REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudha Manggala Priana Putra*
Kasus kematian akibat minuman keras oplosan (miras oplosan) sudah sangat meresahkan. Kejadian baru-baru ini mungkin paling akut. Hingga Jumat (13/4) kemarin, tercatat sudah 91 orang tewas akibat menenggak minuman beralkohol yang diracik menggunakan bahan berbahaya.
Jumlah itu merupakan total korban berdasarkan laporan Polda Metro Jaya dan Polda Jabar dalam dua pekan terakhir. Sebanyak 58 korban jiwa di antaranya berasal dari wilayah Jabar. Perinciannya, di Cicalengka sebanyak 41 orang, di Kota Bandung tujuh orang, di Sukabumi tujuh orang, di Cianjur dua orang, dan di Ciamis satu orang.
Sementara 33 orang tewas lain, yakni dari Jakarta Timur 10 orang, Jakarta Selatan delapan orang, Depok enam orang, Bekasi tujuh orang, dan Ciputat, Tangerang Selatan, dua orang.
Ada kemungkinan jumlah itu terus bertambah. Mengingat masih ada puluhan korban yang masih dirawat di sejumlah rumah sakit. Sebagian dalam kondisi parah.
Sebenarnya, kematian akibat miras oplosan bukan kali ini saja terjadi. Sudah banyak korban yang putus nyawa. Salah satunya kasus pada 3 Desember 2014 silam. Seperti dilaporkan Antara, 17 anak muda di Kabupaten Garut, Jawa Barat, saat itu dilaporkan tewas setelah mengonsumsi miras oplosan yang dikenal dengan nama "cherrybelle".
Sehari setelah itu, juga tercatat 109 korban dirawat di rumah sakit Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, setelah mengonsumsi miras oplosan. Enam di antaranya anak di bawah umur, sementara sepuluh dinyatakan meninggal.
Seperti wabah, korban juga berjatuhan pada hari-hari yang hampir bersamaan ketika itu, di Depok dan Jakarta. Tak kurang dari 34 dari keseluruhan jumlah korban meninggal dunia. Miras oplosan yang dikonsumsi korban di antaranya campuran alkohol murni 95 persen, air mentah, pewarna, minuman suplemen. Ada pula yang mencampur dengan obat sakit kepala, obat nyamuk oles, bahkan oli.
Sayangnya, kasus-kasus tersebut ternyata bukan yang terakhir. Kini, jumlah kematian akibat miras oplosan malah jauh lebih mengenaskan. Bahan yang digunakan juga semakin mematikan: etanol dan metanol. Dua jenis alkohol ini diketahui sebagai salah satu campuran yang kerap digunakan untuk bahan bakar kendaraan.
Entah ide dari mana yang mendorong para peracik oplosan nekat mencampurkan bahan-bahan tersebut. Sejatinya alkohol, baik dalam miras oplosan atau bukan, adalah sesuatu yang membahayakan kesehatan bila dikonsumsi. Apalagi jika dicampur dengan bahan lain yang tidak pernah dimaksudkan untuk ditelan manusia. Ah, sepertinya mereka tidak peduli. Yang penting bikin miras dengan harga murah, memabukkan, dan menghasilkan banyak keuntungan.
Tapi, alih-alih itu, sebenarnya ada pertanyaan lain yang perlu dilontarkan: Kenapa kasus-kasus seperti ini terus berulang? Siapa yang salah? Pengoplos, para korban yang terlalu sembrono? Atau pemerintah, aparat, hingga pembuat kebijakan yang kurang ketat mengawasi, mengendalikan, hingga memberantasnya?
Semua mungkin dapat dikatakan punya andil. Namun, tentu saja kita berharap banyak pada peran pemerintah, aparat berwenang, hingga pembuat kebijakan untuk bisa memutus nyawa atau mematikan miras oplosan.
Mendorong penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol menurut saya bisa menjadi salah satu langkahnya. Dalam RUU ini, minuman beralkohol dilarang diproduksi, diedarkan, dan dikonsumsi kecuali untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang sangat terbatas, misalnya kebutuhan farmasi, ritual adat, keagamaan, serta wisata. RUU inisiatif DPR ini padahal sudah masuk Prolegnas Prioritas sejak tahun 2015. Namun sampai sekarang belum juga tuntas dibahas.
Indonesia belum memiliki undang-undang yang melarang peredaran miras. Memang sudah ada peraturan menteri dan ratusan peraturan daerah yang mengatur dan melarang peredaran minuman beralkohol. Namun, berkaca pada kasus-kasus yang ada, peraturan-peraturan itu tampak belum cukup kuat mengatasi persoalan.
Di sisi lain, pemerintah dan aparat berwenang juga perlu terus melakukan pengawasan dan razia minuman keras, terutama jenis oplosan, secara berkesinambungan. Jangan berhenti ketika sudah tidak ada korban lagi. Sejumlah pihak, termasuk di lingkungan keluarga, juga perlu berpartisipasi menggencarkan edukasi mengenai bahaya mengonsumsi miras, terutama pada generasi muda. Jangan menunggu hingga puluhan nyawa melayang lagi.
*Penulis adalah jurnalis Republika.co.id