Rabu 03 Apr 2013 11:30 WIB

Pengadilan Salem, Saat 'Tukang Santet' Dieksekusi

Dukun Santet
Foto: Google
Dukun Santet

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh A Syalaby Ichsan/ Editor ROL

Di Salem, tertoreh sejarah kelam. Pada rentang 1692 hingga 1693, para hakim Pengadilan Salem, Massachusets, Amerika Serikat memvonis mati 20 orang tanpa pembuktian.

Sembilan belas digantung di Gallows Hill. Seorang lagi, kakek berusia 71 tahun. Dia ditindih dengan batu besar hingga mati. Duaratus lainnya selamat. Tapi harus menjalani siksaan di penjara. Mereka dihukum karena dituduh mempraktikkan sihir iblis.

 

Semua berawal dari tingkah aneh dua perempuan muda. Elizabeth (9 tahun) dan Abigail Williams (11 tahun) mengeluarkan sumpah serapah sambil melempari apa yang ada disekelilingnya. Pada akhir abad ke-17, tak ada dokter yang bisa memberi penjelasan medis atas perilaku itu.

Mereka berdarah ningrat. Elizabeth adalah putri Menteri Samuel Paris. Seorang pendeta asal Salem, Massachuset, Amerika Serikat yang duduk di pemerintahan. Sementara, Abigail masih tercatat sebagai keponakan Paris.

Hakim daerah menekan dua bocah itu untuk menyalahkan tiga perempuan. Seorang budak asal Karibia, seorang pengemis, lainnya perempuan tua yang miskin.

Saat diinterogasi, dua perempuan terakhir menyanggah tudingan tersebut. Hanya Tituba, budak berkulit hitam milik Paris yang mengaku. "Iblis datang kepada saya dan menawarkan saya untuk melayaninya."

Tituba lantas menggambarkan 'sosok itu' dengan gambaran rumit seperti anjing hitam, kucing merah, burung kuning. Sosok lain, seorang pria kulit hitam yang ingin dia menandatangani bukunya. Dia mengakui  menandatangani buku itu dan mengatakan ada penyihir mencari dan ingin menghancurkan kaum Puritan macam Paris. Pengadilan memvonis mereka bersalah. Ketiga perempuan itu lantas dimasukkan ke dalam penjara.

Perilaku sihir begitu tua seperti usia manusia itu sendiri. Dalam zaman ini pun, masih ada praktik ilmu gaib yang memasang iklan di koran, bahkan internet.Di Indonesia, sihir lazim disebut santet. Masih belum lekang dari ingatan kita soal kasus pembantaian ratusan manusia yang dijuluki dukun santet di Banyuwangi, Jawa Timur.

Melihat fenomena ini, negara ingin mengantisipasinya dengan satu pasal pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tepatnya, pasal 292.

 

Pasal tersebut pada ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori IV."

Ayat berikutnya menyebutkan, "jika pelaku tindak pidana tadi melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah sepertiga."

Perdebatan ide untuk memidanakan kekuatan gaib menghiasi media massa. Bagi yang pro, bersikukuh kalau pasal ini hanya delik formil. Tersangka cukup mengaku kalau dia sudah menjadi tukang sihir dan merugikan orang lain, maka bisa dipidana. "Yang diukur dampaknya bukan sihirnya,"ujar salah satu pakar.

Buat para penentang, KUHP jenis ini bakal menjadi karet. Kesulitan akan timbul dalam pembuktian. Juga, belum ada standardisasi 'mengukur' untuk menjelaskan ilmu gaib yang bernama sihir atau santet.

Untuk menyikapi perdebatan ini, saya akan meneruskan cerita soal Pengadilan Salem, tiga abad silam.

Pengadilan terdakwa tukang sihir di Salem bukan tanpa latar belakang. Syahdan, Salem adalah daerah pantai yang dihuni warga pendatang. Ketika Inggris memulai perang dengan Prancis, Penguasa Inggris William mengirim pengungsi dari beberapa kota seperti New York, Nova Scotia, dan Quebec ke wilayah Essex, termasuk Salem.

Demografis penduduk yang heterogen membuat konflik antar warga sering terjadi. Khususnya, penduduk yang tinggal di daerah sekitar pelabuhan dengan petani. Samuel Paris pun terlibat dalam konflik itu. Sebagai pendeta, banyak warga yang tidak senang kepadanya. Paris disebut sebagai sosok keras kepala dan serakah.

Alhasil, Paris pun dengan mudah menunjuk 'tersangka' tatkala kerabatnya diklaim menjadi korban ilmu gaib. Terjadilah Pengadilan Salem yang mengeksekusi 20 orang warga itu.

Pengadilan ini kemudian dibubarkan oleh Gubernur Phips pada 29 Oktober 1693. Phips menggantinya dengan Pengadilan Tinggi yang melarang pembuktian spekulatif dan kesaksian terawang.

Negara kemudian merehabilitasi nama baik semua 'penyihir' terpidana di pengadilan itu. Pemerintah mengaku kalau Pengadilan Salem tak lain sebuah kesalahan. Seorang intelektual asal Harvard pun memberi catatan atas pengadilan itu. "Lebih baik sepuluh penyihir bebas daripada seorang tidak bersalah dihukum."

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement