Kamis 03 Oct 2013 19:43 WIB
Resonansi

Mitos Gelombang Muslim (3)

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Azyumardi Azra

Mitos gelombang Muslim begitu merasuk imajinasi sebagian masyarakat Eropa dan Amerika Utara, yang dengan instan digunakan oleh para politisi dan penulis ultra kanan. Bagi mereka, ada empat hal yang patut diwaspadai  masyarakat Barat karena bagi mereka amat mengkhawatirkan.

Pertama, pertambahan jumlah migran Muslim yang dapat berujung pada pembentukan 'bangsa' Muslim Barat; kedua, masalah integrasi kaum Muslim yang sangat sulit dengan lingkungan budaya lokal Barat; ketiga, privatisasi agama atau sekularisme negara-negara Barat yang justru mendapat respons balik dari masyarakat Muslim; dan keempat, tantangan kaum Muslim terhadap monokulturalisme Barat.

Adalah citra dan persepsi banyak kalangan Barat bahwa benua mereka terus 'ditenggelamkan' kaum Muslim. Menurut 'teori' atau tepatnya mitos ini, jumlah migran Muslim terus bertambah; dan pada saat yang sama keluarga Muslim terus beranak pinak secara cepat, sehingga dalam beberapa dasawarsa ke depan, kaum Muslim menjadi penduduk mayoritas Eropa dan Amerika. Begitu menjadi mayoritas--menurut mitos ini--kaum Muslim segera memaksakan Islam beserta syari'ah kepada penduduk 'asli' setempat yang jumlahnya merosot secara cepat.

Yang namanya 'mitos' tentu saja jauh daripada kenyataan. Seperti dibuktikan Saunders dalam The Myth of the Muslim Tide: Do Immigrants Threaten the West (2012) berbagai fakta tentang pertumbuhan penduduk Eropa dan Amerika Utara sama sekali jauh dari klaim tersebut. Memang pada 1950 hanya ada sekitar 300.000 Muslim di 27 negara Eropa; dan kini berkisar antara 15 sampai 20 juta atau antara tiga sampai empat persen jumlah total sekitar 405 juta penduduk benua ini.

Menurut estimasi Pew Research Center, Washington DC, jika tingkat migrasi dan pertumbuhan penduduk Muslim sekarang ini dikalikan, penduduk Muslim Eropa pada 2030 mencapai 29,8 juta (4,5 persen). Untuk AS, penduduk Muslim meningkat dari 2,6 juta pada 2010 menjadi 6,2 juta pada 2030, atau(1,7 persen jumlah total penduduk negara ini. Survei Pew Research Center ini--di samping banyak survei lain--membuktikan kemustahilan kaum Muslim menjadi mayoritas di kedua benua tersebut.

Mitos selanjutnya adalah kaum Muslim, baik generasi pertama migran maupun generasi kedua dan selanjutnya yang lahir di perantauan Eropa dan Amerika Utara sangat sulit berintegrasi dengan masyarakat lokal beserta budaya dan tradisinya. Saunders tidak menolak adanya kesulitan tersebut. Generasi pertama migran Muslim sibuk dengan usaha untuk survive; bekerja kasar apa saja yang akhirnya membuat mereka hidup dalam kemiskinan dan kesulitan. Keadaan ini memengaruhi generasi kedua, yang hanya secara 'beringsut' lebih baik dari orang tua mereka.

Kenestapaan seperti ini terutama terjadi di Eropa. Sementara di Amerika sebaliknya--migran Muslim adalah cerita tentang kesuksesan pendidikan, yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok keagamaan lain. Menurut berbagai survei, sekitar 40 persen anak muda Muslim berhasil menyelesaikan pendidikan S1 atau S2. Dengan persentase ini, anak muda Muslim hanya dikalahkan pemuda Yahudi (61 persen), tetapi jauh lebih unggul dibandingkan rata-rata pemuda Amerika yang hanya 29 persen berhasil memperoleh gelar S1 dan S2.

Meski demikian, cerita sukses dalam pendidikan tinggi ini tidak lantas berarti pemuda Islam dapat dengan mudah mencapai mobilitas ekonomi. Kajian di beberapa negara Eropa menunjukkan, begitu pemuda Muslim berpendidikan tinggi masuk lapangan kerja, mereka mendapatkan gaji lebih rendah dibanding pemuda tempatan. Padahal, pendidikan mereka lebih tinggi atau sedikitnya setara dengan pemuda 'pribumi', dan lagi pula mereka juga fasih berbahasa lokal yang sudah menjadi bahasa ibu mereka. Saunders menyimpulkan: “anak-anak migran Muslim menghadapi hukuman karena agama dan etnisitas mereka di pasar kerja”.

Menghadapi diskriminasi dalam lapangan kerja, kaum Muslim umumnya di Barat masih juga berhadapan dengan mitos lain, yaitu bahwa mereka dengan mudah terjerumus ke dalam ekstremisme dan radikalisme. Bagi kalangan ultra kanan Barat, ekstremisme kaum Muslim di wilayah mereka bersumber dari ketidakpuasan dan  kemarahan kepada dunia Barat dengan segala sistem politik dan realitas sosial budayanya.

Sejauh mana kebenaran anggapan ini? Menurut sebuah survei Gallup, kaum Muslim yang menyimpan kemarahan hanya separus dari masyarakat pribumi Inggris. Tidak banyak berbeda, 76 persen Muslim Inggris merasa nikmat dengan kehidupannya, sementara 82 persen masyarakat lain umumnya. Di AS, 84 persen migran Muslim generasi pertama puas dengan kehidupan mereka; lebih tinggi daripada penduduk Amerika umumnya yang hanya 75 persen.

Kepuasan itu meningkat pada generasi kedua migran Muslim yang mencapai 90 persen. Bahkan, di lingkungan di mana masjid mereka menjadi sasaran vandalisme, 76 persen Muslim setempat menyatakan, komunitas pertetanggaan mereka sebenarnya terdiri atas orang baik-baik.

Mitos-mitos semacam itu dapat terus membiak. Tapi, mitos-mitos tidak berdasar itu juga dapat berkurang ketika setiap dan seluruh Muslim yang menetap for good atau selamanya di Barat dapat menampilkan diri seperti diharapkan Islam--tampil sebagai representasi rahmatan lil 'alamin. Inilah yang juga masih menjadi 'PR' bagi kaum Muslim sendiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement