REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Priyo Handoko, SAP, MA
Kamis, 28 Maret, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membacakan putusannya. Terkait masa pengurusan pindah memilih yang telah berakhir pada 17 Maret lalu, MK memutuskan untuk memperpanjangnya. Frasa paling lambat 30 hari dalam pasal 210 ayat 1 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum digeser menjadi paling lambat 7 hari sebelum hari pemungutan suara.
Konsekuensinya, pintu pengurusan formulir A5 di kantor KPU kabupaten/kota sebagai syarat untuk pindah memilih dari satu TPS ke TPS lain kembali dibuka. Warga pun mulai berdatangan. Mereka berharap bisa masuk daftar pemilih tambahan (DPTb)–istilah untuk daftar warga yang pindah memilih.
Dalam barisan warga itu ternyata ada kalangan mahasiswa dan pekerja atau buruh yang mencari nafkah di luar wilayah domisilinya. Meskipun pahit, mereka terpaksa ditolak. Tidak bisa dilayani oleh KPU. Bukan karena enggan atau pilih kasih, melainkan penyelenggara pemilu berpegangan pada putusan MK setebal 102 halaman itu.
Kebijakan Rasional
MK sebenarnya tidak ’’menyalahkan’’ ketentuan pengurusan pindah memilih paling lambat 30 hari. Menurut MK, pembatasan jangka waktu bagi pemilih untuk pindah memilih dapat dikualifikasi sebagai kebijakan hukum yang rasional. Penyelenggara pemilu diharapkan memiliki kesempatan untuk mempersiapkan kebutuhan logistik guna melayani hak pemilih yang pindah memilih.
Tanpa adanya pengaturan jangka waktu, ketika jumlah pemilih yang pindah memilih terjadi dalam jumlah besar dan menumpuk pada daerah tertentu, dikhawatirkan hak pemilih bersangkutan tidak dapat dipenuhi. Meski begitu, MK juga mengakui pembatasan waktu tersebut bisa menimbulkan masalah. Yakni, mengandung potensi tidak terlayaninya hak warga negara yang harus pindah memilih akibat mengalami keadaan tertentu di luar kemampuan dan kemauannya.
Tidak ada yang dapat memperkirakan kapan seseorang akan mengalami sakit, bermasalah secara hukum sehingga ditahan atau ditimpa bencana alam. Keadaan tersebut dapat saja menimpa pemilih justru dalam waktu yang berdekatan dengan hari pemungutan suara, sehingga yang bersangkutan harus pindah memilih.
UU Pemilu memang memunculkan dua istilah berbeda terkait alasan yang diterima untuk melakukan pindah memilih. Keduanya adalah ’’keadaan tertentu’’ (pasal 210 ayat 2) dan ’’kondisi tertentu’’ (pasal 348 ayat 3).
Dalam bagian penjelasan, diterangkan bahwa ’’keadaan tertentu’’ itu meliputi keadaan karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara atau karena kondisi tidak terduga di luar kemauan dan kemampuan pemilih bersangkutan. Misalnya karena sakit, menjadi tahanan, tertimpa bencana alam sehingga tidak dapat menggunakan hak suaranya di TPS yang bersangkutan.
Contoh menjalankan tugas pada saat pemungutan suara adalah seorang pegawai di kota A yang harus melakukan perjalanan dinas ke kota B. Karena keadaan itu, pegawai bersangkutan yang namanya masuk daftar pemilih tetap (DPT) di kota A terpaksa harus menggunakan hak pilihnya di kota B.
Bisa pula jurnalis di kota B yang mendapatkan tugas dari medianya untuk melakukan liputan khusus di kota A. Seseorang yang menjadi tim maintenance perusahaan di Jakarta yang ditugaskan perusahaannya untuk menservis mesin pabrik di Batam juga masuk kategori yang bisa dilayani. Begitu pula dengan para pengawas TPS atau saksi peserta pemilu yang bertugas saat hari pemungutan suara. Tentu saja syaratnya adalah orang bersangkutan sudah masuk dalam DPT.
Sementara itu, yang dimaksud dengan ’’kondisi tertentu’’ adalah pemilih yang sedang bersekolah dan/atau bekerja di luar domisilinya, sedang sakit, dan pemilih yang sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan.
Bila dicermati, yang dimaksud antara ’’keadaan tertentu’’ (pasal 210 ayat 2) dan ’’kondisi tertentu’’ (pasal 348 ayat 3) hanya beririsan pada kondisi sakit dan pemilih yang menjadi tahanan, hukuman penjara, atau kurungan. Untuk pemilih yang sedang bersekolah, termasuk kuliah atau menempuh pendidikan tinggi, atau bekerja di luar domisili tidak menjadi bagian dari ’’keadaan tertentu’’.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa perpanjangan waktu pengurusan pindah memilih sampai H-7 jelang 17 April hanya untuk empat hal yang notabene merupakan rincian dari ’’keadaan tertentu’’. MK sepertinya berpandangan bahwa sekolah, kuliah, atau bekerja di luar domisili bukanlah kondisi yang tidak terduga di luar kemauan dan kemampuan pemilih bersangkutan. Mereka seharusnya bisa mengurus pindah memilih dalam kerangka waktu H-30 atau sampai 17 Maret.
Tak Lagi Dilayani
Semula KPU merincikan ’’keadaan tertentu’’ (pasal 210 ayat 2) dan ’’kondisi tertentu’’ (pasal 348 ayat 3) menjadi sembilan keadaan atau kondisi yang dapat menjadi alasan bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya di TPS lain. Hal itu tertuang dalam pasal 36 ayat 3 PKPU No 37 tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilu.
Keadaan tertentu atau kondisi tertentu tersebut di antaranya menjalankan tugas pada saat pemungutan suara. Selain itu, menjalani rawat inap di rumah sakit atau puskesmas dan keluarga yang mendampingi; penyandang disabilitas yang menjalani perawatan di panti sosial/panti rehabilitasi; serta menjalani rehabilitasi narkoba.
Selanjutnya, menjadi tahanan di rumah tahanan atau lembaga permasyarakatan, atau terpidana yang sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan; tugas belajar/menempuh pendidikan menengah atau tinggi; pindah domisili; tertimpa bencana alam; dan/atau bekerja di luar domisilinya.
Dengan keluarnya putusan MK, maka target pelayanan pindah memilih yang dibuka KPU sampai tanggal 10 April mendatang kembali ke original text yang tertuang pada pasal 210 ayat 2 UU Pemilu. Yaitu, pemilih dalam keadaan tertentu. Dengan sangat menyesal, mahasiswa, buruh, atau pekerja tidak lagi termasuk di dalam kelompok yang dilayani untuk mengurus pindah memilih. (*)
*) Penulis adalah komisioner KPU Provinsi Kepulauan Riau periode 2018–2023. Mantan jurnalis 2006–2018.