REPUBLIKA.CO.ID, Nashih Nashrullah*
Dua bulan sebelum Aksi Masa 2 Desember 2016 (212), tepatnya pada 16 Oktober 2016, saya berkesempatan berbincang dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin dan Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI KH Cholil Nafis, enam mata, di Gedung MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Topik utama, tentu tentang bagaimana menyikapi Pilkada DKI Jakarta, yang rawan segala-segalanya.
Tidak hanya memicu resistensi terhadap perpecahan bangsa, tetapi yang tak kalah penting adalah kerentanan terhadap sepak terjang umat Islam itu sendiri. Lahirnya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama-MUI (yang saat ini, tak lagi menyertakan kata MUI), sebagai metamorfosa dari gerakan anti-Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, mantan gubernur DKI Jakarta), setelah komentar surah al-Maidah ayat ke-51. GNPF muncul kemudian setelah ada opini pendapat keagamaan MUI tentang ayat yang sama.
Sikap Kiai Ma’ruf ketika itu tegas: dalam konteks kondisi Pilkada DKI Jakarta, saat ada calon pemimpin Muslim dan non-Muslim bersaing, maka hukumnya wajib memilih pemimpin Muslim. Meski demikian, dukungan Kiai Ma’ruf terhadap gerakan itu, bukan tanpa catatan sama sekali. Di antara catatan paling menonjol adalah ketidaksepakatan beliau, terhadap narasi-narasi anti-pemerintah yang hendak disisipkan dalam aksi massa itu oleh sejumlah oknum dari elite pimpinan gerakan.
Bagian kecil lain dari catatan itu adalah, indikasi (bisa benar dan bisa tidak), kemungkinan gerakan ini akan terus dijadikan sebagai panser, kendaraan politik, penggebuk yang berkelanjutan (obyek yang digebuk bisa saja kondisional dan situasional). Dan ternyata terbukti, aksi lanjutan terus bergulir, bahkan hingga tercetus inisiatif reuni demi reuni.
Sebagai seorang faqih dan rajul siyasi (politisi), Abah Ma’ruf paham betul dan membaca dengan baik indikasi-indikasi tersebut. Dan pada akhirnya, Kiai Ma’ruf memutuskan tak lagi sependapat dengan gerakan-gerakan susulan pasca-212. Apalagi jika melihat proses awal kemunculan gerakan tersebut, adalah ikhitar memberikan pressure terhadap proses penegakkan hukum atas celotehan Ahok. Begitu proses hukum sudah dilakukan, tentu relevansi dari gerakan tersebut udah usai.
Bukan Cuma soal urgensi dan relevasi dari gerakan semula, tetapi, di sisi yang lain lebih pada prinsip keseimbangan (tawazun) yang mesti dijaga dalam sebuah gerakan. Gerakan apapun yang terlampau digas, dia akan mudah dipatahkan. Kalkulasi manfaat dan mudharat masuk dalam pertimbangan Abah Ma’ruf membaca indikator-indokator infiltratif terhadap gerakan-gerakan itu, namun entah mengapa, barangkali memang sejumlah tokoh yang merupakan pentolan gerakan demi gerakan itu juga mempunyai pertimbangan lain. Ya sudah, itu adalah pilihan.
Kekhawatiran yang sama disampaikan KH Hasyim Muzadi (Allah yarham) menyikapi fenomena 212. Dalam diskusi kecil dengan mantan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), di Banjarmasin, di tahun yang sama, 2016, Abah Hasyim menyampaikan keresahannya tentang gerakan 212, yang sekilas terlihat kokoh, namun, pada dasarnya dia rapuh. Lagi-lagi soal narasi dan wajah gerakan yang ditampilkan ke publik.
Dalam bahasa Abah, wajah ‘garang’ Islam begitu kental ditonjolkan melalui gerakan-gerakan itu. Dengan bahasa humornya yang khas, Abah Hasyim beranalogi, 212 di luaran tampak seperti singa jantan, tetapi di dalamnya, sesungguhnya dia tak lebih dari seekor kucing. Ini membuat pukulan jab yang dilontarkan, terpaksa patah duluan oleh uppercut ‘lawan’. Pembacaan Abah Hasyim tak berlebihan, lihat saja bagaimana nasib beberapa pimpinan gerakan tersebut. Penulis tak perlu sebutkan lebih dalam soal itu dan tak akan menduga-duga dengan istilah kriminalisasi, jelas keluar dari kapasitas saya.
Baik Abah Ma’ruf ataupun Abah Hasyim, dalam konteks negara demokrasi, tentu tak bisa melarang gerakan tersebut. Demokrasi memberikan ruang siapapun, kelompok manapun, bahkan sebenarnya, dengan ideologi apapun, untuk mendeklarasikan gagasan yang mereka yakini. Namun, penulis mencoba menarik benang merah dari pandangan kedua tokoh tentang pentingnya strategi dan kematangan dalam banyak lini.
Gerakan massa tak hanya bisa bergantung pada kuantitas, tapi juga bagaimana mengedepankan subtansi dan kualitas. Kualitas tak sesederhana tentang tandhim, kerapihan, dan kedisplinan serta solidaritas yang luar biasa dari para peserta. Ada yang lebih penting dari itu, sebut saja salah satunya, adalah bagaimana menghadirkan keletadanan dan track record elite dalam gerakan itu sendiri.
Jejak rekam elite sebagai ruh sebuah gerakan adalah syarat mutlak yang tak bisa dipandang sebelah mata. Adagium Arab menyebut, annasu ala dini mulukihim, pemimpin menjadi cerminan dari para pengikutnya. Konsistensi pemimpin sebagai ruh sebuah gerakan akan menentukan arah pergerakan ke depannya.
Saya melihat dan bisa saja salah, inkonsistensi elite 212 berpengaruh besar ke manakah muara dari gerakan ini. Bukan ranah saya untuk menyebut, bahwa niatan dan motif 212 murni politik, sekalipun opini berkeliaran menguatkan adanya muatan-muatan politik itu. Biarlah saya mengungkapkan keresahan lahiriyah, dan wallahu yatawalla as-sarair, urusan niat kembali ke masing-masing individu dan Tuhannya.
Tapi, jika kekhawatiran dan keresahan itu benar-benar ada, sebagaimana keresahan kedua kiai saya, tentu niatan baik kita bersama hendak membela Islam, justru dalam satu titik, berpotensi mencederai Islam itu sendiri. Dalam bahasa cendekiawan Mesir Muhammad Abduh, Islam sesungguhnya mahjubun bi al-Muslimin, agama ini bukan orang lain yang melukai, tetapi pada hakikatnya tersandera dan terdistorsi oleh diri kita sendiri. Taruhlah semangat dan niatan awal 212 adalah menegakkan kalimat Allah, tetapi, sebab inkonsistensi oknum elite, niat mulia itu tak hanya pudar, tetapi kandas sebelum bertepi.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id