Senin 30 Jul 2012 15:34 WIB

Waktu Imsak Boleh Sahur

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Asma Nadia

Dunia tersentak ketika mendengar berita seorang pemuda, yang menyebut dirinya joker, bersenjatakan senapan serbu AR-15, 20-gauge shotgun Remington, dan 40 kaliber Glock, dengan brutal menembaki penonton saat menyak- sikan pemutaran film Batman `The Dark Knight Rises' di Colorado, Amerika Serikat, yang meng - akibatkan 12 tewas dan 72 orang luka-luka.

Berita tentang penembakan ini menjadi headline banyak surat kabar dan media. Berbagai acara terkait dengan seremonial promo film itu dibatalkan, bahkan sang bintang Christian Bale, menyempatkan diri untuk meletakkan sebuket bunga di lokasi penembakan dan juga mengunjungi langsung para korban yang tengah dirawat sebagai bentuk simpati. Karena insiden penembakan brutal ini, Presiden Barack Obama sempat membatalkan acara kampanyenya dan memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang di seluruh daratan Amerika.

Saya sendiri sangat terkejut dan berduka atas peristiwa ini. Terbayang betapa sedihnya para keluarga kehilangan sanak saudara. Terbayang bagaimana se orang ayah dan bunda membuat rencana jalan jalan bersama ananda mereka, pergi menonton film, namun berujung tragedi.

Tetapi, sebuah pikiran kemudian membuat saya tercenung dan berkaca-kaca. Teringat berita yang saya baca beberapa hari sebelumnya tentang peristiwa senada, pembantaian yang terjadi di Myanmar.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin menyatakan, Muslim Rohingya yang dibunuh di Arakan, Myanmar, sudah mencapai 6.000 orang dan masih terus terjadi.

Satu koma tujuh juta jiwa Muslim Rohingya selama ini dipersulit hidupnya, dipaksa menanggalkan keyakinan jika ingin bersekolah dan bekerja, kehilangan kesempatan luas untuk memperoleh pendidikan atau layanan kesehatan. Rumah mereka dibakar, warga sipil disiksa dan dibunuh.

Saya menjadi bertanya-tanya. Mengapa peristiwa pembantaian oleh `Joker' menjadi berita dunia yang menarik perhatian, sementara pem- bantaian di Myanmar tersembunyi dari berita utama, sebagaimana pembantaian di Palestina, Timur Tengah, Afrika, dan negara lain.

Apakah jika yang membunuh adalah satu orang seperti ketika seorang mahasiswa kebangsaan Korea Selatan, Seung-Hui Cho, mem- bantai 30 siswa di ruang kuliah setelah sebelumnya membunuh dua orang di asrama pada April 2007, lalu bunuh diri, atau sewaktu seorang Anders Behring Breivik menembaki para remaja yang tengah mengikuti perkemahan musim panas di pulau wisata Utoeya, Norwegia, yang menewaskan 69 orang, lebih layak menjadi perhatian daripada satu pemerintahan atau institusi tentara yang melakukannya meskipun korban yang ditimbulkan jauh lebih banyak?

Atau, apakah jika yang tewas mereka yang berada di Amerika atau di Benua Eropa, maka lalu lebih pantas mendapat tempat di media da - ripada mereka yang berada di Asia atau Afrika?

Apa kah pembantaian yang muncul se cara ran - dom dan sesekali terjadi lebih layak mendapat perhatian daripada pembantaian yang dilakukan secara sistematis dan berjalan secara rutin?

Saya sedih, sedih sekali. Karena di manapun tragedi berlangsung: Amerika, Eropa, di Asia, atau Afrika, dan siapa pun yang menjadi korbannya: Muslim, Kristen, Buddha, atau Hindu, semua adalah manusia, yang memiliki kebebasan untuk hidup dan memilih. Tidak ada satu pun yang berhak mengambil nyawa atas manusia lain tanpa dasar kuat.

Bagi saya, penghargaan atas kemanusiaan adalah nilai dasar paling universal, khususnya untuk Rohingya --dengan apa yang terjadi-- rasanya tidak pantas kita, diwakili Pemerintah Indonesia, diam seribu bahasa hanya karena terikat kesepakatan ASEAN untuk saling menghargai kedaulatan bangsa dengan tidak mencampuri urusan dalam negeri bangsa lain. Sebegitu hingga melupakan kemanusiaan?

Dan ini Ramadhan. Bulan di mana sesama Muslim berlomba meraih pahala di sisiNya.

Jutaan syukur rasanya tak cukup untuk diantarkan kepada Sang Khalik atas momentum istimewa yang dilalui rata-rata keluarga di Tanah Air da lam situasi tenang dan damai. Sementara berbagai daerah di Padang, Sumatra Barat, mengalami musibah banjir bandang dan saudara- saudara di belahan dunia, seperti Rohingya, menderita.

Di saat kita menjalankan puasa, sahur, dan berbuka dengan nikmat, mereka berjuang setiap detiknya, bersimbah keringat bahkan darah demi bertahan hidup.

Butiran bening yang sejak tadi memberati kelopak, menetes."Bunda, mengapa menangis?"

Kedua ananda yang berada di sisi, menatap dengan sorot empati dan bingung.

Allah Yang Maha. Sungguh, saya berutang besar kepada anak-anak. Begitu banyak agenda yang harus disampaikan kepada mereka agar terbangun sejak dini rasa peduli, simpati, dan duka cita serta keinginan berbagi yang tanpa pilih kasih, untuk segenap umat manusia.

sumber : resonansi
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement