REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu
Saya mengulum senyum saat membaca komentar-komentar warganet tentang acara Mata Najwa yang dipandu Najwa Shihab, di salah satu stasiun televisi swasta, Rabu (24/1). Dalam episode '100 Hari Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta', Najwa dinilai kurang sopan karena kerap memotong penjelasan dari narasumber, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Kali ini saya bukan terfokus pada kritikan warganet atas pembawaan Najwa, tapi cara Anies bersikap dan mengelola emosi saat menjawab rentetan pertanyaan dari Najwa. Bagi yang menonton acara itu, --dan tentunya menilai secara objektif tanpa dilandasi kebencian kepada Anies-Sandi--, pasti setuju jika Anies tetap mampu menjaga sikap dan tak terpancing emosinya saat diwawancara wartawan, tetapi serasa diinterogasi polisi.
Di tiap-tiap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Nana, sapaan akrab Najwa, Anies menjawabnya dengan kalem, santai, walau di beberapa bagian mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu sedikit meninggikan intonasi. Itu pun terlihat dan terdengar lantaran Nana memotong penjelasan Anies yang belum rampung. Kalau kata seorang warganet menilai aksi Nana, "Yang bertanya dia, yang menjawab dia, yang menyimpulkan dia."
Tiap gerakan tubuh dan kalimat yang disusun Anies menjawab pertanyaan Najwa menggambarkan jika ia sedang memainkan politik simbol. Di acara itu, politik simbol Anies paripurna dengan motif batik corak naga yang dikenakannya. Bukan naga sembarang naga, tapi raja naga. Lewat corak batik yang dikenakan, Anies ingin memberikan sinyal jika ia saat ini yang mampu mengendalikan naga, bukan dikendalikan naga. Ia seolah ingin mengumumkan jika citranya kini adalah penjaga rakyat miskin, bukan orang-orang besar.
Tak percaya, tengok jawaban dia tentang reklamasi, penataan PKL Tanah Abang, hingga kebijakan becak. Anies menyatakan dengan tegas tetap menolak reklamasi. Tetapi bukan asal menolak, Anies menjabarkan alasannya mengapa reklamasi harus dihentikan dengan mengacu kepada Keppres Nomor 52 Tahun 1995 Pasal 4 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam pasal itu disebutkan, wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur DKI. Selain itu, Anies juga berpatokan pada Perda Nomor 8 Tahun 1995 Pasal 33 yakni penyelenggaraan reklamasi oleh badan pelaksana.
"Ini tanah air kita, dan diatur dengan hukum yang ada di tanah air kita. Kita tidak akan memarahi orang lain, tapi tegas dengan aturan yang dibuat," kata Anies menutup segmen terakhir Mata Najwa.
Dengan latar belakang sebagai pendidik, dosen, hingga rektor, Anies sangat akrab dengan politik simbol. Jangan lupa pula, Anies adalah salah satu bagian tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla saat Pilpres 2014. Ia bahkan ditunjuk menjadi juru bicara pemenangan Jokowi-JK. Maka bisa dikatakan Anies adalah salah seorang arsitek yang membangun citra merakyat dan sederhana Jokowi-JK di mata rakyat. Anies pun sukses mengantarkan Jokowi-JK melenggang ke Istana. Ia pun sempat diangkat menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan.
Sejak masa kampanye hingga menjadi gubernur, bersama wakilnya Sandiaga Uno, Anies berusaha mempertahankan politik santun. Santun dalam berbicara, santun dalam menjawab setiap kritikan, hingga santun dalam menangkis serangan-serangan politik. Tapi santunnya Anies bukan berarti asal jeplak atau menyeringai sambil cengangas-cengenges ketika melontarkan jawaban. Anies selalu menjawab dengan jawaban cerdas, serta yang terpenting berdasarkan data. Rancak kalau kata orang Sumatra Barat.
Anda yang membaca dan berada di kubu seberang Anies, pasti bilang semua yang dilakukannya adalah pencitraan. Menurut saya bukan politik pencitraan, tetapi politik simbol. Sekali lagi, politik simbol. Anies berhasil memainkan perannya sebagai seorang pemimpin yang dicintai rakyat.
Satu contoh yang membuat Anies-Sandi dihujani pujian sekaligus kritikan karena dinilai pencitraan, adalah saat Jakarta dilanda banjir. Anies langsung terjun ke lapangan dengan mendatangi sejumlah wilayah yang terendam air. Menyapa warga, dan mencari solusi bersama rekan-rekan kerjanya. Dunia sosial media pun dibanjiri hujatan, warganet menuntut janji Anies-Sandi yang disebut tak becus mengurus Jakarta sampai-sampai ibu kota terendam air. Upaya Anies mendatangi daerah banjir pun dinilai sebagai ajang pencitraan, bukan solusi mengatasi banjir.
Saya sih cukup tersenyum saja membaca kritikan-kritikan itu. Lah, Anies-Sandi saat itu baru dua bulan memimpin Jakarta, tapi mintanya semua masalah cepat diselesaikan. Ya banjir, ya macet, harus selesai dalam satu kedipan mata. Wong sekelas Raden Bandung Bondowoso yang disebut sakti mandraguna saja perlu waktu satu malam untuk membangun seribu candi, apalagi Anies-Sandi yang tidak punya ajian apa pun, dituntut harus merampungkan masalah Jakarta yang super rumit hanya dalam tempo hitungan bulan. Apalagi banjir sudah melanda Jakarta sejak zaman Raja Purnawarman. Herannya, walau dihujani hujatan dan kritik, toh Anies-Sandi tetap mampu bekerja maksimal. Jika Bandung Bondowoso pendekar pilih tanding, Anies-Sandi bisa dibilang sebagai pemimpin pilih tanding. Pemimpin yang dipilih setelah bertanding secara adil, bukan memimpin karena dapat lungsuran jabatan.
Bayangkan saja, baru 100 hari bekerja, Anies-Sandi sudah menyelesaikan sejumlah program kerja yang dijanjikan selama masa kampanye. Bukan satu atau dua janji, tapi sekitar 10 janji kampanye sudah dituntaskan Anies-Sandi. Antara lain, menutup Alexis, menata pedagang kaki lima, memberikan Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, one karcis one trip (OK Otrip), Oke Oce, rumah DP 0 rupiah, pajak melebihi target, membolehkan motor lewat Jalan MH Thamrin, Monas bebas digunakan untuk kegiatan keagamaan, budaya dan seni, serta mengizinkan becak beroperasi. Bagaimana rakyat tidak kagum dengan kinerja kepala daerah yang mendahulukan kepentingan rakyat kecil.
Kebijakan-kebijakan itu seperti magnet yang menarik simpati rakyat dari zona proletar alias wong cilik. Meski ada yang menentang dan tidak setuju dengan kebijakan Anies-Sandi, toh mereka hanya sebagian kecil. Apalagi Anies-Sandi memiliki hak dalam membuat kebijakan sebagai kepala daerah dan menjalankan roda pemerintahan. Dikritik kan juga bagus untuk kesehatan roda pemerintahan, daripada terus menerus dipuji bisa-bisa jadi antikritik.
Mengutip sindiran, atau mungkin lebih tepatnya 'julukan', yang diberikan sejumlah warganet untuk Anies-Sandi. Anies disebut gabener, dan Sandi sebagai wahgabener. Memang, Anies gabener. Sandi wahgabener juga. Anies di sini memang tidak bisa mengelak dari julukan gabener. Soalnya, saat Kementerian Perdagangan mengimpor 500 ribu ton beras, Anies malah pamer jika Pemprov DKI memiliki 300 hektare lahan pertanian yang hasil panennya berpotensi menjadi pemasok pangan warga Ibu Kota. Tak hanya itu, Anies bahkan ikut memanen padi di areal sawah milik Pemprov DKI di bilangan Cakung, Jakarta Timur. Anies seolah tidak mau kalah dengan daerah-daerah lain yang lebih dulu panen padi hingga surplus beras. Padahal Jakarta dijuluki hutan beton, tapi masih punya sawah dan bisa menghasilkan padi, tak kalah dengan daerah-daerah yang menjadi lumbung padi indonesia. Gak bener kan?! Kerja terus soalnya dia. Hasilnya juga transparan dan dipetik masyarakat.
Ah memang, Anies-Sandi bener-bener gabener. Bisanya cuma kerja saja selesaikan program, tanpa perlu sewot dan marah-marah, apalagi menepuk dada membanggakan hasil kerja. Karena itu, move on yuk. Lupakan persaingan di Pilgub DKI 2017 lalu. Kita sebagai warga Jakarta sebaiknya memberikan waktu dan dukungan agar Anies-Sandi mampu menyelesaikan semua program-programnya sembari kita kawal cara kerjanya. Jika semua program terealisasi, yang untung kan warga Jakarta juga. Betul gak?