Ahad 18 Oct 2015 08:30 WIB

Prostitusi Oh Prostitusi

Hiburan malam
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Hiburan malam

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nashih Nashrullah/wartawan Republika

Selalu saja ada ketidaksinkronan dalam hidup ini, antara dogma dan realita, teori dan praktik, idealisme dan fakta. Prostitusi, sebagai fenomena yang menjamak dalam peradaban manusia, adalah refleksi nyata dari apa yang sebut dengan inkonsistensi itu. Semua agama melawan apapun bentuk prostitusi. Yahudi, Kristen, Islam, Budha, Hindu, atau keyakinan lainnya. Doktrin agama-agama tersebut mengecam keras pelaku perzinaan.

Namun tindak tanduk oknum penganut agama itu, justru berasyik-masyuk ‘menikmati’ larangan dari Mahasuci itu. Entah sebagai pelaku, penikmat, atau pengorganisir. Sampai-sampai muncul istilah-istilah yang sangat elitis. Masyarakat Arab pra-Islam, menyebut penjaja seks dengan quhbah. Disebut demikian, karena kebiasaan mereka menjajakan diri ke tiap orang yang melintas. Para mucikari dikenal dengan sebutan al-quwad. Mereka membuat sindikat. Aromanya kuat diindera, tapi kerap sulit dibasmi.

Majunya peradaban manusia tak mampu membuat prostitusi redup. Nilai relegiusitas tak sepenuhnya bisa membentengi keprofanan. Bahkan, sejarah mencatat membludaknya angka prostitusi justru terjadi pada abad modern. Menurut data PBB, di Asia Tenggara saja, pada era 90-an, terdapat 33 juta perempuan yang menjadi korban prostitusi.

Parlemen Eropa memperkirakan wanita yang masuk ke Eropa Barat untuk menjajakan seks mencapai setengah juta orang. Ini menjadi faktor mengapa ‘wisata’ seks menduduki peringkat ketiga perdagangan ilegal setelah narkoba, dan di peringkat pertama adalah senjata. Sebanyak 10 persen dari 842 juta wisatawan mendatangi negara-negara tujuan untuk ‘berbelanja’ seks!

Ini yang saya maksud dengan ketidaksingkronan itu. Peradaban yang terhormat mendudukkan perempuan sebagai sosok yang mulia. Bukan sebagai obyek. Tetapi, begitulah, praktik kadang kali tak berbanding lurus dengan teori dan deretan hukum.  Prostitusi memang tak berdiri sendiri. Ada faktor ekonomi, sosial, kriminalitas dan tentu masalah psikis yang turut menyokong kuatnya praktik haram ini.      

Penanganan prostitusi membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Institusi keluarga memiliki peran penting untuk membentengi diri. Perlu sanksi tegas dari aparat yang berwenang. Prostitusi tumbuh, hilang, lalu muncul kembali disinyalir antara lain karena hukuman yang dijatuhkan atas pelakunya, tak membikin jera.

Di sisi lain, negara juga harus hadir untuk memeratakan kesejahteraan. Impitan ekonomi menjadi alasan tak sedikit wanita terlilit dalam jeratan sindikat prostitusi. Dan tak kalah penting, adalah kontrol sosial yang kuat dari masyarakat. Pelacuran begitu leluasa beroperasi di tengah-tengah kita, benerkah kita memang sudah permisif?

Atau perilaku Barbar manusia modern saat ini yang memperbudak, menjual, dan menindas perempuan, mengingatkan kita terhadap kelakuan yang sama pada peradaban masa kuno. Apakah memang siklus peradaban masa kini tengah berbalik ke masa lampau, sebagaimana yang diteorikan oleh Lauer, Oswald Spengler, atau Pitirim Sorokin?

Berbagai peristiwa itu terjadi berulang-ulang, tanpa direncanakan pada titik tertentu. Tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas antara pola hidup primitif, tradisional dan modern tidak jelas bahkan mulai kabur. Atau, ini adalah upaya mencapai peradaban yang lebih tinggi seperti prediksi Arnold Toynbee?     

Jika kekaguman Umar bin Abdullah bin Abi Rabi’ah (w 93H/711 M), pujangga ternama yang hidup pada Dinasti Umayah dalam puisi-puisinya saja mampu menginspirasi Barat dalam memuliakan perempuan, mestinya, kita sebagai Muslim, di manapun berada, mampu berperan aktif menyelesaikan persoalan ini. Dalam kekagumannya, sosok yang didaulat sebagai tokoh Quraisy paling puitis itu menulis:

Aku melihat paras dan aura kehawaannya

Seperti sinar rembulan yang elok

Ketika tampak dari kegelapan

Dengan segera wajahnya bersinar

Kegaguman dan penghormatannya terhadap perempuan, begitu mengkristal. Ia juga sering disebut-sebut sebagai spesialis penyair yang berkaitan dengan kecantikan, keelokan, dan misteri agung perempuan. Begitu lah perempuan.

Kerapuhan mereka bukan untuk ditindas, mereka lemah tetapi sejatinya sangat kuat, melampui batas kemampuan pria, meski tak banyak yang menyadarinya atau malah sadar dan tahu, tetapi masa bodoh dan pura-pura tak tahu (?). 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement