Rabu 22 Aug 2018 00:03 WIB

Asian Games dan Status Bencana Nasional Lombok

Status bencana nasional dikhawatirkan membuat negara lain mengeluarkan travel warning

Wilayah yang terkena dampak gempa di Lombok, NTB.
Foto: Republika/A Syalaby Ichsan
Wilayah yang terkena dampak gempa di Lombok, NTB.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*

Sejumlah pihak, mulai dari relawan, warga, netizen, anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), hingga DPR RI, mendesak pemerintah pusat untuk menetapkan status bencana nasional untuk bencana alam gempa bumi di Lombok, NTB, dan sekitarnya. Alasannya, agar upaya penanggulangan dan penyaluran bantuan pascagempa bisa lebih cepat.

Namun, berkali-kali pemerintah menegaskan tak akan menetapkan status bencana nasional untuk gempa Lombok. Sikap pemerintah ini menuai pro dan kontra. Salah satu alasan yang dikemukan pemerintah memancing reaksi dari berbagai pihak. Yaitu, dikhawatirkan jika penetapan status bencana nasional bencana Lombok akan berdampak pada penurunan kunjungan wisatawan ke Lombok dan daerah tujuan wisata sekitarnya seperti Bali. Ini karena negara asal turis akan membuat travel warning ke Indonesia secara umum dan ke Lombok atau Bali secara khusus. Akibatnya, menjadi kerugian tersendiri bagi sektor pariwisata.

Sebelum kita ikut beropini tentang pro dan kontra penetapan status bencana nasional, ada baiknya kita perlu mengetahui riwayat sebuah status penetapan bencana nasional di Indonesia.  Dari sekian banyak bencana alam yang terjadi di Indonesia, mulai dari gempa bumi, longsor, banjir, kebakaran hutan dan lahan, tsunami, hingga gunung meletus, baru bencana gempa dan tsunami Aceh-Nias pada 2004 yang ditetapkan statusnya sebagai bencana nasional.

Penetapan status itu pun bukan berdasarkan aturan undang-undang. Karena, pada saat itu belum ada peraturan yang mengatur soal penetapan status sebuah bencana. Tetapi, penetapan status itu berdasarkan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setelah melihat langsung dampak yang ditimbulkan akibat gempa dan tsunami tersebut. Yaitu, kerusakan yang ditimbulkan, lumpuhnya pemerintah daerah, dan korban jiwa serta hilang. Sebagaimana diketahui, korban jiwa dan hilang akibat gempa dan tsunami Aceh-Nias itu menelan 220 jiwa. Untuk kerugian materil, diperkirakan mencapai Rp 50 triliun. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi Aceh lumpuh total (Kisah SBY Tentang Tsunami Aceh, Republika.co.id, 26 Desember 2014).

Baru setelah itu, pemerintah dan DPR mengeluarkan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di mana, pada Pasal 7 Ayat 2 disebutkan penetapan status bencana nasional, yaitu:;  kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana,  cakupun luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak  sosial ekonomi yang ditimbulkan. Namun, pada pasal ini tak ada penjelasan lebih rinci soal angka minimal poin-poin di atas sebagai dasar penetapan bencana nasional.

Tidak adanya penjelasan rinci ini membuat penafsiran berbeda. Tidak ada standar baku dari poin-poin tersebut sebagai dasar penetapan status bencana nasional. Misal, gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada 2006, menelan korban hingga lebih 5.000 jiwa. Sedangkan untuk kerugian materil, mencapai angka Rp 29 triliun. Contoh lainnya, gempa bumi di Padang pada 2009 di mana jumlah korban mencapai angka 1.228 jiwa  tewas dan kerugian materil mencapai Rp 21,58 triliun. Dua gempa besar tersebut tidak ditetapkan menjadi sebuah bencana nasional. Sementara, untuk gempa bumi di Lombok, angka resmi terakhir menyebutkan jumlah korban jiwa mencapai 548 orang sedangkan kerugian materil mencapai Rp 7 triliun lebih. Data ini masih bersifat sementara.

Selain itu,  pemerintah juga memiliki penafsiran di luar undang-undang tentang faktor-faktor ditetapkannya sebuah bencana nasional. Dalam hal status bencana gempa di Lombok, Mendagri Tjahjo Kumolo sebagaimana dilansir dari Republika.co.id pada 20 Agustus 2018 berjudul ‘Tiga Syarat Penetapan Status Bencana Nasional’, disebutkan ada tiga faktornya. Yaitu, Pertama, jika pemerintah daerah (pemda) tidak berfungsi. Sementara dalam kondisi saat ini, pemerintah Provinsi NTB masih berfungsi, begitu juga dengan pemerintah kabupaten setempat.

Kedua, status bencana nasional ditetapkan jika tidak ada akses terhadap sumber daya nasional. Sementara itu,   pemerintah saat ini sudah mengerahkan sumber daya nasional melalui semua lembaga dan kementerian terkait.

Faktor ketiga, bila ada regulasi atau peraturan perundangan yang menghambat pelaksanaan tanggap darurat. Kenyataannya semua regulasi mendukung. Pemerintah juga punya regulasi kedaruratan. Contohnya ada dana siap pakai (DSP).

Di luar faktor-faktor penetapan status bencana nasional untuk gempa bumi Lombok versi undang-undang dan pemerintah, penulis menilai ada ‘faktor-faktor’ lainnya mengapa pemerintah tak menetapkan status bencana nasional untuk gempa Lombok. Yaitu, Asian Games.

Sebagaimana diketahui, ajang Asian Games sudah mulai berlangsung sejak 18 Agustus 2018 lalu hingga 2 September 2018 mendatang. Jika pemerintah menetapkan status bencana alam nasional, maka hal ini akan membuat kekhawatiran bagi negara-negara peserta. Ujung-ujungnya, dikhawatirkan akan membuat negara tersebut mengeluarkan travel warning ke Indonesia, sehingga bisa berdampak pada kualitas para atlet yang dikirim dan warganya yang ingin menonton pertandingan ke Indonesia.

Namun, tidak ditetapkannya status bencana nasional ini juga memunculkan sisi politisnya. Hal ini bisa ‘dimanfaatkan’ bagi kubu oposisi pemerintah untuk mengkritik dan memberi ‘cap buruk’ pemerintah tak peduli pada gempa Lombok ini. Tidak hanya bagi oposisi, tapi juga bagi warga negara yang tidak menyukai pemerintah saat ini.

Sejatinya, kita sebagai warga negara tentu berduka dengan musibah yang menimpa saudara-saudara kita di NTB. Meski pemerintah tak menetapkan status bencana nasional, penulis berharap kita tidak memperkeruh keadaaan. Kita berharap agar pemerintah dan seluruh elemen bangsa untuk bahu membahu berdoa dan menyumbang tenaga maupun materi untuk  penanggulangan pascagempa.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement