REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi
Buram. Nasib Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) belum ketahuan ujungnya. Sejak diajukan sekitar 2005, sampai sekarang tak juga usai dibahas. Bahkan, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, Jumat (28/2), menginginkan pembahasannya ditunda.
Ia ingin agar produk obat-obatan menjadi pengecualian dalam rancangan tersebut. Sebab, ini berkaitan dengan nyawa. Bisa jadi, kandungan obat itu terbilang tak halal, tapi justru dapat menyelamatkan manusia. Demikian argumen yang ia ajukan.
Sebuah langkah yang kian menghambat diundangkannya RUU JPH. Di sisi lain, panitia kerja DPR dan pemerintah masih belum juga mencapai titik temu. Paling tidak, ada dua hal penting yang menjadi perdebatan. Pertama, lembaga yang berwenang menangani sertifikasi halal.
Pemerintah menghendaki agar Kementerian Agama yang berwenang menyertifikasi dan memberikan sertifikat halal, mengakhiri tugas yang selama puluhan tahun dilakukan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Jika ini terjadi, LPPOM memang masih dilibatkan, tetapi hanya memberikan pertimbangan dalam penetapan halal atau tidaknya sebuah produk. Mestinya, melihat pengalaman dan standar baku yang telah lama LPPOM miliki, kedudukan LPPOM tak diusik.
Dengan demikian, ketika rancangan ini menjadi undang-undang, lembaga yang berwenang tinggal jalan. Tak lagi harus membenahi dan mempersiapkan diri serta fasilitas untuk sertifikasi. Kedua, soal sifat sertifikasi halal apakah sukarela atau wajib, mestinya sertifikasi wajib.
Kebijakan ini akan membantu konsumen menjangkau lebih banyak produk pangan dan obat-obatan halal. Produk halal merupakan hak konsumen. Selain itu, transparansi proses sertifikasi dan biayanya juga harus selalu dijaga.
Ini akan semakin menumbuhkan kepercayaan produsen pada pemberi sertifikat. Entah sampai kapan perdebatan soal RUU JPH ini berlanjut. Padahal, sertifikasi halal menjanjikan manfaat ekonomi bagi Indonesia dan masyarakatnya.
Tentu, kalau memang Indonesia dan para produsen jeli dan tak mau melepas potensi ekonomi itu. State of the Global Islamic Economy Report 2013 yang disusun Thomson Reuters dan Dinar Standard menyusun angka-angka menggiurkan itu.
Secara global, pada 2012 Muslim membelanjakan 1,088 miliar dolar AS untuk makanan halal. Pada 2018, angkanya diperkirakan menjadi 1,626 miliar dolar AS. Pada 2012, belanja Muslim global pada obat halal 70 miliar dolar AS dan pada 2018 diperkirakan 97 miliar dolar AS.
Belanja kosmetika pada 2012 mencapai 26 miliar dolar AS dan enam tahun kemudian diprediksi mencapai 39 dolar AS. Sedangkan, belanja untuk wisata syariah pada 2012 sebesar 137 miliar dolar AS, pada 2018 akan meningkat menjadi 181 miliar dolar AS.
Wisata syariah ini juga sangat erat kaitannya dengan sertifikat halal, terutama restoran dan hotel halal. Sayangnya, di Indonesia restoran dan hotel halal masih terbatas. Jika kita melihat Malaysia, mereka sudah melesat jauh.
Berdasarkan data Crescentrating's Halal Friendly Travel Ranking (CRaHFT), Malaysia ada di urutan pertama tujuan wisatawan Muslim. Mereka serius menyediakan restoran dan hotel halal bagi wisatawan yang mayoritas dari negara Konferensi Kerja Sama Islam (OKI).
Sementara, dalam daftar itu Indonesia baru berada di nomor empat. Kalau Indonesia tak serius mengurusnya, tentu akan semakin merosot peringkatnya. Jangan salah, negara non-Muslim seperti Australia, Jepang, dan Thailand juga gencar memikat wisatawan Muslim.
Mereka menyediakan tempat shalat di hotel dan bandara. Bukan hanya itu, mereka pun menyajikan makanan halal bagi wisatawan Muslim. Sekarang, tinggal seberapa besar iktikad baik pemerintah dan DPR menuntaskan RUU JPH ini.
Pun, pihak lain yang berkepentingan, seperti produsen pangan, kosmetika, dan obat-obatan. Sudah saatnya kenyamanan dan keamanan konsumen menjadi perhatian. Lagi pula, produk bersertifikat halal menguntungkan secara ekonomi.
Produk-produk halal yang masuk pasar tentu akan disambut baik konsumen yang kini semakin sadar mengenai status kehalalan produk yang mereka konsumsi