Selasa 18 Mar 2014 06:00 WIB

MK yang Perkasa, MK yang Jatuh Martabat

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Salah satu hasil Gerakan Reformasi yang kini sudah berusia 16 tahun adalah terbentuknya MK (Mahkamah Konstitusi) dan KY (Komisi Yudisial). Pada dua periode pertama (2003-2013) perjalanan MK relatif mulus dan terhormat. Tetapi belum berusia setahun, MK periode ketiga digoncang prahara yang sangat memalukan dan menjijikkan karena ketuanya ditangkap KPK dengan tudukan terlibat korupsi. Akibatnya, secara mendadak sontak,

MK yang sebelumnya perkasa dan terhormat, berubah menjadi MK yang tersungkur dan jatuh martabat yang sampai hari ini dengan ketua barunya masih belum berhasil memulihkan nama baiknya. Publik geram dan belum percaya kepada lembaga penegak konstitusi yang keputusannya bersifat final ini. Masuknya sengketa pemilukada ke MK adalah penyebab utama mengapa ketua periode ketiga tersandung korupsi karena tawarannya sangat menggoda bagi mereka yang tunamoral.

Resonansi ini ditulis karena pengalaman dilibatkan dalam proses penambahan dua hakim MK yang semula diminta oleh KY sebagai anggota Panel Ahli tertanggal 22 Jan. 2014 bersama Prof Dr Achmad Sodiki, SH, Prof Dr Achmad Zen Umar Purba, SH, LLM, dan Dr Todung Mulya Lubis, SH, LLM. untuk menggantikan ketuanya yang terjerat hukum dan seorang lagi yang memasuki masa pensiun. Calon lainnya sedang dinantikan dari presiden, MA (Mahkamah Agung), dan DPR. Wewenang KY untuk terlibat dalam proses pemilihan calon hakim konstitusi ini berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 yang semula berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013.

Dalam tempo singkat dan mengejutkan Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 dibatalkan MK dengan Putusan No. 1-2/PUU-XII/2014, maka dengan sendirinya secara hukum wewenang KY di atas menjadi terhapus. Bola dikembalikan kepada Komisi 3 DPR untuk pengisian hakim MK yang lowong itu. Pada 24 Feb. KY menulis surat permintaan maaf kepada saya dan tentu juga kepada tiga teman lainnya karena pembatalan di atas. Bagi saya pembatalan ini tidak ada masalah sama sekali, sekalipun sebelumnya saya sudah mengontak Bung Todung untuk diusulkan menjadi Ketua Panel Ahli sekiranya sudah ditetapkan.

Tanpa sepengetahuan saya sebelumnya, Komisi 3 DPR masih memasukkan nama saya untuk menjadi anggota Tim Ahli bersama Dr KH A. Hasyim Muzadi, Dr Andi Matalatta, Prof Dr Saldi Isra, Prof Dr. Lauddin Marsuni, Dr Musni Umar, Prof. Dr. Laica Marzuki, Prof Dr Has Natabaya, dan Zain Badjeber, S.H, MH. Dari sembilan nama ini, yang bukan sarjana hukum adalah saya dan Dr Hasyim Muzadi yang katanya dipilih sebagai tokoh masyarakat.. Tim ini sebenarnya hanyalah sebagai pendamping Komisi 3, tidak punya wewenang apa-apa, sebab tanpa Tim ini pun Komisi 3 punya hak konstitusi untuk memilih hakim MK setelah Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 di atas dinyatakan batal.

Sudah beberapa kali saya dilibatkan dalam berbagai proses seleksi ini, baik untuk KPK, KY, dan terakhir untuk Komisi 3. Tentu pengalaman baru-baru ini patut juga saya tuliskan di kolom ini di saat MK sedang memulihkan martabatnya yang pernah berada pada titik nadir. Akan mampukah MK memulihkan kehormatannya dengan tambahan dua hakim baru yang dipilih Komisi 3: Dr Wahiduddin Adams, SH, MA. dan Prof Dr Aswanto, SH, MSi, DFM? Tim Pakar semula merekomendasikan empat nama: Atip Latipulhayat, SH, LLM, PhD, Dr Wahiduddin Adams, SH, MA, Dr Ni’matul Huda, SH MH, dan Prof Dr Aswanto, SH, MSi, DFM. Kemudian oleh Komisi 3 dipilih dua di antara empat yang disarankan itu.

Karena mereka yang mendaftar untuk calom hakim MK sangat terbatas dan waktu pun sempit sekali, yang terjaring semula hanya 12, mengerucut jadi 11, kemudian mengerucut lagi menjadi 10, maka pilihan memang tidak banyak. Bahkan terbetik kekhawatiran kalau-kalau yang mendaftar itu pun tidak memenuhi syarat setelah melalui fit and proper test oleh Tim Ahli dan Komisi 3. Masing-masing calon diberi waktu minimal 90 menit dalam proses uji kelayakan itu, bahkan ada yang sampai 150 menit. Dari tanggal 3 s/d 5 Maret secara maraton kami terlibat dalam proses seleksi yang terbuka untuk publik itu, siang dan malam.

Karena yang tertua di antara sembilan Tim Pakar, maka pada rapat tertutup untuk merumuskan rekomendasi saya diminta untuk membuka rapat Tim dengan Prof. Dr. Saldi Isra, S.H. sebagai sekretaris. Kalimat pertama saya mengatakan bahwa tidak ada yang ideal di antara calon-calon ini. Muncullah diskusi yang agak sengit di antara kami. Ada yang hanya memilih satu nama, tetapi ditolak oleh yang lain. Akhirnya, Dr Andi Matalatta mengusulkan untuk memilih empat nama. Usul ini disepakati dengan menampung nama calon yang diusulkan anggota Tim berdasarkan perolehan suara. Hasilnya adalah seperti yang telah disebut di atas.

Kini, semua mata menatap dengan tajam sikap dan kerja MK lengkap dengan sembilan hakim independen untuk memulihkkan martabat lembaga yang sedang jatuh ini agar menjadi perkasa kembali. Mohon harapan publik yang tinggi ini disadari dengan sepenuh hati. MK sedang berada dalam taruhan sejarah yang sangat kritikal!

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement