REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Ada haru mengetuk hati memandang foto anak-anak Indonesia yang berjalan menembus sungai untuk pergi ke sekolah. Mereka membuka sepatu dan kaus kaki, lalu mengenakannya lagi. Masih di surat kabar yang sama, gambar lain menampakkan anak-anak yang harus menempuh berkilo-kilo meter, melewati hutan belukar, bahkan jembatan satu tali agar bisa menikmati pendidikan.
Saya menyembunyikan air mata yang membayang, sekaligus perasaan bersalah karena beradu pandang dengan seorang lelaki berpenampilan cerdas yang keasikannya menikmati surat kabar, diam-diam saya curi. Tapi, lelaki muda itu tidak tampak marah. Sebaliknya, ia memandang saya dengan keprihatinan senada, “Kasihan.”
Saya setuju. “Berat perjuangan anak-anak di Tanah Air untuk tetap belajar.” Mendengar kalimat saya, lelaki itu menggeleng.
“Saya justru kasihan melihat anak-anak yang sudah berjuang menghabiskan tenaga dan waktu untuk sekolah, sementara jika dicermati, banyak pelajaran yang kurang, bahkan sama sekali tidak bermanfaat untuk kehidupan mereka.”
Benarkah? Saya tak yakin. Bukankah tak ada ilmu yang sia-sia? Bukankah proses belajar selalu membawa kebaikan? Lelaki itu menggeleng.
“Ada ilmu yang bermanfaat dan harus dikuasai. Tapi, ada juga yang cukup sebagai pengetahuan semata. Seharusnya, kurikulum mengutamakan yang bermanfaat daripada bagian ilmu yang sekadar untuk diketahui."
Alis saya terangkat. Menilik penampilannya yang terkesan akademis, saya tidak mengira akan lahir sudut pandang berbeda tentang ini. “Ilmu juga ada yang perlu dikuasai semua orang, ada juga yang cukup dikuasai segelintir saja. Kurikulum harus memperhatikan ini agar tidak salah dalam menentukan mata pelajaran, juga bobotnya. Mengapa anak-anak Indonesia harus menghafal jarak antarplanet, luas matahari? Boleh saja untuk memancing anak cinta ilmu, tapi tidak perlu diujikan dalam ulangan,” katanya melanjutkan.
Lelaki itu terus berceloteh, seakan mewakili protes yang telah lama disimpan, mungkin sejak dia masih menjadi pelajar. Menurutnya, terkait tata surya seperti juga pelajaran lain, harus “diperas” hingga hanya hal-hal bermanfaat yang diberikan. Anak-anak penting mengenal rasi bintang hingga mampu mengambil arah. Pun, konsep gerhana agar terhindar dari kemusyrikan.
“Tapi, puluhan juta anak Indonesia tidak harus menghabiskan waktu menghafal berbagai nama batuan, menghitung detail pemuaian, persamaan kuadrat, dan lain-lain yang menjadi kebutuhan segelintir orang yang memfokuskan diri pada ilmu terkait di masa depan.”
Saya bisa merasakan pancaran kepedulian yang tulus saat dia meneruskan penjelasan yang mulai saya pahami.
Jutaan anak Indonesia belajar tentang jenis ikan, bagian-bagian tubuh hewan berinsang, namun luput diajarkan kandungan gizi atau dimotivasi untuk mengonsumsinya sebab baik bagi kesehatan.
Anak-anak diharuskan mempelajari bagian-bagian bunga dan proses penyerbukan meski dunia pertanian kini sudah mulai “melupakan” penyerbukan alamiah. “Tidakkah anak-anak lebih baik mengetahui manfaat herbal bagi kesehatan. Sebab, hampir semua pernah mengalami sakit dalam kehidupan. Tapi, tidak semua dari kita akan menjadi peneliti tumbuhan.”
Begitulah, meski kami sudah berpisah, pendapat yang sekilas terkesan asal namun ada benarnya dari lelaki itu terus terngiang. Mengapa global warming tidak masuk kurikulum, bukankah itu persoalan yang makin serius di masa depan? Mengapa renang, bersepeda, adab lalu lintas, hukum pidana sederhana tidak masuk pelajaran wajib? Mengapa komputer dan internet tidak masuk kurikulum utama, padahal ini ilmu yang pasti bermanfaat untuk semua profesi?
Sebuah ilmu seharusnya diputuskan untuk diajarkan dengan porsi yang tepat berdasarkan manfaatnya bagi anak didik kelak.
Menatap si bungsu di kamarnya yang sedang menghafal materi gempa, hati saya makin terusik. Adakah dia dan anak-anak lain juga dilatih cara menyelamatkan diri jika gempa terjadi?
Hari Pendidikan Nasional belum lama lewat. Sejujurnya, saya kehilangan kata-kata untuk sekadar mengucapkan selamat, mengingat PR dunia pendidikan kita. Penyelenggaraan UN dari tahun ke tahun yang bukan semakin baik malah kian amburadul dan jauh dari sikap profesional.
Saya dekati si bungsu yang sedang menghafal, memberinya kecupan di kening. Dalam hati mengingat diskusi dengan lelaki berpenampilan rapi tadi pagi. Sosok yang meraih keberhasilan, menurutnya, antara lain, karena orang tua tidak memberikan beban, seperti yang diberikan sistem pendidikan kita. Sebaliknya, menawarkan dukungan serta sederet diskusi untuk memastikan anak-anak meletakkan fokus pada materi tertentu dengan porsi yang tepat.
Setidaknya, ini yang bisa dilakukan orang tua ketika berada pada sistem yang masih harus banyak dibenahi. Hal serupa yang mulai kini akan saya tawarkan pada si bungsu dan kakaknya.