REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia
“Optimislah tentang Indonesia.” Kalimat sepupu saya yang cantik hanya saya sambut setengah hati. Indonesia? Allah. Bencana di mana-mana, beberapa yang sudah merupakan rutinitas tahunan saja seolah tak ditangani serius. Terus merugikan secara moral dan materiil.
Hukum? Jika masih disegani, mengapa orang tak jera melakukan kejahatan? Mulai dari berita pemerkosaan di angkot, peredaran narkoba, korupsi, hingga vonis hakim yang jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Bagaimana saya bisa optimis? Saya kehilangan kepercayaan terhadap berbagai institusi dan jenjang pemerintahan. Pun tokoh dan partai politik, saking begitu sulit menemukan sosok yang benar-benar peduli terhadap Indonesia dan bukan berkampanye dengan bungkus kepentingan pribadi atau ornamen agama.
Dengan alasan itu, apa pun yang saya lakukan, termasuk usaha penerbitan buku, tas, dan merchandise mengalir sederhana. Tak hendak menjangkau pihak dan lembaga pemerintahan. Meski saudara dan teman yang melihat beberapa produksi kami digunakan travel haji dan umrah, sempat mengusulkan untuk menawarkan ke lembaga pemerintah terkait yang mungkin tertarik. “Sebagai media promosi, produkmu bagus dan berfungsi. Bukan produk promosi sekali pakai yang kemudian ditinggal di rumah karena tidak bermanfaat.” Saya tetap menggeleng. Dongeng masa lalu tentang tender, harga yang kemudian di-mark up, kuitansi tanpa angka-angka yang harus ditandatangani, membuat saya trauma. Biarlah bisnis berjalan perlahan, tapi tanpa kehilangan keberkahan.
Begitu pun ketika tanpa saya cari, seorang lelaki yang memakai baju batik, dari instansi tertentu, datang ke toko kami untuk memesan produk dalam jumlah cukup besar. Permintaan yang tak langsung saya terima. “Jangan pernah berhenti berharap untuk Indonesia,” kalimat sepupu saya terngiang lagi. Tak henti-henti dia mencoba membuka mata saya untuk melihat perubahan, yang menurutnya bergerak hanya saja sering terabaikan. “Tapi, harga bawang naik, harga cabai melambung tak terkendali, lalu ….” Menanggapi deret protes tersebut, saudara saya yang cantik itu mengajak saya menemaninya mengurus paspor.
Bayangan suasana padat dan panas, calo bertebaran menawarkan jalur pintas, dengan harga lebih mahal, sirna ketika saya tiba di kantor imigrasi Depok.
Di sana-dengan sistem online-siapa pun bisa mengurus paspor tanpa peduli alamat di KTP, berbeda dengan dulu. Prosedur pengurusannya pun jelas. Tidak perlu calo. Bahkan, mencari calo menjadi sulit. Di setiap map tertera tulisan 'gratis'. Antrean bergerak teratur.
Sepupu saya bercerita, kemudahan serupa dialaminya saat mengurus perpanjangan SIM. Semua prosedur jelas, biaya per loketnya transparan. Dalam hitungan jam, tanpa proses berbelit, apalagi memerlukan calo, surat izin mengemudi yang dibutuhkannya pun siap.
Bukan hanya surat-surat, salah satu sahabat kami yang sedang sakit sengaja pindah ke Jakarta mengejar Kartu Sehat yang sekalipun masih ada kendala di sana sini, tetapi berfungsi dan membantu meringankan masyarakat. “Jangan pernah berhenti berharap akan Indonesia yang lebih baik,” ujarnya, sebelum meminta diantar ke stasiun kereta. Ya, hari itu dia memilih melanjutkan perjalanan dengan menaiki transportasi publik, yang selama beberapa tahun terakhir ini saya hindari dan lebih memilih alternatif lain.
Sepupu saya yang cantik hanya tersenyum menemukan keheranan saya ketika tiba di stasiun. Suasana telah jauh berbeda. Saat itu, saya tidak menemukan anak-anak naik dan duduk di atas gerbong. Di stasiun disediakan fasilitas charger ponsel gratis. Ketika ada yang merokok, petugas dengan tegas berani melarang. Intinya kereta dan stasiun jauh lebih tertib. Semoga mewakili potret stasiun lain di Tanah Air.
Ada hal lain yang kemudian saya catat. Sekarang, jika kebetulan melewati kompleks tentara atau berjumpa dengan anggota militer, cukup mudah menemukan sosok berseragam yang ramah dan terlihat mengayomi. Para prajurit yang tetap terampil serta dihormati bangsa asing, meski tak lagi terkesan sangar di mata masyarakat.
Jadi, bisakah saya berharap untuk sebuah perubahan berarti bagi Indonesia? Lelaki berbaju batik yang mewakili satu departemen dari salah satu kementerian di Tanah Air masih menunggu jawaban saya, terkait rencananya memesan beberapa produk sebagai suvenir satu kegiatan yang akan dihadiri ratusan pelajar daerah.
Bismillah. Dengan satu kata itu, saya akhirnya memberanikan diri menerima order yang diminta. Beberapa pekan kemudian, saat menerima pembayaran, baru saya mendapatkan jawaban dari pertarungan keraguan dan harapan yang sempat bermain. Tidak ada kesulitan birokrasi seperti kabar yang sering kali terdengar. Tidak ada pelicin atau kuitansi tanpa angka yang harus saya tanda tangani maupun harga-harga yang di-mark up.
Maka, kalimat hamdalah yang kemudian terucap, bukan semata karena usaha sederhana kami terasa dimudahkan, melainkan hari itu saya melihat dan meyakini sesuatu. Sebuah harapan lain, insya Allah, bagi Indonesia kita.