REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani*
"Namun, kami mohon jangan serahkan kami kepada mereka yang tak memiliki kasih sayang pada kami dan anak, cucu kami dan jangan, jangan kau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika engkau tidak menangkan kami, (kami) khawatir Ya Allah, kami khawatir Ya Allah, tak ada lagi yang menyembahmu."
Sepenggal bait puisi itu dibacakan oleh Neno Warisman pada acara Munajat 212 di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis (21/2) malam. Video Neno membacakan puisi itu seketika viral di media sosial, menyulut pro dan kontra. Kalam terakhir dari bait puisi dianggap paling kontroversial karena Neno seperti mengancam Tuhan.
PBNU sampai membuat rilis resmi kepada media, menyorot puisi kontroversial Neno itu. Secara sengaja atau tidak sengaja, Neno oleh PBNU, dinilai mencoba membawa masyarakat kepada peristiwa Perang Badar pada awal sejarah Islam. Saat itu pasukan muslim yang berjumlah 319 orang berhadapan dengan musuh yang berusaha mengenyahkan kaum muslimin yang berjumlah tiga kali lipat.
Nabi Muhammad SAW pun berdoa memohon pertolongan Allah agar memenangkan kaum muslimin. Kalau memang Neno mengasosiasikan pilpres dengan Perang Badar Rasulullah SAW, bukankah semua pasangan calon adalah Muslim? Cawapres nomor urut 01 Kiai Maruf Amin pun sampai ikut heran dan bertanya, “Masak Jokowi dan saya dianggap kafir?”
Saya pun kemudian menugaskan salah satu reporter yang kebetulan pada Sabtu (23/2) malam sama-sama piket di kantor. Saya meminta reporter saya itu mengonfirmasi langsung apa maksud puisi itu kepada Neno. Setelah berjam-jam menunggu respons permintaan wawacara via Whatsapp, Neno akhirnya bersedia diwawancara pada Ahad (24/2) pagi selepas shubuh.
Neno mengakui, puisi yang dia bacakan di Munajat 212 terinspirasi dari doa yang pernah dipanjatkan oleh Rasulullah SAW. Namun ia menegaskan, doa tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan ajang pemilihan presiden (pilpres), apalagi menyamakan pilpres dengan Perang Badar.
Menurut Neno, setiap hari, tiap manusia berperang melawan hawa nafsunya sendiri. Bukan perang dengan sesama masyarakat hanya karena beda pilihan. Karena itu, doa yang ia panjatkan agar tidak diterjemahkan dalam lingkup yang sempit.
Adapun, soal pemilihan diksi 'kami' yang disebutkan Neno dalam doa tersebut, menurutnya, mewakili diri Neno sendiri. Bukan suatu kelompok tertentu, termasuk pasangan calon capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga.
Neno juga menepis tudingan bahwa dengan doa itu, ia menantang atau mengancam Tuhan. Sebab, kata dia, doa itu justru dipanjatkan untuk memasrahkan diri kepada Allah SWT dan berharap yang terbaik untuk kemaslahatan bangsa.
Bukan mengancam Tuhan, tetapi menurut Neno, doanya di Munajat 212 lahir dari sebuah keadaan yang terancam. Keadaan terancam itu pun tidak berkaitan dengan ajang Pilpres 2019 yang akan digelar sebentar lagi, melainkan terkait kondisi generasi Indonesia di masa depan.
Ancaman itu antara lain, Neno menyebutkan, generasi muda Indonesia saat ini mulai terbiasa dengan gaya hidup bebas dan menyimpang. Bahkan, hingga mengarah pada perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT.
Selain itu, generasi muda pada masa yang akan datang juga terancam karena ketidaktersediaan air bersih, ketiadaan pangan yang merata, ketidakcukupan atas kebutuhan hidup, pendidikan yang tidak berbasis pada kebahagiaan dan ketidakberpihakan. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan selama 25 tahun, Neno juga menilai, generasi muda terancam akan adanya pertikaian idelogi dan perpecahan pada masa mendatang.
Penjelasan dan pembelaan panjang lebar Neno atas puisi/doa kontroversialnya memang tidak bisa lepas dari sosok Neno yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Jabatan itu kini melekat pada diri Neno, sehingga menjadi jamak dan bisa dimaklumkan jika banyak orang mengasumsikan puisi Neno itu memang maksudnya menganalogikan Perang Badar dengan Pilpres 2019.
Sangat disayangkan memang, jika pesta demokrasi lima tahunan bernama pemilu sampai harus disamakan dengan peperangan. Apalagi, kubu lawan Neno, yakni Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf malah secara terang-terangan menggunakan istilah 'perang total' dalam menghadapi Pilpres 2019. Adalah Wakil Ketua TKN Moeldoko yang pada Februari lalu mempopulerkan istilah tersebut.
Moeldoko memang kemudian mengklarifikasi, 'perang total' hanya istilah bagi metode kampanye yang digunakan timnya. Yakni, berkampanye secara total di setiap daerah dengan menentukan pusat gravitasi dalam sebuah pertempuran yang sayangnya tidak secara detail dia jebarkan strategi perang timnya itu.
Pertanyaannya adalah, mengapa Moeldoko sampai harus menggunakan istilah 'perang total' sehingga terkesan ada unsur kegawatan, kegentingan di pilpres yang harus dimenangkan lewat perang? Apakah 'perang total' TKN kemudian memantik kontrastrategi BPN yang selanjutnya membuat Neno secara sengaja atau tidak sengaja merujuk Perang Badar?
Tak terhindarkan memang panasnya tensi politik jelang Pilpres 2019 adalah hasil polarisasi dua kubu yang semakin sengit ‘berperang’. Polarisasi yang telah terbentuk pascakemenangan Joko Widodo di Pilpres 2014, yang tak pernah berekonsilisasi dan berlanjut hingga kini.
Lebih sengit tentunya di dunia maya alias media sosial. Kubu pendukung Joko Widodo (Jokowi) dikenal dengan julukan ‘cebong’, sementara kubu penyokong Prabowo Subianto dilabeli ‘kampret’. Mereka berperang tagar di dunia maya tiada hentinya sesengit perang urat syaraf para elitenya di dunia nyata. Saya pun berharap pemilu tahun ini segera berlalu.
* penulis adalah jurnalis Republika.