Senin 19 Dec 2016 06:00 WIB

Mengapa Demokrasi Gagal di Arab?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Dari 22 negara anggota Liga Arab, delapan negara berbentuk monarki — entah itu kerajaan, kesultanan, atau keamiran. Suksesi di delapan negara ini didasarkan pada keturunan/keluarga. Bisa dari bapak ke anak, saudara, atau keponakan. Delapan negara itu adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Kuwait, Bahrain, Yorgania, dan Maroko. Selebihnya merupakan negara-negara republik dengan nama yang berbeda atau sinonim. 

Yang menarik, kedelapan negara monarki itu bisa dikatakan lebih stabil. Politik maupun keamanannya. Ekonominya pun lebih maju. Rakyatnya lebih sejahtera. Derap pembangunan terus berjalan. Alih kekuasaan juga  berjalan lancar. Senyap tanpa gejolak. Tidak ada darah yang mengalir. Juga nihil konflik.

Sebaliknya, alih kekuasaan di negara-negara republik — dengan berbagai bentuk dan nama — justeru acak-adul. Suksesi tidak berjalan normal. Bedarah-darah. Bahkan telah mumunculkan konflik berkepanjangan antar-kelompok-kelompok masyarakat di dalam negeri masing-masing. Terutama di negara-negara yang terkena tsunami al Rabi’ al ‘Araby. 

Ya, al Rabi’ al ‘Araby yang bermakna Musim Semi Arab ini sebenarnya dimaksudkan sebagai musim yang penuh harapan. Harapan terhadap perubahan yang lebih baik. Harapan untuk mendapatkan pemimpin yang lebih memperhatikan nasib rakyat. Pemimpin yang dipilih secara langsung dan demokratis. Tapi, apa yang terjadi kemudian?

Musim Semi Arab nyatanya telah berubah menjadi musim musibah bagi rakyat Arab. Hampir seluruh negara Arab yang dilanda al Rabi’ al ‘Araby — kecuali Tunisia — kini berada di ambang kehancuran. Lihatlah Mesir, Libia, Yaman, dan Suriah. Negara-negara yang tersebut ini sekarang sedang mengalami gonjang-ganjing dilanda ketidak pastian. Baik politik, keamanan, maupun sosial, dan apalagi ekonomi.

Ketidak-pastian itu bukan hanya melanda masalah dalam negeri dari negara-negara tersebut,  namun ternyata juga berpengaruh besar terhadap kondisi kawasan Timur Tengah secara keseluruhan. Liga Arab yang menjadi pemersatu negara-negara Arab pun limbung. Pertemuan-pertemuan tingkat tinggi Liga Arab yang mustinya untuk mencari solusi menjadi ajang caci-maki dan saling menyalahkan. Sebaliknya,  Dewan Kerja sama Teluk — beranggotakan enam negara monarki Teluk plus Kerajaan Yordania dan Kerajaan Maroko sebagai peninjau — justeru semakin solid. Kerja sama di antara mereka pun sangat efektif.

Kondisi itulah yang digambarkan secara tepat dalam sebuah artikel di media al Sharq al Awsat dengan judul ‘ad Daulah al Wathoniyah al ‘Arabiyah wa Akthoru ad Dimar’, Negara Nasional Arab dan Bahaya Kehancuran. Negara Nasional Arab yang dimaksud adalah negara-negara dengan bentuk republik yang didasarkan pada demokrasi.

Para pengamat, peneliti, dan ahli strategi mengenai Timur Tengah berbeda pandangan mengenai penyebab kehancuran negara-negara Arab republik/non monarki. Ada yang berpandangan agama sebagai faktor. Meskipun mayoritas mereka juga menyebut agama sebagai pemersatu, namun menurut mereka, perbedaan paham, ideologi, dan aliran, terutama menyangkut kekuasaan, telah menyebabkan perpencahan di masyarakat, bahkan konflik berdarah. 

Apalagi ketika ada kelompok yang ingin memaksakan kehendak untuk membentuk negara berdasarkan agama. Di sinilah mulai muncul kelompok-kelompok radikal, yang kemudian berkembang menjadi teroris yang menyerang semua pihak yang dianggap menghalangi keinginan mereka, seperti Alqaida, ISIS, dan lainnya. Kelompok-kelompok ini menyebar ke sejumlah negara Arab dan mengancam rezim penguasa di sejumlah negara. 

Yang lainnya berpandangan The Sykes-Picot Agreement (1916) sebagai penyebab. Perjanjian yang ditandatangani oleh Inggris dan Prancis pada Perang Dunia I ini telah memaksa perbatasan wilayah negara-negara Arab berdasarkan kepentingan kolonial. Akibatnya, sebuah suku bangsa seperti Kurdi harus hidup terpecah dalam beberapa negara. Juga suku-suku lainnya.

Berikutnya adalah pandangan yang menyebut invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak menjadi salah satu penyebab yang menhacurkan negara-negara Arab. Meskipun invasi itu telah berhasil menghancurkan rezim Saddah Husein, namun pengaruhnya meluas dan menyebabkan gonjang-ganjing dunia perpolitikan dan keamanan di kawasan, termasuk di dalam negeri sejumlah negara Arab.

Meskipun para pengamat, peneliti, dan ahli strategi tentang Timur Tengah berbeda pandangan tentang penyebab dari kehancuran negara-negara Arab seperti tersebut, namun mereka sepakat dalam satu hal. Yaitu, semua pemimpin negara non monarki/republik yang dilanda revolusi rakyat -- yang disebut sebagai al Rabi’ al ‘Araby  -- itu berkuasa  secara diktator dan otoriter. Mereka memerintah rakyatnya dengan gaya dan sistem militer. Semua oposisi diberangus. Para pemimpinnya dijebloskan ke penjara atau dibunuh. Inilah, menurut mereka, yang menjadi penyebab utama dari kehancuran sejumlah negara Arab sekarang ini.

Sungguh aneh bahwa para presiden di sejumlah negara Arab yang mustinya merupakan pilihan rakyat secara demokatis justeru berkuasa lebih lama dari para raja, amir, atau sultan. Tengoklah Zainal Abidin bin Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), Ali Abdullah Soleh (Yaman), Muammar Qadafi (Libia), dan Bashar Assad (Suriyah) yang berkuasa lebih dari 20 tahun atau malah ada yang 30 tahun lebih. Dan, yang lebih menyedihkan, demi melanggengkan kekuasaan bahkan ada penguasa seperti Presiden Bashar Assad yang rela mengundang campur tangan asing untuk menyerang dan mengusir rakyatnya sendiri. Inilah sebenarnya yang sedang berlangsung di Aleppo, Suriah, sekarang ini.

Hal ini hanya bisa terjadi ketika kekuasaan sudah dikangkangi. Rakyat dibungkam. Demokrasi hanya simbol yang sudah diatur. Bahkan pemilihan presiden dan masa jabatannya pun bisa diubah dalam referendum pura-pura. 

Namun, seberapa kuat rezim penguasa untuk membungkam suara rakyat pada akhirnya mereka pun akan bersuara. Mereka akan memberontak kekuasaan yang lalim, cepat atau lambat. Dan, itulah yang terjadi pada sejumlah rezim penguasa Arab. Sayangnya, seperti pernah diingatkan oleh  ulama dan filsuf Suriah Abdul Rahman al Kawakibi (1854/1855–1902), rezim penguasa yang diktator dan otoriter telah merusak agama, politik, dan akhlak masyarakat dalam jangka yang lama.

Inilah yang terjadi pada bangsa-bangsa Arab kini. Meskipun sejumlah penguasa diktator-otoriter telah tumbang, rakyat belum siap untuk menajalani kehidupan politik yang dimokratis atau berbagai kekuasaan. Rezim lama ingin merebut kekuasaan kembali, bahkan dengan segala cara, sementara kompok-kelompok oposisi ingin balas dendam. Maka, yang terjadi kemudian adalah perebuatan kekuasaan yang tidak ada ujung-pangkalnya. Inilah yang terjadi di Tunisia, Yaman, Libia, Mesir, dan Suriah. Akibatnya, rakyatlah yang menjadi korban. 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement