Kamis 31 Jul 2014 06:00 WIB

Tragedi Timteng

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Jika ada tragedi kemanusiaan memilukan yang terus berlanjut, hal itu terjadi menimpa bangsa Palestina, khususnya di Jalur Gaza. Sejak pertengahan Ramadhan lalu, dengan hanya diselingi “gencatan senjata” dalam jam terbatas, pasukan udara dan darat Israel secara brutal membombardir Gaza-termasuk sekolah PBB dan rumah sakit-membunuh lebih 1.000 warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, dan melukai hampir 10 ribu lainnya. Hari Raya Idul Fitri tidak mampu menghentikan aksi tidak berperikemanusiaan Israel.

Dengan aksi brutal seperti itu, tidak heran kalau PM Turki Tayip Recep Erdogan menyatakan, “Kekejaman Israel sudah melebih apa yang dilakukan Hitler terhadap orang Yahudi menjelang Perang Dunia II.\" Israel yang tidak mau dikritik siapa pun dengan segera menuduh Erdogan sebagai bersikap anti-Semitik alias anti-Yahudi, anti-Israel.

Aksi brutal Israel mengundang Dewan HAM PBB (UNHCR) yang didukung lembaga HAM internasional lain mengeluarkan resolusi mengutuk Israel. Resolusi itu sekaligus menuntut penyelidikan pelanggaran hukum perang dan “kejahatan kemanusiaan” yang dilakukan Israel. Resolusi ini ditolak Amerika Serikat, sementara negara-negara Eropa abstain. Pada saat yang sama, Israel dengan pongah menyebut Dewan HAM PBB sebagai “Dewan HAM Teroris”.

Perkembangan ini mengisyaratkan tragedi Palestina bakal terus berlanjut. Jelas sekali terlihat tidak ada kekuatan internasional yang mau atau dapat menghentikan Israel. AS seperti biasa selalu mendukung Israel dan memveto hampir setiap Resolusi PBB yang mengecam Israel atau resolusi yang menuntut pengembalian wilayah dan tanah yang diduduki dan dirampas Israel kepada Palestina, atau pemenuhan HAM bangsa Palestina untuk memiliki negara merdeka dan berdaulat sepenuhnya.

Hal yang hampir sama juga terlihat dalam sikap negara-negara Eropa atau Uni Eropa. Meski Eropa-khususnya Inggris, Jerman, Prancis-terlihat ingin menampilkan kesan “tidak terlalu memihak” kepada Israel, tetap saja negara-negara ini membiarkan Israel bertindak brutal. Tidak ada kebijakan dan langkah konkret untuk menghentikan aksi brutal Israel dan memberikan perlindungan kepada warga Palestina, baik di Jalur Gaza maupun Tepi Barat.

Tidak kurang berdayanya adalah Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan juga Liga Arab. Kedua organisasi ini gagal menjadi kekuatan internasional efektif untuk menghentikan kesewenangan Israel dan sebaliknya mewujudkan langkah konkret melindungi dan mewujudkan negara Palestina.

Kegagalan OKI dan Liga Arab terkait dengan kenyataan kedua organisasi ini selalu dirasuki pertarungan dan kontestasi di antara para anggotanya, khususnya negara-negara Arab. Sampai tahun awal tahun 2000-an-masa mulai rontoknya negara-negara Arab yang kuat-OKI dan Liga Arab merupakan ajang perebutan hegemoni di antara Mesir, Irak, Suriah, Libya, Arab Saudi, dan juga Iran.

Sementara, negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas Muslim di dalam OKI, seperti Turki dan Indonesia, lebih menjadi penonton. Negara-negara Muslim non-Arab ini cenderung lebih diposisikan atau memosisikan diri sendiri sebagai “pelengkap penyerta” tanpa posisi tawar signifikan. Mereka bahkan cenderung hanya sebagai “saksi” atau penonton kontestasi yang terus berlanjut di antara negara-negara Arab.

Tragedi Timteng yang meningkatkan kenestapaan bangsa Palestina menjadi-jadi ketika negara-negara kuat di dunia Arab mengalami krisis dan pelemahan satu per satu. Keadaan ini bermula dengan serbuan AS dan sekutunya ke Irak yang berhasil menjatuhkan Presiden Saddam Hussein pada Maret 2003. Irak selanjutnya adalah sejarah kenestapaan: sektarianisme politik, sosial, dan keagamaan menghasilkan Irak yang tidak pernah stabil sampai sekarang-penuh konflik dan kekerasan yang mengorbankan sangat banyak jiwa.

Krisis negara-negara Arab berlanjut ketika Arab Spring bergejolak sejak akhir 2010 dan awal 2011 yang menumbangkan orang kuat (strong men) di dunia Arab semacam Muammar Qadafi (Libya) dan Husni Mubarak (Mesir). Krisis mewabah di negara-negara lain seperti Tunisia, Yaman, Bahrain, dan Suriah yang terus berlanjut-lagi-lagi dengan mengorbankan banyak nyawa dan harta benda.

Transisi menuju demokrasi yang terjadi dunia Arab terbukti menghasilkan instabilitas. Di tengah kondisi seperti itu, kekuatan nonnegara radikal pun muncul, di antaranya adalah ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang menyebut diri sebagai “khilafah Islamiyah” yang ternyata cukup kuat untuk bisa menguasai sebagian wilayah Irak dan Suriah,

Kini selain Israel tinggal tiga negara kuat di Timur Tengah: Arab Saudi, Turki, dan Iran. Sikap mereka berbeda dalam hal Palestina. Jika Turki dan Iran sangat kritis terhadap Israel, sebaliknya Arab Saudi mengesankan sikap tidak jelas dan bahkan cenderung menguntungkan Israel.

Jika tragedi Palestina atau Timur Tengah secara keseluruhan bisa diatasi, negara-negara Arab sendiri perlu konsolidasi dan menyatukan langkah; mereka mesti lebih akomodatif dan toleran satu sama lain. Selama kondisi internal masing-masing negara Arab tidak stabil secara internal dan/atau di antara mereka terus terjadi friksi dan konflik, sepanjang itu pula kenestapaan kemanusiaan terus berlangsung di Gaza, Tepi Barat, Irak, Suriah, dan seterusnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement