REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Hafidz Muftisany
Dahulu, bapakku punya janji yang sama bagi setiap anak-anaknya. “Kelak kalian masuk SMA, bapak belikan motor.” Siapa anak yang tak berbinar matanya, berdegup riang mendapatkan janji seperti itu. Terlebih, motor adalah barang mewah untuk anak-anak lereng Merapi seperti kami.
Saya ingat betul kakak melonjak-lonjak saat mendapat motor Kawasaki Kaze-R. Aku pun tak mau kalah. Tiba giliranku menempuh bangku SMA, motor Honda Supra didatangkan dari diler. Sayang, giliran generasi selanjutnya, bapak keburu dikangenin sama Allah SWT.
Siapa bapak yang tidak menyayangi anak-anaknya. Selagi mampu, permintaan anak-anak selalu menjadi prioritas. Belajar dari pengalaman, mengapa bapak selalu menjanjikan hadiah kendaraan selepas SMP. “Nunggu 17 tahun biar bisa ngurus SIM,” sesederhana itu beliau berujar.
Anak-anak tumbuh menjadi dewasa setiap hari. Kelak, mungkin dia akan menjadi seorang bapak dan seorang ibu bagi generasinya. Orang tua seperti bapakku ingin memberikan pelajaran tanggung jawab. Tak sekadar bermanja dengan kelimpahan, tapi bagaimana kalian mengatur kelimpahan itu sesuai proporsinya.
Kata-kata bapakku itu kembali terngiang saat pagi ini linimasa penuh dengan kabar duka. Kecelakaan yang merenggut nyawa enam orang dan melukai 11 lainnya melibatkan anak pesohor Ahmad Dhani. Bukan semata anak pesohor lantas semua mata kita tertuju peristiwa ini. Hilangnya nyawa anak manusia dalam kecelakaan selalu menjadi tragedi.
Abdul Qadir Jaelani, Dul, (13) menjadi pelajaran berharga bagi seluruh orang tua. Fasilitas, meski kita mampu, harus dibarengi dengan tanggung jawab. Lagi pula, hak kita selalu dibatasi oleh hak orang lain. Kita tidak sedang menjalankan kehidupan bebas di dunia ini. Norma berkendara dibuat bukan tanpa perhitungan. Bagaimana psikis anak 13 tahun tentu berbeda dengan 18 tahun. Bagaimana fisik anak puluhan tahun, berbeda dengan anak dua puluhan.
Namun, di Jakarta ini mematuhi aturan lalu lintas ibarat mempertahankan ideologi. Berjajar di belakang garis APILL dianggap salah. Maju beberapa meter tak jadi soal. Akhirnya, menjadi semacam norma baru dan yang tak maju beberapa meter siap-siap menerima umpatan. Kepolisian harus mengubah kebiasaan ini. Betapa tak mematuhi rambu lalu lintas, nyawa siap melayang.
Tentu, anak seperti Dul harus mendapat perlindungan. Betapapun, ia masih anak-anak. Tanggung jawab harus dipikul orang tuanya. Seperti ungkapan Jawa, anak polah bapak kepradah. Setiap tingkah laku anak, itulah cerminan pendidikan orang tua kepadanya. Kita tidak sedang berlomba menuding bapaknya Dul biangnya kesalahan. Tapi, tanggung jawab tersemat di pundaknya. Keluarga-keluarga yang kehilangan pencari nafkah harus dipikirkan. Korban yang menanggung luka jangan lagi menanggung beban materi perawatan.
Teramat sayang jika peristiwa ini tak menjadi pelajaran bagi siapa pun. Nyawa hilang tak lagi bisa diganti. Para orang tua di manapun, semoga bisa memberi hak anak sesuai dengan masanya. Tak akan kalah gembiranya jika mereka diberi mobil remote control dibanding Mitsubishi Lancer. Kadang, perhatian tulus lebih mereka butuhkan dibanding perhatian materi. Kita doakan, semua korban luka, termasuk Dul, segera diberi kesembuhan. Amiin Ya Rabbal 'Alamin.