REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Irfan Syauqi Beik *)
Setelah sempat mengalami perlambatan pertumbuhan di tahun 2015, dimana data OJK menunjukkan bahwa pertumbuhan aset bank syariah hanya mencapai angka 8,78 persen, terendah dalam satu dasawarsa terakhir, namun untuk tahun 2016 dan 2017, angka pertumbuhan tersebut kembali meningkat, masing-masing sebesar 20,33 persen dan 18,98 persen. Meski pertumbuhan per Desember 2017 sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, namun angka tersebut menunjukkan kenaikan lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2015. Artinya, tahun 2016 dan 2017, perbankan syariah mengalami rebound.
Di antara bank yang berkontribusi terhadap kondisi rebound untuk pertumbuhan aset perbankan syariah ini adalah Bank BRI Syariah. Kinerja bank tersebut cukup baik, termasuk di tahun 2015. Pertumbuhan aset BRI Syariah tahun 2015 mencapai angka 19,12 persen, dimana total aset naik dari Rp 20,34 triliun pada tahun 2014, menjadi Rp 24,23 triliun pada tahun 2015. Angka ini terus mengalami peningkatan sehingga mencapai Rp 27,68 triliun dan Rp 31,54 triliun, masing-masing pada tahun 2016 dan 2017. Ini menunjukkan cukup baiknya kinerja BRI Syariah di tengah tekanan dan krisis global.
Optimisme untuk terus tumbuh dan berkembang juga diprediksikan akan dapat direalisasikan pada tahun 2018 ini. Meski tahun ini adalah tahun politik, dimana negara ini akan melaksanakan 171 pilkada secara serentak, sekaligus tahun ancaman krisis keuangan akibat bayang-bayang siklus krisis sepuluh tahunan, namun aset perbankan syariah diperkirakan akan terus berkembang.
Paling tidak, ada beberapa variabel yang menjadi penguat keyakinan ini. Pertama, rencana konversi Bank NTB menjadi BUS diperkirakan akan menaikkan market share perbankan syariah terhadap perbankan nasional, untuk bisa menembus angka 6-7 persen, dari posisi 5,4 persen hari ini. Dengan telah disahkannya Perda konversi ini, maka kita optimis target pangsa pasar ini bisa dicapai.
Kedua, upaya integrasi antara sektor perbankan syariah dengan sektor perekonomian syariah lainnya diperkirakan akan semakin kuat. Sebagai contoh, perkembangan industri halal, terutama pada industri makanan halal dan pariwisata halal, diperkirakan dapat mendongkrak pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan syariah melalui koordinasi yang tepat dan efektif antar entitas bisnis maupun antar otoritas. Diharapkan, para pelaku bisnis halal industry ini dapat menempatkan dananya di perbankan syariah sekaligus menggunakan jasa layanan perbankan syariah untuk melakukan transaksi bisnis.
Contoh yang lain, dengan telah keluarnya fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No 107/DSN-MUI/X/2016 terkait dengan pedoman rumah sakit sesuai syariah, diharapkan dapat mendongkrak pemanfaatan layanan perbankan syariah. Hal ini dikarenakan adanya kewajiban setiap RS yang ingin mendapatkan label sebagai RS syariah, untuk menempatkan dananya sepenuhnya di perbankan syariah. Masih banyak contoh lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh industri perbankan syariah nasional.
Selanjutnya, variabel ketiga adalah dukungan kebijakan pemerintah yang semakin membaik. Kita berharap KNKS (Komite Nasional Keuangan Syariah) dapat segera menjalankan fungsinya dengan baik dan efektif. Adanya peraturan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, yang memasukkan beberapa bank syariah, termasuk BRI Syariah, sebagai bank operasional II (BO II), harus dimanfaatkan secara optimal. Ini adalah peluang untuk memanfaatkan penyaluran dana APBN untuk keperluan gaji bulanan ASN, yang jumlahnya mencapai angka lima juta orang.
Meski ketiga variabel di atas membuka ruang untuk ekspansi perbankan syariah, namun yang perlu diperhatikan adalah kondisi pertumbuhan ekonomi nasional 2018 yang diasumsikan masih berada di kisaran lima persen. Artinya, bank syariah harus berhati-hati jika ingin menerapkan strategi pengembangan bisnis yang bersifat ekspansif karena kondisi pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan. Diperlukan kecermatan dalam menyusun strategi bisnis yang tepat dan efektif di tengah potensi konflik politik yang sangat besar.
Selain itu, yang perlu dilakukan adalah terus menerus melakukan edukasi dan kampanye penyadaran masyarakat untuk mau menabung dan terlibat dalam memanfaatkan layanan perbankan syariah. Pelibatan para tokoh kunci yang memiliki pengaruh di masyarakat juga perlu ditingkatkan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ustadz Yusuf Mansur yang mengajak masyarakat untuk menabung di Bank Muamalat, sehingga ini berpotensi menaikkan DPK perbankan syariah.
Penulis juga berharap, pemerintah dapat mengeluarkan paket kebijakan yang lebih berpihak pada pengembangan ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah. Dari 16 paket kebijakan yang telah diluncurkan hingga saat ini, belum ada satu pun paket kebijakan yang berdampak pada penguatan perekonomian syariah secara langsung, meski pada paket kebijakan kelima, ada upaya melakukan deregulasi perbankan syariah. Karena itu penulis berharap agar pemerintah dapat membaca peluang pemanfaatan industri ekonomi dan keuangan syariah ini dengan baik.
Aspek lain yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana mengintegrasikan lebih dalam lagi antara perbankan syariah dengan sektor zakat dan wakaf. Potensi zakat yang mencapai angka Rp 217 triliun ini perlu dimanfaatkan dengan baik, dimana penghimpunan dan penyaluran zakat ini dapat memanfaatkan jaringan perbankan syariah.
Ketika perbankan syariah ini tumbuh, maka bank syariah pun juga wajib menunaikan kewajiban zakat perusahaan dan zakat karyawannya kepada institusi resmi pengelola zakat. Model kolaborasi antara BRI Syariah dan BAZNAS, dimana BRI Syariah menjadi UPZ BAZNAS dan penunaian kewajiban zakatnya dilakukan secara penuh ke BAZNAS, perlu diperkuat dan ditularkan ke bank-bank syariah yang lain.
Kerja sama ini diharapkan dapat memperkuat sinergi antara sektor perbankan syariah dengan sektor zakat. Penulis optimis, melalui kolaborasi dan sinergi dengan semua stakeholder yang ada, maka tahun 2018 dapat menjadi momentum kebangkitan kembali perbankan syariah nasional. Semoga.
Wallahu a’lam.
*) Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB