Jumat 13 Feb 2015 04:01 WIB

UN, Sebuah Ujian Nasib

Ujian Nasional
Foto: Yasin Habibi/Republika
Ujian Nasional

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh: Indah Wulandari

Menandai semangat perubahan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengubah sistem ujian nasional (UN ) dalam tiga fungsi mendasar.

Pertama, ujian nasional tidak akan menjadi penentu kelulusan seorang siswa. Sekolah yang berhak menentukan kelulusan dengan mempertimbangkan tidak hanya beberapa mata pelajaran, tapi juga seluruh aspek, termasuk perilaku siswa. Dengan kata lain, UN  hanya akan menjadi satu dari beberapa indikator kelulusan.

Kedua, mantan Rektor Universitas Paramadina tersebut memutuskan siswa dapat menempuh UN beberapa kali. Jika hasil ujian pertama belum mencapai standar, siswa akan diberi kesempatan mengikuti ujian ulang.

Niatnya baik, agar siswa bisa belajar kembali untuk memperbaiki pencapaiannya di ujian berikutnya. Namun, siswa yang tidak lulus ujian nasional tahun ini, ujian ulang akan dilakukan pada awal 2016.

Ketiga, setiap siswa wajib mengambil UN minimal satu kali. Mulai tahun depan, pelaksanaan UN akan dipercepat pada awal semester sehingga siswa punya waktu untuk opsi perbaikan.

Lagi-lagi, niatnya digembar gemborkan untuk mengubah UN dari tolok ukur kelulusan menjadi tolok ukur pemerataan pendidikan. Hal itu dijamin oleh Anies dengan wacana meningkatkan kualitas soal dengan menambah soal-soal yang kontekstual dan disertai dengan survei.

Mungkin, seluruh warga negara Indonesia, terutama para kepala sekolah, guru, siswa, hingga orang tua sudah kebas alias mati rasa melihat segala perubahan yang selalu terjadi di sektor pendidikan. Seiring perubahan pemerintahan, selalu bisa dipastikan mereka semua berancang-ancang mempersiapkan segala sesuatunya secara apa adanya.

Sedikit flashback  tentang varian istilah ujian akhir bagi para siswa se-Indonesia. Dimulai dengan Ujian Negara medio  tahun 1965 hingga 1971. Setelah itu, ujian negara tidak lagi dilaksanakan dan hanya diserahkan pada pihak sekolah masing-masing.

Kemudian, pada 1980-2000 dilaksanakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang dinilai berdasarkan penilaian hasil belajar dari dua semester. EBTANAS dijadikan sebagai cara untuk mengevaluasi, mengendalikan serta meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Indonesia.

Lalu, kembali mengalami perubahan sistem dan perubahan nama menjadi Ujian Akhir Nasional pada 2001-2004. Masih dengan nama yang sama, terdapat perubahan dalam sistemnya dengan target nilai kelulusan minimal.

Sejak 2010, istilah Ujian Nasional digunakan hingga sekarang dengan perubahan nilai kelulusan tiap tahunnya.

Berdasarkan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2013 Bab I pasal 1 Ayat 5, UN merupakan kegiatan pengukuran dan penilaian pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Inti UN adalah untuk melihat kondisi mutu pendidikan di Indonesia dan diharapkan terjadi pemerataan kualitas yang sama di seluruh daerah di Indonesia.

Sayangnya, rangka dasar sistem pendidikan yang masih rapuh justru membuat semua pihak yang terlibat, khususnya guru dan para siswa seakan frustasi. Kemudian bermunculanlah berbagai kasus joki UN, bocoran jawaban soal, hingga gantung diri siswa yang tak lulus UN gegara jauh dari target nilai.

Betapa menyakitkan melihat dampak mengerikan dari UN bagi nasib para generasi penerus bangsa ini. Target kuantitatif sangat menjerat siswa dan guru di daerah-daerah tertinggal dalam lingkaran setan soal-soal UN.

Jika mau mengerjakan dengan apa adanya, target tak teraih. Pun, memilih mencari bocoran dan membagikan jawaban ke para murid, sungguh mengkhianati fungsi sosial pendidikan.

Menilik esensi UN versi Anies, target kuantitatif sejatinya masih dipegang erat dengan adanya ujian ulang. Beda dengan yang penulis alami di masa penerapan EBTANAS, misalnya. Siswa hanya dituntut belajar kisi-kisi soal. Tak ada tuntutan untuk mencapai nilai minimum dan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya sesuai dengan kemampuan saat mengerjakan soal.

Artinya, apabila ingin masuk sekolah berlabel favorit, tentunya siswalah yang harus menggenjot belajarnya demi meraih impiannya. Bukan merasa dikejar mimpi buruk harus meraih sesuatu di luar kemampuannya.

Mari melihat raihan UN dari beberapa tahun lalu. Pada tahun ajaran 2004-2005 persentase nilai kelulusan siswa tercatat sebesar 83,31 persen dengan standar nilai lulus 4,25. Pada 2005-2006 persentase nilai kelulusan siswa tercatat sebesar 92,5 persen dengan standar nilai lulus 4,25.

Kemudian tahun ajaran 2006-2007 mempunyai persentase nilai kelulusan sebesar 93,00 persen dengan standar nilai lulus 5,00. Selanjutnya pada 2007-2008 dengan persentase nilai kelulusan 91,32 persen dengan standar nilai lulus 5,25.

Lalu, medio 2008-2009 presentase nilai kelulusan sebesar 93,74 persen dengan standar nilai lulus sebesar 5,50. Pada tahun ajaran 2009-2010 persentase nilai kelulusan sebesar 89,88 persen (99,04 persen) dengan standar nilai lulus 5,50.

Sedangkan tahun ajaran 2010-2011 persentase nilai kelulusan 99,02 persen dengan standar nilai lulus 5,50. Pada 2011-2012 persentase nilai kelulusan 99,5 persen dengan standar nilai kelulusan 5,50. Kemudian pada 2012-2013 persentase nilai kelulusan 99,48 persen dengan standar nilai kelulusan 5,50.

Terlihat selalu meningkat dari sisi kuantitas. Namun, mengapa banyak desakan masyarakat yang meminta UN untuk dihapuskan? Karena riilnya, banyak pihak yang berdarah-darah,ngos-ngosan mencapainya dengan segala cara, baik yang halal maupun curang.

Alat mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai UUD 1945 adalah jalur pendidikan. Nyatanya, kecerdasan hanya tersimpan dalam otak anak-anak generasi saat ini. Karakter dan kompetensi mereka kurang terbentuk optimal.

Hal itu terlihat dari kemunculan generasi kurang tangguh di tengah persaingan global. Banyak sarjana menganggur, belum menyadari apa keinginan dan minat mereka, karena selama ini disadari atau tidak mereka telah dijadikan robot sistem pendidikan Indonesia.

Bila boleh membandingkan, Amerika Serikat punya kultur budaya yang bisa ditiru. Masyarakatnya meyakini bahwa pendidikan menjadi tugas bagi keluarga dan masyarakat. Maka, mereka tidak mau kalau pendidikan diatur oleh pemerintah pusat, pemerintah negara bagian, maupun pemerintah lokal sekalipun.

Masyarakat merasa memiliki hak yang sangat kuat untuk menentukan sistem pendidikan seperti apa yang paling tepat. lantaran menyadari tantangan di setiap komunitas tidaklah sama, sehingga  sistem pendidikan tidak perlu disamakan antara satu kota dengan kota lain.

Intervensi pemerintah pusat dilakukan pada tahun 2001 melalui kebijakan No Child Left Behind atau tak membiarkan satupun anak tertinggal. Kebijakan ini terkait dengan mutu atau kualitas anak didik.

Riilnya, diciptakan standar-standar mutu hasil didik dan pelaksanaan ujian sekolah. Pemerintah pusat memerintahkan pemerintah negara bagian untuk membuat standar pendidikan, membuat kurikulum, membuat soal UN dan menyelenggarakannya.

Intervensi pemerintah pusat dilakukan jika didapati kualitas pendidikan anak-anak SMA sangat menurun hingga tidak meneruskan sekolah.  Sebelum masuk perguruan tinggi atau bekerja mereka juga dites, dan hanya 50 persen dari yang ikut tes lulus masuk perguruan tinggi atau bekerja.

Karena AS menyadari akibatnya. Yakni, akan banyak pengangguran atau bekerja di tempat yang dibayar murah. Sehingga angka kemiskinan makin meningkat dan pendapan negara semakin berkurang.

Tumpuan nasib bangsa Indonesia memang di UN. Sistem yang ‘galau’ penuh ketidakpastian tadi niscaya meluluskan generasi serupa sistem tadi. Tentunya, sang sokoguru pendidikan Ki Hajar Dewantara tidak rela melihat hasil perjuangannya diberantakkan oleh eksperimen nasib dalam UN. Semoga.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement