Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Surat dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Balitbang Kemenkes) itu bak palu godam. Melalui surat itu, Kemenkes meminta agar kota Tangerang menertibkan klinik riset kanker PT Edwar Technology milik Warsito Purwo Taruno.
Berdasarkan UU Kesehatan, teknologi dan produk teknologi harus melalui tahapan proses riset, yaitu uji coba hewan, uji diagnosis, dan studi kasus. Riset yang ditempuh Warsito dinggap tak melewati tahapan itu. Padahal, lewat izin Balitbang Kemenkes itulah Warsito mengawali riset alat temuannya berupa electro capacitance volume tomography (ECVT).
Alat pembasmi kanker otak dan kanker payudara yang ditemukan Warsito pada 2009 itu memanfaatkan gelombang listrik pinggiran untuk membunuh sel-sel kanker. Alat ini sama sekali tak ada rujukannya karena memang asli buatan Warsito baru pertama dibuat manusia.
Sebelumnya pada 2004, Warsito yang lulusan Jepang --S1 dan S2 bidang teknik kimia serta S3 bidang elektro-- juga telah menemukan pemindai 4 dimensi yang kemampuannya melebihi CT scan (computerized tomography scan) dan MRI (magnetic resonance imaging). Alat temuan pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah 48 tahun lalu itu pun telah dipatenkan di Amerika Serikat.
Kedatangan surat Balitbang Kemenkes itu menjadi pukulan telak buat Warsito. Ia mengibaratkan, datangnya surat itu seperti seorang ayah yang mengusir anak sendiri. Warsito memang pantas bersedih. Betapa tidak, dari lembaga itulah dia menumpukan harapannya.
Dia pun tak mengindahkan suara sumbang para dokter yang menolak alat hasil temuannya. Nyatanya, lembaga/pemerintah yang diharapkan mendukung karya anak bangsa justru ikut menghalanginya.
Untunglah ada angin segar datang dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir. Ia berpendapat tak semestinya riset Warsito itu dimatikan. Ia akan mengupayakan agar riset tersebut bisa berjalan.
Seorang dokter ahli bedah kepala dari Universitas Airlangga, Sahudi Salim, juga mendukung temuan Warsito. Hasil riset untuk disertasi Sahudi baru-baru ini membuktikan, sel kanker itu bisa mati/terhambat setelah penderita menjalani terapi dengan alat tersebut. Syaratnya, tegangan pada alat itu harus 20 volt dengan frekuensi 100 kHz.
Sahudi menilai, dokter-dokter yang menolak temuan Warsito itu umumnya mendasarkan diri pada hal yang bersifat kasuistik. Ia menggambarkan, banyak kasus penderita kanker stadium 4 yang juga tak sembuh saat ditangani secara medis.
Meski ada beberapa kasus yang gagal, banyak pula penderita kanker stadium lanjut yang sembuh setelah menjalani terapi ECVT. Kakak perempuan Warsito yang menderita kanker payudara stadium 4 juga bisa disembuhkan.
Surat Balitbang Kemenkes itu memang menyedihkan. Itu sekaligus menunjukkan betapa rendahnya para petinggi di negeri ini menghargai karya anak bangsa. Ternyata bangsa ini belum memiliki kepercayaan diri yang tinggi sehingga selalu menganggap karya anak bangsa tak layak dikembangkan dan diandalkan.
Memang, jika alat temuan Warsito ini berkembang, akan banyak pihak yang terkena imbasnya. Perputaran roda bisnis alat-alat pembasmi kanker yang nilainya puluhan dan bahkan ratusan miliar rupiah pasti akan terganggu. Demikian pula dengan obat-obat penyembuh kanker yang harganya selangit --dan selama ini menjadi andalan dunia medis untuk mengobati penyakit yang membahayakan tersebut-- akan banyak yang tak terpakai.
Saya kira akan ada mata rantai panjang dalam dunia medis yang terpaksa harus diputus bila alat ECVT itu membawa hasil dan diakui dunia. Inilah salah satunya yang membuat banyak pihak yakin, bahwa upaya menghambat riset ECVT itu tak lepas dari jaring-jaring bisnis dunia medis.
Belum lagi tenaga ahli dan para dokter --yang selama ini telah menjalani pendidikan dengan biaya mahal dan sering kali harus dilakukan di luar negeri-- akan terganggu kerjanya. Andai kata alat ciptaan Warsito membawa hasil dan diakui dunia, para dokter ahli kanker itu mau tidak mau akan banyak yang diabaikan masyarakat atau pasien.
Kalau dengan menjalani terapi menggunakan alat ECVT ternyata bisa menyembuhkan kanker yang dideritanya, tentu masyarakat akan berpaling dan tak lagi memilih pengobatan dengan cara yang ada selama ini. Saat ini, pengobatan kanker selalu melalui cara operasi, kemoterapi, dan radioterapi. Ketiganya menggunakan prinsip ilmu biokimia sebagai landasan ilimiah.
Adapun ECVT menggunakan prinsip dasar biofisika untuk penyembuhan penyakit kanker. Temuan itu mengagetkan dunia kedokteran karena tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sangat mungkin, itu pula yang membuat tingkat penolakan para dokter begitu tinggi terhadap alat temuan Warsito.
Bukan tak mungkin, para dokter yang ahli dalam mengobati kanker menjadi sia-sia lantaran pasien banyak lebih memilih terapi terapi menggunakan ECVT. Ini merupakan imbas lain yang mungkin terjadi jika ECVT telah diakui dan menjadi pilihan masyarakat.
Semestinya kita tak boleh menyerah dengan keadaan yang mungkin saja akan terjadi seperti ini. Sikap seperti inilah yang membuat bangsa ini tak akan pernah maju.
Semua perlu menyadari, hasil karya siapa pun pada awalnya tak akan pernah bisa berjalan sempurna. Usaha untuk mencapai kesempurnaan itu baru bisa dilakukan jika alat itu dipakai dan dibeli masyarakat. Keuntungan yang didapat dari hasil pembelian masyarakat itulah yang akan digunakan untuk melakukan pengembangan produk. Tanpa itu, mustahil sebuah produk bisa langsung unggul dari pelbagai segi jika dana yang ada terbatas.
Apalagi kalau melihat kenyataan yang ada, bahwa hampir semua alat-alat kesehatan yang ada di Indonesia merupakan produk asing. Dari seluruh alat kesehatan di negeri ini, hanya sekitar 5 persen yang diproduksi di dalam negeri. Semuanya praktis kita impor. Tentu kita tak ingin ketergantungan produk alat kesehatan (juga semua produk/komoditas lainnya) terus terjadi dan kian membesar.
Saya sungguh berangan-angan agar riset Warsito untuk alat terapi kankernya itu bisa terus berjalan. Sebaiknya, dalam riset itu, harus selalu ada tim dokter yang mendampingi dan memonitor setiap tahap atau perkembangan penting yang memang layak diamati atau dikontrol.
Bila kelak alat ini mendapat pengakuan serta memperoleh sertifikasi, sudah seharusnya pula tenaga medis atau dokterlah (yang telah mengikuti pendidikan/pelatihan) yang akan menjalankan atau mengoperasikannya. Warsito hanya akan berperan sebagai konsultan sekaligus pencipta alat. Dia tak boleh lagi membuka klinik terapi kanker tersebut karena pada dasarnya dia bukanlah dokter.
Perkenankan saya mengetuk kebesaran jiwa para petinggi di Kementerian Kesehatan untuk lebih berbicara menggunakan hati dalam melihat persoalan ini. Mari kita beramai-ramai mendukung Warsito Purwo Taruno supaya terus lahir orang-orang berkualitas seperti dia.
Bangsa ini punya potensi untuk menjadi besar. Jangan sampai potensi itu justru kita sendiri yang membunuhnya. Sudah selayaknya kita becermin dari kasus PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) --sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia-- yang begitu disanjung di luar negeri tetapi dihinadinakan oleh para ekonom bangsa sendiri.