REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah/Tweter: @nashihn
Entah kebetulan atau tidak, film Mesir yang berjudul Toyor el-Zalam, atau ‘Burung Kegelapan’ laksana sebuah prediksi, menggambarkan situasi terkini yang terjadi di Mesir. Film keluaran 1995 itu mengisahkan tentang persaingan ego dan kepentingan antara dua sahabat yang saling berseberangan secara ideologi dan tradisi.
Adil Imam memerankan Fathi Naufal yang liberal pemikiran dan tindakan, sedangkan Riyadh al-Khuly bertindak sebagai Ali az-Zanati yang mewakili kelompok islamis. Tak dikisahkan secara tegas, kubu manakah yang unggul dalam film yang juga dibintangi oleh aktris kenamaan, Yusra itu. Di akhir kisah, kedua sahabat itu, hanya diceritakan saling berebut dan berambisimenendang bola.
Alur film ini cukup menggelitik. Sekaligus mengungkapkan fakta dan realita yang terjadi di Mesir. Bukan hanya pascatergulingnya Mursi, tapi sejak Mesir beralih menjadi negara Republik. Pertarungan antara islamis dan liberalis, menjadi dialektika tak bermuara di negeri piramid itu. Sebut saja misalnya, Ali Abdur Raziq, muncul dengan bukunya yang sangat kontroversial dan menyebabkan ia dikucilkan oleh mayoritas ulama Mesir. Al-Islam wa Ushul al-Hukm, sebuah teori yang memisahkan agama dari negara.
‘Pertarungan’ yang sama, saat nasionalis Gamal Abd el-Nasir, Anwar Sadat, atau Husni Mubarak, menekan eksistensi Ikhanul Muslimin (IM) dan gerakan islamis lainnya, seperti Jamaah Islamiyyah. Maka, di saat Mursi terpilih kesempatan ini, diakui atau pun tidak, digunakan untuk memukul balik rival abadi IM, para liberalis.
Nyaris, tiap lini dari pemerintahan adalah orang-orang terdekat IM. Semua sepakat, bahwa cara pelengseran Mursi adalah inkonstitusional. Tetapi, upaya ‘IM-isasi’, setuju atau tidak, telah mencederai demokrasi itu sendiri. IM hendak mengegolkan rezim//Alakhwanah//, sindiran kubu oposisi atas ‘IM-isasi’ pemerintah.
Maka, di masa pemerintahan transisi Perdana Menteri el-Bablawi, tak ada satupun wakil islamis di rezimnya. Rezimnya hanya dipenuhi oleh kalangan teknokrat dan liberalis. Sekalipun, ia selalu menekankan akan melibatkan islamis, tetapi itu akan berakhir sebatas retorika politik semata.
Partai Kebebasan dan Keadilan yang merupakan sayap politik IM dan Partai Pembangunan dan Pengembangan, sayap politik Jamaah Islamiyyah, sejak tragedi 30 Juni menolak legalitas pemerintahan transisi yang berdiri di atas kudeta militer. Sementara, Partai an-Nur dari Salafi, menilai pemerintah telah gagal. Padahal, demokrasi, bukan soal siapa menang dan siapa kalah, tetapi demokrasi, bagaimana mewujudkan kepentingan bersama. Dalam konteks Mesir, kedua belah pihak jauh dari konsep ideal itu.
Apa yang terjadi di Mesir dan mayoritas kawasan Timur Tengah, pada hakikatnya, tak berbeda jauh. Ini adalah perang ideologi, antara kubu islamis dan liberalis. Soal di manakah meletakkan posisi agama yang proporsional dalam negara. Dan sangat mungkin, beberapa dekade ke depan, episode ini akan tetap mewarnai drama perpolitikan di Mesir. Satu fase masa, yang Indonesia telah melewatinya itu tatkala peletakkan ideologi negara. Bedanya, ada kompromi di sana. Seperti terlihat di Piagam Jakarta. Kompromi bukan sekadar pada asas dan poin kesepakatan, tetapi juga pada penjabaran dari kompromi tersebut. Bukan untuk masalahat kelompok-an sih, tetapi mengesampingkan ego masing-masing kubu.Demi maslahat yang lebih besar: eksistensi negara.
Kegagalan berkompromi ini, akan mengancam stabilitas nasional Mesir. Apalagi ini diperburuk dengan aksi penangkapan terhadap pentolan IM. Dan, kemungkinan kuat pula bahwa aksi ilegal dari militer itu akan tetap berlangsung dengan berbagai dalih, pertama mencegah IM terlibat kembali turut serta dalam Pemilu dengan ketiadaan para pimpinan tertinggi IM. Dan kedua, penangkapan itu akan tetap dibenarkan oleh militer, atas dakwaan provokasi dan propaganda kekerasan di berbagai wilayah oleh para tertuduh itu.
Di satu sisi, standar ganda AS, terlihat sudah. Negeri Paman Sam, mengecam pelengseran Mursi tetapi di satu sisi mendukung percepatan Pemilu sebagai solusi atas krisis Mesir. Inkonsistensi ini terlihat, dari kegamangan AS untuk memberikan bantuan. Padahal, secara tegas Undang-undang di AS melarang bantuan apapun ke negara yang terjadi kudeta militer di dalamnya. Inkonsesitensi serupa saat AS ingin mempersenjatai pejuang Suriah. Ini akibat keyakinan mereka akan keberadaan jaringan Alqaeda di tengah-tengah para pemberontak itu.
Kondisi ini, akan membuka episode lain dari drama politik di Mesir. Sejauhmana konsistensi Barat dan negara-negara internasional, untuk implementasi demokrasi. Tunisia, Uni Afrika, Prancis dan Turki, secara terang-terangan mengecam tindakan inskonstitusional itu. Bahkan, Pemerintahan Erdogan, hanya akan mengakui Mursi sebagai presiden Mesir. Sikap tak sama ditunjukkan oleh Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Yordania dan Qatar. Sebanyak 14 miliar dolar AS, dikucurkan untuk pemerintahan transisi. Bantuan yang tak pernah kunjung cair, semasa Mursi menjabat.
Di penggalan kisah lainnya, jutaan simpatisan dan anggota IM atau para pendukung Mursi, terus turun di jalan dan menuntut ‘singgasana’ Mursi di kembalikan. Meskipun puluhan korban tertembak dalam aksi damai mereka, untungnya mereka tak terpancing. Sempat dalam video yang beredar di jejaring sosial, oknum IM tengah menjatuhkan orang tak dikenal dari lokasi dengan ketinggian empat meter, tetapi itu begitulah propaganda Media. Untungnya, kubu Mursi tak terpancing. Dan itu komitmen mereka.
Maka, jika para pendukung mursi tersulut amarahnya lalu bereaksi serupa dan timbul kekerasan seperti di Suriah—ini lah skenario yang dikonspirasikan—, sebuah perang saudara. Maka paling diuntungkan dari perseteruan panjang ini adalah Israel, tentunya. Perhatian Timur Tengah bahkan dunia akan tersedot dari penjajahan negara zionis itu di Palestina. Di saat, Dunia Arab tengah terperangah dan terninabobokkan dengan hiruk pikuk demokrasi semu tak berkesudahan, jutaan unit pemukiman ilegal, secara diam-diam, tengah dibangun oleh Rezim Netanyahu. Di tanah merdeka, Bumi Palestina.