REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Azyumardi Azra
Saya sudah agak lama terperangah menyimak kabar dari Mesir yang sampai sekarang terus bergolak. Rezim militer dengan Presiden Adly Mansur sebagai presiden 'boneka' tidak hanya menahan Presiden Muhammad Mursi (asal al-Ikhwan al-Muslimun/IM) entah sampai kapan, tetapi juga menangkapi para pimpinan IM lain dan membekukan berbagai aset dan fasilitas IM.
Hal lain yang tidak kurang membuat saya terperenyak adalah pencabutan lisensi sekitar 53 ribu imam, khatib, ustaz, dan mubaligh atau penceramah agama yang berasal dari atau diduga simpatisan IM. Pencabutan lisensi tersebut dilakukan Menteri Wakaf yang mengurusi ikhwal agama dengan restu Grand Syaikh al-Azhar. Hanya mereka yang memiliki ijazah dan lisensi dari Badan Dakwah al-Azhar diizinkan menyampaikan ceramah agama.
Penguasa Mesir jelas tidak peduli dengan kecaman. Di tengah keprihatinan kita di Indonesia, satu hal agaknya hampir pasti. Banyak masjid di Mesir segera kekurangan penceramah agama. Menurut estimasi, ada sekitar 110 ribu masjid terdaftar di seluruh Mesir. Jika setiap masjid membutuhkan satu imam yang sekaligus merangkap mubaligh dan khatib diperlukan pula 110 ribu orang.
Setelah pencabutan lisensi 53 ribu penceramah tadi, kini tersisa hanya 58 ribu imam-khatib yang telah lulus kualifikasi dan memiliki lisensi al-Azhar. Dengan selisih angka tadi, banyak masjid mengalami kelangkaan imam-khatib, kecuali jika al-Azhar mengisinya dengan segera menyeleksi imam-khatib sesuai kualifikasi yang sudah ditetapkan al-Azhar sendiri dan kementerian terkait.
Mengapa penceramah agama yang terkait dengan IM dicabut lisensinya? Jelas alasannya adalah politis daripada alasan lain. Namun, menurut kalangan pimpinan al-Azhar, para penceramah tersebut mengeksploitasi masjid melalui ceramah untuk kepentingan politik. Para penceramah IM dianggap menghasut, memprovokasi, dan menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Lebih jauh, tampaknya untuk membatasi konsentrasi massa sepanjang ibadah Jumat-yang biasanya berubah menjadi mobilisasi massa-Pemerintah Mesir juga menetapkan; hanya masjid dengan luas minimal 80 meter persegi yang boleh menyelenggarakan Jumatan. Dengan cara ini, jumlah masjid yang menyelenggarakan ibadah Jumat menjadi berkurang sehingga sedikit meringankan tugas militer dan polisi Mesir mengontrol dan mengendalikan pergerakan massa seusai shalat Jumat.
Semua kebijakan dan tindakan Pemerintah Mesir tersebut jelas bertentangan tidak hanya dengan kewajiban dakwah, sekaligus dengan prinsip demokrasi tentang kebebasan bersuara dan menyampaikan pikiran (free speech). Meski jelas kebebasan bersamaan dengan kewajiban menghormati hak kebebasan orang lain.
Terlepas dari soal terakhir, banyak hikmah bisa diambil para penceramah agama di Tanah Air. Pertama-tama, semua mubaligh, imam, khatib, dan semacamnya di Tanah Air patut sangat bersyukur karena tidak ada ketentuan, kebijakan, dan indikasi pemberlakuan lisensi bagi para penceramah agama. Jika pada masa penjajahan Belanda dan Jepang saja tidak ada ketentuan dan kebijakan seperti itu, apakah masuk akal jika kalangan Pemerintah Indonesia merdeka punya niat mengadopsi ketentuan lisensi bagi para imam-khatib dan penceramah agama lainnya. Saya memastikan termasuk orang pertama yang menentang jika ada ide atau usaha ke arah kemestian lisensi bagi penceramah agama.
Namun, tidak kurang pentingnya dalam rangka rasa syukur itu adalah memelihara kebebasan yang dimiliki para imam-khatib atau mubaligh secara bertanggung jawab. Hal ini penting ditekankan karena bukan tidak sering dapat dijumpai khatib Jumat atau ustadz dan mubaligh yang tidak menggunakan kebebasan itu secara bertanggung jawab.
Sebaliknya, terdapat di antara mereka yang menggunakan mimbar ceramah untuk mengumbar kemarahan kepada jamaah yang mereka anggap belum sempurna (kafah) menjalankan Islam. Sering pula, jamaah harus mendengarkan cercaan khatib atau penceramah terhadap kalangan pejabat pemerintah yang dalam persepsi mereka telah mengambil dan menjalankan kebijakan dan langkah tidak Islami atau bahkan 'menghancurkan' Islam.
Dalam suasana ceramah yang panas dan provokatif itu, jamaah tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali hanya mendengarkan. Tidak lazim adanya kalangan jamaah-apalagi pada waktu khutbah Jumat-menginterupsi khutbah atau ceramah. Juga tidak mungkin bagi jamaah yang tidak suka dengan khutbah pantas meninggalkan khatib yang sedang khutbah untuk pergi ke masjid lain. Bisa dipastikan jamaah bersangkutan tidak bisa mengejar shalat Jumat di masjid lain.
Karena itu, para khatib dan penceramah lainnya mesti bijak menggunakan kebebasan berceramah. Ceramah agama dan khutbah semestinya tidak digunakan sebagai agitasi dan provokasi politik. Sebaliknya, ceramah agama mesti diorientasikan pada pembinaan umat Muslim untuk dapat menjadi rahmatan lil 'alamin, yang mengaktualisasikan ajaran kedamaian Islam bagi alam semesta.