Menarik menelaah berita Republika (Sabtu, 29/3) berjudul Pengusaha Rokok Nilai Bebas Simplifikasi Cukai Sudah Tepat. "Pemerintah yang sebelumnya telah berencana melakukan penyederhanaan layer (simplifikasi) cukai hasil tembakau hingga 2021 menjadi 5 layer tarif dihapus melalui PMK 156 Tahun 2018. Keputusan penghapusan simplifikasi cukai hasil tembakau dinilai sudah tepat oleh Asosiasi Industri Hasil Tembakau (IHT)".
Tentu, dengan berlakunya PMK 156 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146 tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, yang ditandatangani pada 12 Desember 2018, jangan berharap adanya kenaikan cukai rokok dan kenaikan batasan harga jual eceran minimum (HJEM). Selain itu, tentu akan menambah keten tuan terkait batasan harga jual eceran minimum hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Merespons ihwal tersebut, industri rokok terutama pemilik modal raksasa, pasti menyambut antusias.
Dengan dibatalkannya kenaikan cukai rokok dan harga jual eceran rokok, industri rokok akan mendongkrak produksinya dan efeknya penurunan prevalensi perokok semakin sulit terlaksana, terutama bagi remaja dan masyarakat miskin, stunting makin meningkat. Padahal, banyak studi tentang kaitan rokok dan kemiskinan mengonfirmasi, terjadi pengisapan surplus ekonomi masyarakat kelas bawah (miskin) bergeser menjadi surplus ekonomi pemilik modal (industri rokok).
Fakta memilukan
Dalam pendekatan teori strukturalis Andre Gunder Frank (1978), pengisapan surplus ekonomi disebut disarticulated so cio-eco nomic structure. Masyarakat miskin (perokok dan petani tembakau) berkontribusi signifikan mendongkrak surplus profitabiltas industri rokok besar.
Ihwal ini tidak jauh berbeda dengan sistem cultuurstelsel (tanam paksa) zaman VOC di Hindia Belanda, dengan model drakula ekonomi (drainage). Justifikasi historis seperti itu telah mengonfirmasi fakta-fakta teranyar.
Harga rokok di Indonesia termasuk salah satu yang termurah setelah Pakistan, Vietnam, Nikaragua, Kamboja, Filipina, dan Kazaksthan. Sementara komposisi perokok di dunia, 80 persen adalah negara-negara miskin dan berkembang.
Di antara negara-negara tersebut, Indo nesia meraih predikat pertama jumlah pria perokok di atas 15 tahun. Merujuk data the Tobaco Atlas (2015), 66 persen pria di Indonesia adalah perokok. Ini artinya, dua dari tiga pria usia di atas 15 tahun adalah perokok. Hasil Survei Sosial Ekonomi BPS (2017) merujuk data alokasi belanja yang dikeluarkan masyarakat telah melampaui besaran belanja beras. Kontribusi pengeluaran rokok pada GKM sebesar 8,08 persen (perkotaan) dan 7,68 persen (pedesaan).
Data ini berbicara, orang dikategorikan miskin banyak yang mengonsumsi rokok. Bahkan, mengacu Indonesia Family Life Survey (IFLS, 2018), pengeluaran rumah tangga untuk rokok naik dari 3,6 persen pada 1993 menjadi 5,6 persen pada 2014.
Pengeluaran rokok pada masa lalu, juga berkaitan dengan kemiskinan pada masa mendatang. Peningkatan pengeluaran rokok sebesar satu persen akan meningkatkan probabilitas rumah tangga menjadi miskin sebesar enam persen.
Di sudut yang lain, merujuk kinerja tiga pemain besar industri rokok di Tanah Air, yak ni PT HM Sampoerna Tbk, PT Gudang Ga ram Tbk, dan PT Djarum terdongkrak signifikan. PT HMSP dalam laporan keuangan 2017 menorehkan laba bersih Rp 12,6 triliun (2017) dari penjualan 101,3 miliar batang rokok. Laba terdongkrak dari Rp 10,355 Triliun (2016).