Selasa 24 Apr 2018 15:53 WIB

Gerakan Antipolitisasi Masjid: Berperang dengan Hantu?

Kesalahan pembacaan peta sosio-politik umat Islam berimbas pada blunder kebijakan.

Umat muslim mengikuti aksi Super Damai 212 di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (2/12).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Umat muslim mengikuti aksi Super Damai 212 di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (2/12).

Oleh: Akhmad Danial*

Yang paling memuakkan dari tudingan-tudingan berbau “islamophobia” di Indonesia belakangan ini adalah, diabaikannya faktor-faktor yang bersifat sosio-historis dalam analisa-analisa mengenai apa yang disebut sebagai kebangkitan “politik identitas” atau lebih khusus lagi, gerakan “Islam politik” dan “Populisme Islam”.

Akibatnya adalah berkembangnya praduga-praduga atas umat Islam yang tidak berlandaskan realitas faktual karena memang tidak terjadi pada tataran empiris. Isu intoleransi dan anti-kebhinnekaan misalnya, dapat dengan mudah meleleh lewat sebuah fragmen dikawalnya pasangan Cina non-muslim yang akan menikah di Katedral Jakarta dalam aksi yang diikuti oleh kelompok-kelompok yang dituding intoleran dan anti-kebhinnekaan itu.

Konyolnya, peristiwa itu tidak kemudian dimanfaatkan untuk melakukan reevaluasi tentang pembacaan peta kondisi sosio-politik yang sebenarnya. Yang malah muncul kemudian adalah sebuah tudingan daur ulang isu lama yang sebenarnya sudah selesai sejak era 1990-an; membenturkan antara kelompok-kelompok Islam dengan keindonesiaan dan Pancasila, misalnya lewat jargon: “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.

Sejak awal tahun ini, udara politik nasional kembali terpolusi oleh isu-isu terkait tempat peribadatan umat Islam, Masjid. Mulai dari adanya keberatan-keberatan soal azan sampai yang disuarakan sejak Januari lalu, dideklarasikannya gerakan antipolitisasi masjid. Dipersepsikan, khittah masjid adalah tempat ibadah, namun yang terjadi saat ini adalah penyalahgunaan masjid oleh sekelompok umat Islam sehingga tidak sejalan lagi dengan khittahnya.

Diakui bahwa memang ada kelompok-kelompok Islam yang memiliki aspirasi politik yang cenderung “berbeda” dalam hal sistem demokrasi dan nostalgia Pan-Islamisme. Terdapat juga kelompok-kelompok yang berkeinginan agar kehidupan sosial kemasyarakatan lebih dipandu oleh tuntunan-tuntunan syari’at. Namun adalah kesalahan fatal untuk mengganggap kelompok Islam sebagai sebuah entitas yang bersifat homogen, meski bergerak dalam kesamaan arus.

Kesalahan pembacaan peta sosio-politik umat Islam itu berimbas pada kebijakan dan penyikapan yang kerap menjadi blunder. Kelompok Pan-Islamis pemimpi Khilafah, yang dalam sejarah gerakannya tidak pernah menyebarkan fahamnya lewat aksi-aksi kekerasan, ditumpas eksistensinya. Bersama dengan kelompok penyuara pemberantasanmaksiat, pemerintah menghadapinya dengan kekhawatiran luar biasasehingga justru kedua kelompok ini menghirup oksigen keagungan popularitas yang luar biasa.

                                             

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement