REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono/Wartawan Republika
Beberapa orang teman mengajak saya ngobrol dan membahas soal partai politik di Indonesia. Bahasan yang diajukan teman saya itu cuma satu: mungkinkah partai politik di Indonesia bersih dari aroma korupsi?
Teman-teman saya tadi memastikan, melihat kondisi saat ini, sangat tidak mungkin ada partai politik (lewat para tokohnya) yang bisa bersih dari daki korupsi yang mengotorinya. Mereka lantas menjelaskan bagaimana cara kerja partai dalam mengeruk dana.
Rekan saya yang pernah menjadi tangan kanan seorang menteri memberikan menjelaskan salah satu cara kerja orang partai dalam mencari dana.
Setiap partai yang menempatkan orangnya di kabinet, hampir pasti akan akan memanfaatkan keberadaan kementerian tersebut untuk mendapatkan dana. Mulai dari pencairan dana ke daerah hingga penentuan proyek kementerian, orang-orang partai akan 'dilibatkan.'
Mendengar cerita ini, teman saya yang mantan anggota DPR dan pada periode ini tak terpilih justru tertawa lebar. Dia menilai, ibarat dalam dunia perdagangan, cara partai mendapatkan dana dengan model seperti itu hanyalah bersifat ritel atau eceran.
Dia lalu menceritakan pengalamannya selama menjadi anggota dewan. Sangat banyak dan beragam dana yang bisa dimanfaatkan partai politik, baik itu untuk kepentingan pribadi maupun untuk kehidupan partai.
Menurut teman saya itu, pemerintah juga tidak serius membersihkan partai dari lumpur korupsi. Dia berpendapat, sesungguhnya sumber utama 'permainan' dana bagi partai politik adalah di Badan Anggaran DPR.
Sesuai namanya, tugas utama Badan Anggaran memang terkait erat dengan keberadaan anggaran pemerintah. Tugas itu antara lain menetapkan pendapatan negara bersama pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait.
Badan Anggaran juga membahas bersama pemerintah yang diwakili menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran.
Badan Anggaran pun membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi. Laporan realisasi dan prognosis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun menjadi bahasan Badan Anggaran.
Lembaga ini juga menyoroti sinkronisasi pembahasan komisi serta pokok-pokok penjelasan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Itulah tugas utama Badan Anggaran, sebagaimana dijelaskan teman saya tadi. Namun, kata teman saya, di lembaga yang dianggap superpenting itulah justru banyak yang bisa dimainkan para operator partai yang duduk di badan tersebut.
Karena memang tidak tahu-menahu, saya dengan spontan bertanya, partai apa saja yang memanfaatkan situasi tersebut di Badan Anggaran? Dengan serta-merta pula rekan saya itu tertawa.
Lalu dia menjelaskan dengan sorot mata serius. "Tak satu pun parpol yang tidak memanfaatkan Badan Anggaran untuk kepentingan partainya dalam memperoleh dana," ungkap teman saya. Tak peduli partai besar atau kecil, semua akan kebagian dan mendapat jatah.
Saya pun terkejut mendengar penjelasan teman tersebut. Melihat saya diam dan menatap dia terus, rekan saya itu mengulang, bahwa tidak ada satu pun partai yang tidak memanfaaatkan keberadaan Badan Anggaran untuk kepentingan partainya. Tanpa mau menyebutkan angkanya, dia menambahkan, jumlah dana yang didapat partai pun tergolong besar.
Semakin penasaran, saya pun bertanya, apakah partai dia (teman saya tadi) juga ikut memanfaatkan dan menikmatinya? Dengan tanpa ragu dia menjawab 'iya' sembari menganggukkan kepala.
Meski semua itu dilakukan untuk kepentingan partai, pada umumnya oknum di DPR itu bekerja 'sendirian.' Pengertian sendirian ini, urai teman saya, semata-mata merupakan siasat atau antisipasi bila kemudian terendus pihak lain yang bertugas memberantas segala bentuk penyimpangan.
Oknum anggota dewan yang bermain di lembaga superpenting itu, jika tertangkap, akan diperlakukan seolah bekerja hanya untuk dirinya sendiri.
Itu sebabnya, kata teman saya mereka yang bermain di lembaga tersebut juga menerima bagian dana yang besar. Para anggota dewan lainnya bisa memahami hal ini. Ya, semua skenario itu dibuat lantaran besarnya risiko yang harus ditanggung anggota dewan tersebut bila ulahnya terdeteksi.
Dengan kenyataan seperti itu, rekan yang mantan anggota DPR tadi berpendapat, kalau memang pemerintah (eksekutif dan legislatif) menginginkan agar partai politik berjalan dalam jalur yang bersih, maka sudah selayaknya Badan Anggaran dibubarkan saja. Lantaran tak tahu sisik melik dan seluk-beluk permainan di Badan Anggaran saya berusaha memahaminya dengan berkali-kali menganggukkan kepala.
Teman tadi melanjutkan, bisa jadi skenario ini sebenarnya diketahui oleh pemerintah atau pihak eksekutif. Oleh sebab itu, sangat sulit untuk bisa mengungkap semua bentuk permainan yang mungkin terjadi. Mungkin juga bentuk pelanggaran ini bisa dikategorikan sebagai toleransi atas praktik tidak benar yang telah menjadi kesepakatan eksekutif dan legislatif, sehingga di mata kedua lembaga ini, hal tersebut bukan merupakan sebuah pelanggaran.
Andai usulan teman saya untuk membubarkan Badan Anggaran itu dijalankan, tentu partai politik akan kesulitan mencari dana untuk memutar roda organisasinya. Itu karena selama ini dari situlah sumber pendanaan utama partai.
Teman saya yang lain lantas bertanya, kalau begitu, lantas dari mana sumber pendapatan partai? Beberapa teman menjawab, bahwa dana partai mestinya berasal dari iuran anggota dan sumbangan yang tidak mengikat.
Saya yakin, akan sangat sulit menerapkan iuran bagi setiap anggota partai. Besarnya sumbangan dari pihak luar pun tak akan mencukupi untuk mendanai kegiatan partai saat ini. Dana lain yang diharapkan tentulah bantuan dari pemerintah. Untuk itu, pemerintah harus mengumumkan secara terbuka alokasi dana untuk semua partai politik. Ini pun belum tentu bisa membuat partai tak lagi penuh daki dan aroma korupsi karena godaan ke arah itu memang kuat sekali.
Seorang teman saya yang lain tiba-tiba nyeletuk. "Kalau kita tak bisa membuat dan menjalankan partai dengan bersih, mengapa pula harus ada partai politik?"