Jumat 08 Dec 2017 12:17 WIB

Donald Trump Provokasi Umat Islam

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.
Foto: AP/Alex Brandon
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Smith Alhadar, Penasihat ISMES, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Sejak dulu, orang Palestina tidak pernah berharap presiden AS akan berlaku adil terhadap mereka terkait konfliknya dengan Israel. Namun, langkah pemerintahan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang akan disusul dengan pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, sungguh keterlaluan.

Masalahnya, Palestina hendak menjadikan kota itu, khususnya Yerusalem Timur tempat berdirinya Masjid Al-Aqsa, sebagai ibu kota negara Palestina merdeka kelak.

Komunitas internasional sendiri, termasuk AS, menganggap Yerusalem Timur yang direbut Israel pada 1967 sebagai wilayah pendudukan. Dengan demikian, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, sesungguhnya AS telah menabrak sejumlah prinsip hubungan internasional dan Resolusi DK PBB.

Baca Juga: Lini Masa Pengakuan Trump Atas Yerusalem Ibu Kota Israel

Pada 1947, dalam skema pembagian tanah antara Israel dan Palestina, PBB mengeluarkan Resolusi 181 yang menetapkan Yerusalem sebagai kota internasional. Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 (1967) menyerukan Israel mundur dari wilayah pendudukan, yaitu Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

Dalam Kesepakatan Oslo (1993) antara Israel dan Palestina, di mana AS menjadi mediator status final Yerusalem Timur akan ditentukan di meja perundingan. Masih ada puluhan lagi Resolusi DK maupun Majelis Umum PBB yang menegaskan Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan.

Resolusi DK PBB 252 (1968), misalnya, meminta Israel membatalkan semua aktivitas di Yerusalem dan menguruk pendudukan tanah Palestina melalui agresi bersenjata. Resolusi juga menuntut Israel berhenti mengambil langkah lanjutan yang dapat mengubah status quo kota itu.

Resolusi 298 (1971) menegaskan, semua tindakan yang diambil Israel untuk mengubah status Yerusalem, seperti penyitaan tanah, adalah ilegal.

Selain itu, Resolusi 465 (1980) menuntut Israel menghentikan perencanaan dan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah yang diduduki sejak 1967, termasuk Yerusalem. Resolusi itu juga mendesak Israel membongkar permukiman Yahudi yang ada.

Faktanya, bukannya tunduk pada resolusi-resolusi di atas, Israel malah terus melakukan yahudinisasi Yerusalem dengan berbagai cara, temasuk mengorbankan orang Palestina. Segera setelah menduduki Yerusalem Timur, Israel menambahkan sekitar 115 km persegi tanah ke dalam wilayah kota itu.

Tanah ini sama sekali bukan diambil dari wilayah yang secara tradisional termasuk Yerusalem, melainkan dari 28 desa Palestina yang tanahnya diserobot.

Sebelum 1967, Yerusalem Barat memiliki luas 40 km persegi, sementara Yerusalem Timur yang dikuasai orang Palestina memiliki luas tanah sekitar 10 km persegi. Setelah pendudukan, luas wilayah Yerusalem tiba-tiba menjadi 185 km persegi.

Salah satu di antara kekhawatiran utama Israel adalah menjaga agar warga Yahudi tetap mayoritas di Yerusalem. Kuota perumahan nyaris tidak ada hubungannya dengan perencanaan kota, tetapi digunakan untuk mendesak orang Palestina meninggalkan kota tersebut.

Pada 1999, penasihat tinggi mantan wali kota Yerusalem, Teddy Kolek, mengungkapkan, pemerintahnya mempunyai target rahasia untuk membatasi populasi Palestina pada angka 28,8 persen.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement