Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Upaya untuk menghentikan praktik politik dinasti kandas sudah. Ketukan palu di meja Mahkamah Konstitusi (MK) mengakhiri usaha banyak pihak untuk menghapus jejak politik dinasti di alam demokrasi saat ini.
MK menilai larangan politik dinasti justru melanggar hukum dan tak konstitusional. Ketua MK, Arief Hidayat, ketika membacakan amar putusan sidang itu menyebutkan, bahwa pasal 7 huruf r dalam UU tahun 2015 tentang Pilkada bertentangan dengan dengan UUD 1945.
Pasal 7 huruf r tersebut berbunyi,"Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.''
Pada pasal 7 itu pula ada ketentuan yang berbunyi,"Yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan adalah antara lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Dalam pasal 28D (3) disebutkan, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Kemudian pada pasal 28I (2) menjelaskan, setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Kedua ayat tersebut menjadi dalih utama MK untuk merontokkan usaha mencegah terjadinya praktik politik dinasti di bumi pertiwi. Apa lacur, MK memilih untuk membabat pasal 7 huruf r di UU Pilkada.
Sekilas, apa yang menjadi pertimbangan MK seolah masuk akal. Ketentuan di pasal 7 huruf r UU Pilkada itu dianggap sebagai bentuk diskriminasi serta bertentangan dengan hak konstitusional seseorang dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan.
Dengan menghapus pasal 7 huruf r tersebut, dalam pandangan MK, maka tak ada lagi hak yang membatasi seseorang untuk maju dalam rekrutmen atau proses suksesi politik.
Selama ini, usulan masuknya pasal 7 huruf r dalam UU tersebut justru karena desakan yang sangat kuat dari masyarakat dan para akademisi. Melihat praktik politik dinasti yang tidak memberi sumbangsih positif bagi kepentingan masyarakat banyak, maka sebagian besar kalangan mengusulkan agar pemerintah mencegah terjadinya praktik politik tak sehat itu.
Keberadaan petahana, tak bisa dimungkiri, memberi keuntungan tersendiri bagi keluarganya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Ekspose terhadap petahana dan keluarga dekatnya memberi nilai plus sehingga bisa dianggap sebagai promosi gratis.
Munculnya kerabat petahana (politik dinasti) juga akan mematikan tampilnya calon lain potensial akan tetapi relatif tak memiliki akses untuk berpromosi sebelumnya. Untuk itulah perlunya pengaturan sedemikian rupa, sehingga kerabat dekat petahana yang masih satu garis lurus keturunan tak bisa ikut langsung bekompetisi dalam satu periode berikutnya.
Selain itu, faktanya praktik politik dinasti tak memberi sesuatu yang lebih baik. Justru yang terjadi, di beberapa kasus, politik dinasti malah membuat suburnya praktik dan upaya untuk menutup kasus korupsi. Lihat saja yang terjadi di Bangkalan, Madura saat sang ayah (Fuad Amin Imron) digantikan oleh anaknya Makmun Ibnu Fuad.
Hal yang nyaris sama juga terjadi di Provinsi Banten. Sang ibunda (Ratu Atut Chosiyah) menjabat sebagai gubernur. Kemudian menantunya ada yang menjabat sebagai bupati/wali kota (Airin Rachmi Diany) dan adiknya menjadi wakil bupati (Ratu Tatu Chasanah).
Sepenuhnya saya sepakat dengan pandangan, bahwa hubungan kekerabatan dalam pemerintahan merupakan cikal-bakal yang amat potensial bagi lahirnya perilaku korup. Minimal, kekerabatan dan politik dinasti akan memunculkan kebijakan-kebijakan permisif yang memberi preferensi lebih kepada anggota kerabatnya yang menduduki posisi tertentu tersebut.
Saya tak sepenuhnya setuju, bahwa larangan pollitik dinasti itu merupakan ketentuan yang diskriminatif atau berbenturan dengan hak asasi (hak dipilih). Bagaimana pun bebasnya, demokrasi itu tetap memerlukan aturan atau ketentuan tersendiri demi tegaknya keadilan di masyarakat.
Mengapa kerabat dekat petahana juga perlu mendapat pembatasan? Ini karena --selain potensi timbulnya perilakku korup-- kerabat dekat petahana merupakan orang (kelompok) yang memperoleh manfaat langsung atau tidak langsung dari keberadaan atau posisi yang diduduki sang petahana, terutama dari sisi ekspose atau popularitas.
Saudara satu garis lurus sang petahana akan dengan sendirinya ‘menikmati’ posisi promosi gratis selama tokoh itu menjabat. Berbagai keuntungan akan menempel di diri sang petahana lantaran posisinya tersebut. Ragam kentungan itu pula yang lazim dinikmati olah kerabat petahana dan ini membuat ketidakadilan pula bagi masyarakat luas yang akan maju bertarung dalam pilkada atau pilpres.
Hak seseorang memang selayaknya dilindungi. Akan tetapi hak masyarakat juga lebih perlu untuk mendapat perlindungan. Ini sesuai dengan pasal 28J (2) UUD 1945. Bunyi pasal tersebut adalah: dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Ini menjadi bukti, bahwa hak asasi individu pun tetap memerlukan pembatasan dan tak akan bisa bebas sebebas-bebasnya. Pembatasan --sesuai ketentuan yang disepakati bersama-- dalam proses rekrutmen politik merupakan sebuah kewajaran belaka, bahkan beberapa kalangan menganggap itu sebagai suatu keniscayaan.
Persyaratan minimal berijazah SMA atau sederajat --sebagai suatu contoh-- bagi calon presiden merupakan sebuah pembatasan yang telah disepakati bersama. Demikian pula larangan untuk menjabat tiga kali sebagai bupati/wali kota/ presiden di negara kita. Itu pun merupakan bukti nyata sebuah pembatasan dan ini sah-sah saja di alam demokrasi.
Sayangnya tatanan untuk membuat indahnya demokrasi dan betapa masyarakat di negara kita menjunjung tinggi etika dalam berpolitik harus pecah menjadi puing-puing lantaran ketukan palu di atas meja MK. Justru sekarang kita pun menyemai bibit bagi tumbuh suburnya politik dinasti atau kekerabatan. Politik dinasti yang semestinya tak layak bersemi, kini justru menemukan lahan subur untuk hidup dan berbiak.