Senin 17 Sep 2018 07:24 WIB

Coba Searching: Farhat Abbas

Apa jadinya jika anak-anak yang men-searching jejak digital kita di dunia maya?

Jurnalis republika Reiny Dwinanda
Foto: doc pribadi
Jurnalis republika Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*

Dua pekan ini, teman-teman di jejaring media sosial ramai merekomendasikan para orang tua untuk menonton film Searching bersama abege dan remajanya. Film drama/thriller ini digadang-gadang penting disaksikan karena dianggap sangat relevan dengan pola pengasuhan masa kini.

Betulkah demikian? Saya tak hendak memuja-muji film yang mendapat rating 7.4/10 dari Rotten Tomatoes itu, namun memang dalam adegan Searching terdapat banyak hal yang dapat dijadikan bahan koreksi bagi hubungan orang tua dan anak di era internet.

Kisah Searching dibangun dari hubungan David Kim (John Cho) dengan remaja putrinya Margot (Michelle La) yang seolah tetap hangat sejak sosok ibu di keluarga itu berpulang akibat kanker kelenjar getah bening (limfoma). Padahal, perhatian sang ayah sejatinya terasa hambar di hati Margot lantaran mereka berdua tak pernah benar-benar bicara, terutama soal rasa kehilangan yang begitu dalam mendera.

Sang ayah baru menyadari betapa ia tak tahu apa-apa tentang anaknya ketika hal buruk terjadi. Margot hilang.

Kelabakan, David mencoba menelusuri jejak digital Margot. Satu per satu kawan Margot di dunia maya ia kontak. Hasilnya, nihil. Parahnya lagi, David tak kenal satupun teman Margot di sekolah.

Sebagai wartawan, saya mendapati variasi kasus semacam itu di dunia nyata sangat beragam. Seperti fenomena gunung es, kasus yang tak muncul dalam pemberitaan jauh lebih banyak.

Salah satunya terjadi beberapa pekan silam. Teman anak saya dilaporkan hilang oleh orang tuanya. Kali ini, bukan jiwa jurnalistik saya yang terpanggil. Naluri sebagai ibu mendorong saya melakukan apa yang David lakukan untuk mencoba mencari petunjuk tentang keberadaan Margot.

Saya intip Facebook, Instagram, dan Twitter anak itu, juga akun media sosial orang tuanya. Teman-teman sekolahnya pun saya coba tanya-tanyai. Akan tetapi, sedikit sekali informasi yang bisa digali dari situ.

Orang tuanya pun tidak punya petunjuk di mana kira-kira anak semata wayangnya berada. Mereka mengaku tak ada pertengkaran yang mendahului kejadian ini.

Aduh, tak bisa tidur rasanya memikirkan keberadaan remaja tanggung itu. Beragam dugaan muncul di benak. Lari dari rumah atau jangan-jangan dia diculik?

Ketika pikiran semakin liar menduga-duga, seorang kawan polisi berlatar  belakang pendidikan psikologi ikut membantu menelusuri kasusnya. Dia berkesimpulan anak itu sepertinya bukan diculik atau kabur akibat pengaruh buruk pergaulan.

Selang satu malam, dugaan teman saya itu terbukti. Anak itu rupanya minggat dari rumah setelah mengambil uang dari dompet sang bunda. Informasi ini sebelumnya tak pernah diungkapkan oleh ayah ibunya.

Orang tuanya pun tak menyangka bocah 13 tahun itu mampu pergi jauh sendirian ke pulau seberang, pulang ke kampung halaman. Kabarnya, dia kabur dengan hati yang terluka oleh kebuntuan komunikasi dengan ayah dan ibunya.

Lega sekali rasanya mendengar anak itu sudah ditemukan dan baik-baik saja. Kini mereka telah kembali Bersama.

Tentu tak perlu menghakimi apa yang terjadi di keluarga tersebut. Lebih elok kita berkaca, harmoniskah hubungan kita dengan buah hati masing-masing?

Kembali ke film Searching, penonton diajak untuk menyadari butuh “satu kampung” untuk membesarkan anak. Orang tua permisif, keluarga dekat yang tak ikut menjaga, dan teman sebaya yang tidak acuh turut berperan dalam membentuk karakter negatif pada anak.

Sekarang, coba kita balik plotnya. Bagaimana jika anak-anaklah yang menelusuri apa saja yang orang tuanya unggah ke media sosial.

Banggakah kita dengan candaan kelewat batas, akun palsu yang kita buat dengan mencatut nama orang, kenyinyiran yang semata-mata dilontarkan untuk membuat orang lain tampak seolah tak intelek, penghakiman terhadap orang lain, atau konten hoaks yang telah tersebar melalui akun kita?

Terkait itu, Farhat Abbas seharusnya berpikir ulang sebelum mengunggah dukungannya kepada pejawat di pilpres 2019 dengan menyebut mereka yang berbeda pilihan akan masuk neraka. Postingan semacam itu sungguh tak pantas. Apalagi, Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, Erick Thohir, sejak awal pengangkatannya telah memberi sinyal bergulirnya kampanye damai dan bermartabat.

Terlepas dari preferensi politik kita masing-masing, Koalisi Indonesia Kerja (KIK) patut diapresiasi karena mengakui perbuatan Farhat salah besar dan mereka akan memberikan teguran kepada anggota TKN yang satu itu. Tim pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang menjadi kubu penantang juga perlu diacungi jempol lantaran tak terprovokasi dan tak segan menunjukkan apresiasinya terhadap cara KIK merespons kasus tersebut. Adem bukan?

Ingatlah, anak-anak kelak akan punya hak pilih. Mereka kini tengah belajar dengan menyerap sebanyak mungkin informasi. Mari sama-sama menjaga keharmonisan keluarga besar kita, Indonesia.

 

*Penulis adalah redaktur republika.co.id

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement