaya yang masih tersisa ialah melalui jalur konstitusional lainnya dengan mengajukan judicial review guna untuk menguji produk hukum tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK).
Undang-undang sebagai produk politik demokratis yang nota bene merupakan kebenaran mayoritas pada ahirnya harus diuji ditingkat MK apakah kemudian secara substantif baik keseluruhan atau sebagian materinya bertentangan dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) atau tidak. Tentang Ormas yang bertentangan dengan Pancasila harus dibubarkan tentu sudah final, yang jadi persoalan adalah mekanismenya sebagai negara hukum tentulah harus melalui jalur hukum (Pengadilan). Wallahu a’lam bish-shawab.
*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML. Email: [email protected]