REPUBLIKA.CO.ID, Sejak serangan besar-besaran dilancarkan ke Kota Mosul, Irak, Senin lalu, berbagai spekulasi pun muncul. Terutama terkait dengan keberadaan sebuah kelompok yang menamakan diri sebagai ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Yakni, apakah kelompok teroris itu akan kocar-kacir dan kemudian hilang ditelan bumi sebagaimana Alqaida pimpinan Usama bin Laden dulu?
Spekulasi, atau tepatnya harapan, itu muncul bukan hanya lantaran ISIS telah mendirikan negara secara ilegal di di Irak dan Suriah. Namun, lebih karena bayangan kelompok teroris itu sudah seperti hantu. Menakutkan!
Kelebatan bayangan ISIS sudah sangat mengerikan masyarakat internasional, dalam bentuk aksi-aksi teror yang dilakukan kaki-tangan mereka di berbagai penjuru dunia. Dari Amerika, Prancis, Belgia, Inggris, Australia, Arab Saudi, Tunisia, Kuwait, Mesir, Pakistan, Afghanistan hingga Filipina, Indonesia, dan lainnya. Ingat bom Thamrin dan bom bunuh diri di Solo pada Januari dan Juli lalu? Itulah sebagian perbuatan kaki-tangan ISIS.
Ya, ISIS memang sudah bagaikan hantu. Lihat saja pakaian mereka. Dari kaki sampai tutup kepala berwarna hitam lusuh. Pantaslah bila pemimpin tertinggi mereka, Abu Bakar al Baghdadi, diberi gelar ‘sheikh as sabakh’ alias sheikh hantu. Apalagi sepak terjang mereka juga menggambarkan hantu alias iblis. Jahat. Tidak mengenal belas kasihan. Memenggal kepala, membakar orang hidup-hidup, memperkosa para perempuan, dan melakukan serangan bom yang menewaskan puluhan atau bahkan ratusan orang tak berdosa adalah keseharian mereka. Karena itu, pantaslah bila masyarakat internasional menginginkan segera menghabisi hantu ISIS yang menakutkan itu.
Pertanyaannya, apakah serangan besar-besaran ke Kota Mosul itu akan menandai berakhirnya keberadaan ISIS?
Mosul adalah kota terbesar dan terpenting kedua bagi Irak setelah Baghdad. Sebaliknya, Mosul juga merupakan benteng kedua kekuatan ISIS setelah Kota Raqqa di Suriah. Raqqa berhasil dikuasai ISIS pada 2013. Meskipun kota ini kemudian mereka jadikan sebagai ibukota negara, namun dari Mosul-lah mereka mendeklarasikan berdirinya sebuah negara yang bernama ISIS, beberapa hari setelah mereka kuasai pada Juni 2014.
Dua tahun lalu, sekitar pertengahan Juni, ketika sedang berlangsung pertandingan sepak bola Piala Dunia, masyarakat internasional tiba-tiba dikejutkan dengan keberhasilan ISIS menguasai Mosul. Peristiwa itu sesungguhnya berita besar tapi tertutup euforia Piala Dunia.
Setelah menguasai Mosul, ISIS pun bergerak cepat. Mereka pun mendeklarasikan sebuah negara dengan menggabungkan dua wilayah luas di Suriah dan Irak yang telah mereka duduki. Negara itu bernama ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Syam (Suriah). Bentuknya kekhalifahan. Khalifahnya Abu Bakar al Baghdadi dengan gelar Amirul Mukminin.
Mereka kemudian menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk tunduk dan mengakui ISIS. Mereka yang menolak dianggap musuh. Para marbot —termasuk khatib dan imam— Masjid Agung Mosul yang Suni pun mereka bunuh karena menolak berbaiat.
Beberapa hari kemudian di masjid yang pengurusnya baru saja mereka eksekusi mati ini, Sheikh al Baghdadi untuk pertama kalinya muncul ke publik. Ia berkhutbah dan menjadi imam shalat Jumat di Masjid Agung Mosul. Kemunculan al Baghdadi pada 4 Juli 2014 itu ternyata yang pertama dan terakhir hingga kini. Al Baghdadi kembali menghilang. Ia bagaikan hantu. Keberadaannya tak terdeteksi.
Beberapa hari sebelumnya, al Baghdadi telah mengeluarkan apa yang disebut Dokumen Mosul (Watsiqatu al Mosul). Dokumen ini berisi ‘ketentuan dan aturan negara’ yang berlaku untuk seluruh wilayah ISIS. Juga mengenai hak dan kewajiban warga. Mereka yang menolak ketentuan dalam dukumen ini sanksinya sangat berat.
Sejak menguasai Mosul dan mendeklarasikan ISIS, sepak terjang al Baghdadi dan anak buahnya benar-benar bagaikan hantu. Mengerikan. Siapa pun yang dianggap musuh atau mengganggu keberadaan ISIS mereka babat. Bahkan mereka juga menebarkan teror ke luar negeri. Tepatnya ke negara-negara yang dianggap memusuhi mereka. Indonesia pun termasuk yang menjadi sasaran teror mereka.
Kini setelah dua tahun menguasai Mosul, masyarakat internasional tampaknya benar-benar mulai ngeh tentang bahayanya ISIS. Berbagai kritik pun dialamatkan kepada Presiden AS Barack Obama. Presiden AS selama puluhan tahun merupakan sekutu tradisional banyak negara di Timur Tengah.
Bukan hanya oleh para pemimpin Arab yang menilai Obama sebagai pemimpin Amerika yang paling lemah dan tidak berbuat apa-apat terhadap ISIS. Namun, juga oleh kandidat Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. Yang terakhir ini benar-benar telah menjadikan Obama dan Hillary Clinton sebagai bulan-bulanan dan bahan ejekan Trump selama kampanye dan depat capres.
Trump menuduh Hillary —yang pernah menjadi menteri luar negeri pada masa awal pemerintahan Obama dan kini jadi rival Trump menuju Gedung Putih— sebagai telah ikut andil membesarkan ISIS. ISIS telah benar-benar menghantui dua capres Amerika.
Obama sebagai pihak tertuduh tampaknya tidak tinggal diam. Beberapa bulan sebelum meninggalkan Gedung Putih ia pun mulai bertindak tegas. Ketegasan yang tampaknya juga untuk ‘menyelamatkan’ Hillary dari kritikan Trump.
Selain mengirimkan ribuan penasihat militer dan persenjataan, Obama juga mendukung semua pihak yang ingin menghancurkan ISIS, terutama pemerintahan PM Irak, Haidar al Abadi. Dan, yang menjadi sasaran pertama dan utama mereka adalah merebut kembali Kota Mosul dari ISIS. Maka, sejak Senin lalu sebuah kekuatan besar — puluhan ribu tentara Irak, milisi rakyat, para pejuang Kurdi, dan militer Turki — yang didukung pasukan internasional pimpinan AS, mulai meringsek kekuatan ISIS di Mosul. Hingga sepekan serangan itu hasilnya masing simpang-siur.
Dikabarkan kota yang dihuni lebih dari 5 juta warga Suni itu telah porak poranda. Ribuan warga kocar kacir melarikan diri dari neraka perang. Sebagian mereka telah dijadikan tameng hidup oleh ISIS. Sejumlah pemimpin ISIS sudah melarikan diri ke Raqqa, Suriah. Sejumlah pengamat militer memperkirakan Mosul cepat atau lambat akan bisa dibebaskan dari cengkeraman ISIS.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana masa depan Mosul yang selama ini dihuni mayoritas Suni sementara pemerintahan Irak didominasi Syiah? Ini belum termasuk keberadaan warga Kurdi. Pertanyaan berikutnya yang lebih penting lagi, apakah dengan pengusiran terhadap ISIS dari Mosul itu berarti telah menghabisi kelompok radikal itu dari muka bumi?
Banyak yang pesimis. Tidak seperti menghabisi Alqaida-Taliban di Afghanistan, dalam persoalan ISIS banyak yang bermain. Apalagi ISIS berada di dua negara, Irak dan Suriah. Ada kepentingan lokal, regional, dan kekuatan global.
Ada poros Rusia, Iran, Suriah (Presiden Bashar Assad), dan Irak (moyoritas Syiah) di satu sisi. Di sisi lain aliansi AS-negara-negara Arab Sunni terutama Teluk, dan Turki. Namun, aliansi ini seringkali bersifat cair, tergantung kepentingan. Di luar itu masih ada kepentingan suku Kurdi yang berada di Irak, Suriah, dan Turki. Juga ada perebutan pengaruh kelompok-kelompok Sunni dan Syiah.
Sementara di kubu Amerika sendiri, dua kandidat presiden berbeda sangat tajam terkait ISIS. Dengan demikian nasib ISIS masih akan menungggu siapa yang akan duduk di Gedung Putih nanti. Karena itu, berharap ISIS akan segera ditelan bumi masih jauh panggang dari api.